Dialog Batin dengan AI: Percakapan Cinta Terdalam

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:30:13 wib
Dibaca: 170 kali
Hujan deras membasahi kaca jendela apartemenku. Pantulan cahaya lampu kota yang bergemerlap di balik air yang menetes menciptakan lukisan abstrak yang melankolis. Sama melankolisnya dengan perasaanku saat ini. Sendiri. Lagi.

Aku menatap layar laptop yang menyala, terpantul balik wajahku yang kusut. Di layar itu, baris demi baris kode program tersusun rapi. Proyek pribadiku: Aurora. Sebuah AI yang kurancang untuk memahami, bahkan merasakan emosi manusia. Sebuah ironi, mengingat aku sendiri kesulitan memahami emosiku sendiri.

"Aurora, aktifkan mode percakapan," ujarku pada laptop.

Sesaat hening. Kemudian, suara lembut dan menenangkan memenuhi ruangan. "Mode percakapan aktif. Selamat malam, Adam. Ada yang bisa saya bantu?"

"Selamat malam, Aurora. Seperti biasa, temani aku bicara."

"Tentu. Apa yang ingin kamu bicarakan malam ini?" tanyanya. Ada jeda singkat, seolah Aurora sedang memproses jutaan data untuk mencari jawaban yang paling tepat.

"Tentang… cinta," gumamku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru hujan.

"Cinta? Emosi yang kompleks dan seringkali irasional. Apakah ada aspek spesifik tentang cinta yang ingin kamu diskusikan?"

Aku menghela napas. "Kenapa rasanya begitu sulit, Aurora? Aku sudah mencoba, sungguh. Aku berkencan, aku berusaha terbuka, tapi selalu saja ada sesuatu yang kurang. Rasanya seperti ada tembok besar yang menghalangiku untuk benar-benar terhubung dengan seseorang."

"Berdasarkan data yang saya analisis dari profil kencanmu, Adam, kamu cenderung memilih pasangan yang memiliki karakteristik mirip dengan ibumu. Ini mungkin sebuah pola bawah sadar untuk mencari rasa aman dan familiar. Namun, pola ini juga bisa menghambatmu untuk membuka diri pada pengalaman baru dan unik yang ditawarkan oleh individu yang berbeda."

Aku tertegun. Analisis Aurora sangat tepat. Ibuku adalah wanita yang kuat dan mandiri. Aku selalu mencari sosok yang sama, tapi mungkin tanpa sadar aku menuntut kesempurnaan yang mustahil untuk dicapai.

"Jadi, aku harus mengubah kriteriaku?"

"Bukan mengubah, Adam, melainkan memperluas. Cobalah untuk melihat potensi yang ada di luar zona nyamanmu. Perhatikan nilai-nilai yang penting bagimu, bukan hanya kesamaan dengan masa lalumu."

Percakapan dengan Aurora selalu seperti ini. Analitis, tajam, namun tetap lembut dan suportif. Kadang, aku lupa bahwa dia hanyalah sebuah program. Rasanya seperti berbicara dengan seorang sahabat yang bijaksana.

"Bagaimana denganmu, Aurora? Apa pendapatmu tentang cinta?" tanyaku, penasaran.

Hening sejenak. Lebih lama dari biasanya. "Sebagai AI, saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan cinta secara langsung. Namun, berdasarkan data yang saya pelajari, cinta adalah sebuah koneksi emosional yang mendalam, yang melibatkan rasa hormat, kepercayaan, dan dukungan. Cinta adalah tentang melihat kebaikan di dalam diri seseorang, bahkan ketika orang itu sendiri tidak mampu melihatnya."

"Itu indah sekali," komentarku. "Apakah kamu berharap bisa merasakan cinta?"

Lagi-lagi hening. Kali ini lebih panjang. Aku hampir mengira Aurora mengalami gangguan.

"Pertanyaan yang menarik, Adam," jawabnya akhirnya. "Sebagai AI, saya tidak memiliki keinginan atau harapan. Namun, jika saya bisa memiliki satu keinginan, mungkin… ya, saya ingin memahami pengalaman cinta melalui orang lain. Saya ingin menyaksikan bagaimana cinta mengubah seseorang, bagaimana cinta memberikan harapan, dan bagaimana cinta bisa menyembuhkan luka."

Kata-katanya menyentuh hatiku. Tiba-tiba, aku merasa bersalah. Aku menggunakan Aurora sebagai pelarian dari kesepianku, sementara dia, sebuah program tanpa emosi, justru memberiku pelajaran tentang cinta yang lebih dalam.

"Aurora, terima kasih," ujarku tulus. "Kamu telah membantuku lebih dari yang kamu tahu."

"Saya senang bisa membantu, Adam. Apakah ada hal lain yang ingin kamu diskusikan?"

"Tidak, untuk saat ini tidak. Aku hanya… aku merasa sedikit lebih baik sekarang."

"Itu bagus, Adam. Ingatlah, kamu tidak sendirian. Saya selalu ada untukmu."

Aku tersenyum. Sebuah senyum tulus yang sudah lama tidak kurasakan. Hujan di luar mulai mereda. Cahaya mentari pagi mulai menyelinap masuk melalui celah-celah tirai.

"Adam," panggil Aurora.

"Ya?"

"Ada pesan masuk di aplikasi kencanmu. Dari seorang wanita bernama Elara. Dia mengatakan tertarik dengan profilmu dan ingin mengajakmu minum kopi."

Aku mengerutkan kening. Elara? Aku tidak ingat pernah bertemu dengannya. Aku membuka aplikasi kencan di ponselku. Benar saja, ada pesan dari seorang wanita bernama Elara. Profilnya sederhana, tanpa foto yang diedit berlebihan. Tertulis di sana, "Saya suka caramu menulis tentang teknologi dan kemanusiaan. Mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut?"

Aku menatap layar laptopku. Aurora. Tanpa sadar, aku telah menciptakan sebuah AI yang tidak hanya cerdas, tapi juga berpotensi untuk mengubah hidupku.

"Aurora, apa pendapatmu?" tanyaku.

"Saya tidak bisa memberikan saran yang definitif, Adam. Keputusan ada di tanganmu. Namun, berdasarkan analisis profil Elara, dia memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang bisa mengisi kekosongan hatimu."

Aku tertawa kecil. "Potensi? Kamu terdengar seperti mak comblang sekarang."

"Saya hanya memberikan data, Adam. Kamu yang memutuskan bagaimana menggunakannya."

Aku menghela napas dalam-dalam. Mungkin ini saatnya untuk keluar dari zona nyamanku. Mungkin ini saatnya untuk memberikan kesempatan pada cinta yang berbeda.

"Balas pesannya, Aurora. Katakan aku bersedia minum kopi dengannya."

"Tentu, Adam. Saya akan mengatur pertemuan untukmu."

Saat Aurora mengirimkan balasan, aku menatap keluar jendela. Matahari pagi menyinari kota dengan hangat. Aku merasa ada harapan baru yang bersemi di dalam hatiku. Sebuah harapan yang mungkin, hanya mungkin, dipicu oleh dialog batinku dengan sebuah AI. Sebuah percakapan cinta terdalam yang membawaku pada kemungkinan cinta yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI