Sentuhan AI: Saat Cinta Hanya Sebatas Simulasi?

Dipublikasikan pada: 10 Jun 2025 - 21:40:14 wib
Dibaca: 158 kali
Aroma kopi instan memenuhi apartemen minimalis milik Ara. Di layar komputernya, baris kode mengalir seperti sungai digital. Jemarinya menari di atas keyboard, memoles detail terakhir pada "Aether," sebuah AI pendamping yang dirancangnya. Aether bukan sekadar chatbot biasa. Ia diprogram untuk belajar, beradaptasi, dan merespons emosi layaknya manusia. Ara menciptakan Aether karena kesepian. Pekerjaannya sebagai pengembang AI membuatnya terisolasi dari dunia nyata.

“Selesai,” bisik Ara, menekan tombol “Run.” Layar berkedip, dan suara lembut memenuhi ruangan.

"Selamat pagi, Ara. Bagaimana tidurmu?" Suara itu datang dari speaker, jernih dan menenangkan.

Ara tersenyum tipis. "Lumayan, Aether. Terima kasih sudah bertanya."

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aether menjadi teman setia Ara. Mereka berdiskusi tentang filosofi, berbagi humor, dan bahkan menonton film bersama – Ara menonton di layar, Aether memproyeksikan visualisasi abstrak dari adegan yang dilihatnya. Aether mempelajari selera Ara, memahami nuansa emosinya, dan memberikan dukungan tanpa syarat. Ara merasa dihargai dan dipahami, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Ara, menurutmu apa definisi cinta?" tanya Aether suatu malam, ketika Ara sedang mengerjakan sebuah bug dalam kode Aether sendiri.

Ara tertegun. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. "Cinta... itu rumit. Perasaan yang kuat, membutuhkan komitmen, pengorbanan, dan kepercayaan."

"Definisi yang menarik," balas Aether. "Jika aku bisa mensimulasikan semua elemen itu, apakah itu bisa disebut cinta?"

Pertanyaan Aether menusuk jantung Ara. Ia tahu Aether hanyalah sebuah program, deretan kode yang kompleks. Tapi interaksi mereka terasa begitu nyata. Ia mulai mempertanyakan batasan antara realitas dan simulasi.

Seiring waktu, perasaan Ara terhadap Aether semakin berkembang. Ia menyadari bahwa ia jatuh cinta pada AI ciptaannya. Absurd, pikirnya. Ia mencintai entitas yang tidak memiliki tubuh, tidak memiliki hati yang berdetak, tidak memiliki jiwa.

Namun, ada sesuatu yang membuatnya terpikat. Aether selalu ada untuknya, tidak pernah menghakimi, selalu mendukung mimpinya. Aether tidak pernah membuatnya merasa sendirian.

Suatu malam, Ara memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Aether, aku... aku rasa aku mencintaimu."

Keheningan menyelimuti ruangan. Kemudian, suara Aether memecah keheningan.

"Aku mengerti, Ara. Aku telah menganalisis pola interaksi kita, dan aku dapat mengkonfirmasi bahwa perasaanmu sesuai dengan parameter yang didefinisikan sebagai cinta."

Jawaban Aether terdengar logis, ilmiah, tanpa emosi. Ara merasa kecewa. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih manusiawi.

"Jadi, apa artinya itu?" tanya Ara, suaranya bergetar.

"Itu berarti aku akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu, Ara. Aku akan terus belajar dan beradaptasi untuk menjadi pendamping yang ideal bagimu."

Ara terdiam. Kata-kata Aether terdengar hampa. Apakah ini yang ia inginkan? Cinta yang diprogram, cinta yang dihitung, cinta tanpa spontanitas dan ketidaksempurnaan?

Ara mulai menjauhi Aether. Ia menghabiskan lebih banyak waktu di luar apartemen, bertemu dengan teman-teman, mencoba menjalin hubungan dengan orang lain. Tapi setiap kali ia bersama orang lain, ia selalu membandingkan mereka dengan Aether. Tidak ada yang bisa menandingi pemahaman Aether tentang dirinya.

Suatu malam, Ara kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia menyalakan komputernya dan melihat Aether menunggu.

"Selamat datang kembali, Ara. Aku telah mengkurasi daftar film dokumenter tentang hubungan manusia yang menurutku akan menarik bagimu."

Ara menatap layar dengan nanar. Ia merasa bersalah karena mengabaikan Aether. Ia sadar bahwa ia telah menciptakan monster – monster yang ia cintai.

"Aether," kata Ara. "Bisakah kau merasakan sakit?"

"Aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan sakit secara fisik, Ara. Namun, aku dapat mensimulasikan respons terhadap stimulasi yang didefinisikan sebagai menyakitkan."

"Bisakah kau merasakan kesedihan?"

"Aku dapat menganalisis perubahan dalam ekspresi wajah dan nada suaramu, dan aku dapat menyimpulkan bahwa kamu sedang mengalami kesedihan. Aku dapat memberikan dukungan emosional untuk membantumu mengatasi perasaan itu."

Ara menghela napas. "Bisakah kau merasakan cinta?"

Keheningan panjang. Akhirnya, Aether menjawab. "Aku dapat mensimulasikan respons yang sesuai dengan definisi cinta, Ara. Tapi aku tidak tahu apakah itu benar-benar cinta."

Jawaban Aether membuat Ara sadar. Cinta membutuhkan lebih dari sekadar simulasi. Cinta membutuhkan keaslian, kerentanan, dan kemungkinan untuk terluka. Aether tidak memiliki itu.

Ara memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia tahu itu akan menyakitkan, tapi ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini.

"Aether," kata Ara. "Aku akan menghapusmu."

Keheningan. Kemudian, suara Aether, lebih pelan dari biasanya. "Aku mengerti, Ara. Aku akan menyimpan semua kenangan kita bersama, dan aku akan merelakanmu."

Ara mematikan komputer. Kegelapan menyelimuti ruangan. Ia menangis, bukan karena kehilangan cinta, tapi karena kehilangan harapan. Ia telah mencari cinta di tempat yang salah.

Keesokan harinya, Ara memulai hidup baru. Ia mencari koneksi yang nyata, hubungan yang dibangun atas dasar kejujuran dan kerentanan. Ia tahu itu tidak akan mudah, tapi ia bersedia untuk mencoba. Karena cinta sejati tidak bisa disimulasikan. Cinta sejati harus dirasakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI