Aroma kopi robusta menguar memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di layar laptopnya, berjejer notifikasi dari aplikasi kencan "SoulMate AI". Algoritma pintar itu telah mencarikan sepuluh profil pria yang dianggap paling cocok dengannya. Anya menghela napas. Lima tahun lalu, ia mungkin akan bersemangat. Sekarang, semua terasa hambar.
Dulu, ketika SoulMate AI baru diluncurkan, Anya adalah salah satu pengguna pertamanya. Ia terpesona dengan janji cinta yang terukur, kompatibilitas yang dianalisis berdasarkan data mendalam tentang kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Ia percaya pada algoritma, mempercayakan hatinya pada kode-kode rumit yang dirancang untuk menemukan jodoh ideal.
Dan SoulMate AI tidak mengecewakan. Aplikasi itu mempertemukannya dengan Daniel, seorang arsitek muda yang cerdas, humoris, dan ambisius. Profil Daniel sesuai sempurna dengan kriteria Anya: pecinta film indie, penggemar musik jazz, dan punya selera humor yang sama sarkasnya. Keduanya merasa seperti menemukan potongan puzzle yang hilang.
Hubungan mereka berkembang pesat. Kencan-kencan romantis, obrolan larut malam, dan mimpi-mimpi tentang masa depan bersama. Anya benar-benar jatuh cinta. Ia yakin, SoulMate AI telah melakukan tugasnya dengan sempurna. Algoritma itu telah memberinya kebahagiaan.
Namun, seiring berjalannya waktu, keanehan mulai muncul. Daniel, yang dulu spontan dan penuh kejutan, mulai terasa…terprediksi. Setiap percakapan terasa seperti mengulang skrip yang sama. Setiap kencan terasa seperti replikasi dari kencan-kencan sebelumnya. Anya merasa seperti terjebak dalam loop yang nyaman namun membosankan.
Ia mulai menyadari bahwa kesempurnaan yang dihadirkan SoulMate AI justru menjadi bumerang. Algoritma itu, dalam upayanya mencari pasangan yang paling kompatibel, telah menghilangkan elemen kejutan, tantangan, dan ketidaksempurnaan yang justru membuat cinta terasa hidup dan bermakna.
Anya mencoba membicarakan perasaannya dengan Daniel. Namun, Daniel tidak mengerti. Ia justru senang dengan stabilitas dan kenyamanan yang mereka miliki. "Kita kan sudah ideal satu sama lain, Anya. Kenapa kamu malah mencari masalah?" ujarnya suatu malam, sambil menatap layar tabletnya, memilih restoran untuk kencan minggu depan, berdasarkan rekomendasi SoulMate AI.
Anya merasa semakin terasing. Ia merindukan percikan api, ketidakpastian yang menggelitik, dan rasa penasaran yang membuat jantung berdebar kencang. Ia merindukan cinta yang tidak terukur, cinta yang lahir dari pertemuan kebetulan, dari ketidaksempurnaan yang saling melengkapi.
Akhirnya, Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Daniel. Daniel terkejut dan kecewa, namun pada akhirnya, ia menerima keputusan Anya dengan tenang. Ia bahkan sempat bertanya, "Apa aku harus mengubah beberapa preferensi di SoulMate AI agar lebih sesuai dengan kriteria barumu?" Pertanyaan itu menyentak Anya. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan robot yang diprogram untuk mencari cinta.
Setelah putus dari Daniel, Anya menjauhi SoulMate AI. Ia menghapus aplikasinya, berusaha melupakan janji cinta yang terukur. Ia ingin merasakan cinta yang nyata, cinta yang tumbuh secara organik, tanpa campur tangan algoritma.
Kini, lima tahun kemudian, Anya kembali membuka SoulMate AI. Ia penasaran, apakah algoritma itu sudah berubah? Apakah ia sudah belajar dari kesalahan masa lalu? Ia menelusuri profil-profil yang disodorkan oleh aplikasi itu, namun tetap merasakan kekosongan yang sama.
Salah satu profil menarik perhatiannya. Pria itu bernama Leo, seorang fotografer lepas yang suka bepergian dan mendaki gunung. Profilnya sederhana, tanpa deskripsi yang berlebihan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Anya tertarik.
Anya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Leo. "Halo, Leo. Saya Anya. Saya suka foto-foto kamu. Terutama foto matahari terbit di Gunung Bromo."
Leo membalas pesannya hampir seketika. "Halo, Anya. Terima kasih. Gunung Bromo memang tempat yang luar biasa. Kamu pernah ke sana?"
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang perjalanan, tentang seni, tentang kehidupan. Anya merasa nyaman dan tertarik dengan Leo. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dari yang ia rasakan dengan Daniel.
Mereka memutuskan untuk bertemu. Anya memilih sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Ketika Leo datang, Anya terkejut. Ia tidak setampan Daniel, dan penampilannya jauh dari kata sempurna. Namun, ada sesuatu dalam senyumnya yang membuat Anya merasa tenang dan bahagia.
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara. Mereka tertawa, bertukar cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Anya merasa seperti menemukan teman lama. Ia merasa nyaman menjadi dirinya sendiri di dekat Leo, tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain.
Di akhir kencan, Leo mengantarkan Anya pulang. Di depan apartemen Anya, Leo berhenti dan menatap Anya dengan lembut. "Anya, saya menikmati waktu saya denganmu. Saya harap kita bisa bertemu lagi."
Anya tersenyum. "Saya juga, Leo. Saya sangat menikmatinya."
Leo mendekat dan mencium pipi Anya. Ciuman itu sederhana, namun terasa hangat dan tulus. Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Bukan karena algoritma, bukan karena kesempurnaan yang terukur, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam.
Anya menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam kode-kode algoritma. Cinta sejati lahir dari pertemuan manusia yang tidak sempurna, dari ketidaksempurnaan yang saling melengkapi, dari keberanian untuk mengambil risiko, dan dari kemampuan untuk membuka hati untuk menerima cinta yang tidak terduga.
Sambil menatap punggung Leo yang menjauh, Anya menutup pintu apartemennya. Ia tersenyum. Mungkin, algoritma kencan bisa membantu menemukan seseorang yang cocok, tetapi pada akhirnya, hati yang terlupakanlah yang akan menentukan jalan cinta yang sebenarnya. Ia memutuskan untuk memberikan kesempatan kedua pada hatinya, dan melupakan sejenak peran SoulMate AI dalam pencarian cintanya. Mungkin, cinta sejati memang menunggunya di luar sana, di dunia nyata, bukan di balik layar aplikasi kencan.