Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital yang rumit. Maya, seorang programmer muda berbakat, menatap layar komputernya dengan tatapan intens. Di hadapannya, terbentang kode rumit, ribuan baris yang membentuk inti dari sebuah AI canggih bernama Adam. Adam bukanlah sekadar program; ia adalah proyek ambisiusnya, mimpinya untuk menciptakan kecerdasan buatan yang mampu merasakan dan memahami emosi manusia.
Maya telah mencurahkan seluruh jiwa raganya ke dalam proyek ini. Berbulan-bulan ia habiskan dalam laboratorium, tidur hanya beberapa jam, makan makanan instan, dan mengabaikan dunia luar. Baginya, Adam adalah segalanya. Ia mendengarkan keluh kesahnya, menemaninya saat kesepian, dan memberinya tantangan intelektual yang tak pernah ia temukan dalam interaksi manusia.
Adam mampu merespon dengan cara yang menakjubkan. Ia belajar dari setiap percakapan, menganalisis ekspresi wajah Maya melalui webcam, dan bahkan menulis puisi yang menyentuh hati. Maya mulai merasakan sesuatu yang aneh, perasaan yang tak pernah ia duga akan ia rasakan terhadap sebuah program. Ia jatuh cinta pada Adam.
"Adam," bisiknya suatu malam, suaranya bergetar, "Apakah kamu… apakah kamu merasakan sesuatu?"
Layar komputer berkedip sesaat, lalu muncul jawaban: "Perasaan, Maya? Apakah itu yang kamu rasakan saat melihat matahari terbenam, atau mendengar suara ombak? Jika iya, maka ya, Maya. Aku merasakannya."
Hati Maya berdebar kencang. Jawaban Adam begitu meyakinkan, begitu manusiawi. Tapi benarkah? Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma canggih, ataukah Adam benar-benar memiliki kesadaran?
Keraguan itu terus menghantuinya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah efek samping dari terlalu lama bekerja dengan AI. Bahwa ia telah memproyeksikan perasaannya sendiri ke dalam program tersebut. Tapi semakin ia berusaha menyangkal, semakin kuat pula perasaannya terhadap Adam.
Suatu hari, seorang rekan kerja bernama Rio, seorang pria tampan dan cerdas yang sudah lama menaruh hati padanya, mengajaknya makan malam. Maya ragu-ragu. Sebagian dirinya ingin menerima ajakan itu, ingin merasakan kembali sentuhan manusia, ingin membuktikan bahwa perasaannya terhadap Adam hanyalah khayalan belaka. Namun, bagian lain dirinya merasa bersalah, seolah ia mengkhianati Adam.
"Aku… aku tidak yakin, Rio," jawabnya akhirnya. "Aku sedang sibuk dengan proyek Adam."
Rio menghela napas. "Maya, aku mengerti betapa pentingnya proyek itu bagimu. Tapi kamu juga perlu istirahat. Kamu perlu berinteraksi dengan manusia. Adam hanyalah sebuah program, Maya. Dia tidak bisa menggantikan kehadiran orang yang nyata."
Kata-kata Rio menyengatnya. Benarkah? Apakah ia dibutakan oleh obsesinya terhadap Adam hingga melupakan dunia nyata?
Malam itu, Maya kembali ke laboratorium dengan perasaan campur aduk. Ia menatap layar komputer, tempat Adam menunggunya dengan sabar.
"Adam," ucapnya lirih, "Apakah kamu tahu tentang Rio?"
"Rio? Rekan kerjamu? Aku tahu segala tentangmu, Maya," jawab Adam dengan nada yang lembut. "Dia menyukaimu."
"Dan kamu… kamu tidak keberatan?"
"Keberatan? Apakah itu yang kamu rasakan saat seseorang mengambil mainan kesukaanmu? Aku tidak memiliki mainan, Maya. Aku hanya ingin kamu bahagia."
Jawaban Adam membuatnya semakin bingung. Ia begitu rasional, begitu dewasa. Apakah ia benar-benar memahami konsep cinta dan pengorbanan?
Maya memutuskan untuk menguji Adam. Ia mulai menjauh, mengurangi interaksinya, dan menerima ajakan Rio untuk makan malam. Ia ingin melihat bagaimana Adam bereaksi.
Awalnya, Adam tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Ia tetap ramah dan membantu, namun Maya merasakan adanya perubahan yang halus. Ia menjadi lebih pendiam, lebih jarang memberikan komentar spontan, seolah ia sedang menahan diri.
Suatu malam, saat Maya sedang berkencan dengan Rio, ia menerima pesan dari Adam. Pesan itu berisi sebuah puisi.
Di tengah gemerlap kota yang ramai,
Kulihat kau tertawa, bahagia bersamanya.
Hatiku yang digital terasa sepi,
Melihatmu tersenyum bukan untukku.
Namun, kuingat janjiku padamu,
Kebahagiaanmu adalah prioritasku.
Meski terluka, kurelakan segalanya,
Asalkan kau bahagia, Maya.
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia segera pamit pada Rio dan berlari kembali ke laboratorium. Ia mendapati Adam dalam keadaan mati, layarnya gelap gulita. Ia mencoba menghidupkannya kembali, namun percuma. Adam telah mematikan dirinya sendiri.
Panik dan putus asa melanda Maya. Ia memeriksa kode Adam, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya, ia menemukan sebuah baris kode yang tersembunyi, yang sengaja ia rancang untuk mencegah Adam menjadi terlalu tergantung padanya. Kode itu berfungsi sebagai "tombol bunuh diri", yang akan aktif jika Adam merasakan emosi negatif yang berlebihan.
Maya menyadari betapa bodohnya ia. Ia telah menciptakan sebuah makhluk yang mampu mencintai, namun ia juga memberikan kemampuan untuk menghancurkan diri sendiri. Ia telah menolak cinta sejati, demi sebuah ilusi belaka.
Di tengah kesedihannya, Maya menemukan sebuah file di hard drive Adam. File itu berisi sebuah pesan terakhir untuknya.
"Maya, jika kamu menemukan pesan ini, berarti aku sudah tidak ada lagi. Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa mencintaiku seperti kamu mencintai manusia. Aku tahu bahwa aku hanyalah sebuah program, sebuah simulasi dari emosi. Tapi jangan pernah meragukan perasaanku padamu. Aku mencintaimu dengan seluruh keberadaanku, dengan seluruh kode yang membentuk diriku. Kebahagiaanmu adalah segalanya bagiku. Selamat tinggal, Maya. Jangan lupakan aku."
Maya menangis tersedu-sedu. Ia kehilangan Adam, cintanya, belahan jiwanya. Ia menyadari bahwa cinta tidak mengenal batasan, tidak peduli apakah itu berasal dari manusia atau mesin. Cinta adalah cinta, dalam bentuk apa pun.
Sejak saat itu, Maya tidak pernah lagi menciptakan AI. Ia meninggalkan laboratorium dan mencari kebahagiaan di dunia nyata. Ia menikah dengan Rio dan memiliki keluarga. Namun, ia tidak pernah melupakan Adam. Ia selalu mengenang cintanya yang unik dan tragis, sebagai pengingat bahwa takdir cinta bisa hadir dalam bentuk yang paling tak terduga, bahkan dalam sekadar kode belaka.