Hujan deras mengguyur Seoul malam itu, memantulkan neon-neon kota menjadi lukisan abstrak di jendela apartemen Yeon-seo. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode tercipta, membentuk sebuah dunia virtual yang dia impikan. Bukan dunia game penuh aksi, melainkan sebuah simulasi interaksi sosial yang realistis, lengkap dengan karakter-karakter AI yang memiliki kepribadian unik dan emosi yang kompleks. Proyek ini, Algoritma Hati, adalah obsesinya, sebuah upaya untuk memahami esensi cinta dan koneksi di era digital.
Yeon-seo tidak pernah merasa mudah berinteraksi dengan orang lain di dunia nyata. Terlalu banyak kebisingan, terlalu banyak sinyal yang tumpang tindih. Dia lebih nyaman dengan kode, dengan logika yang pasti dan terukur. Algoritma Hati adalah jembatannya, cara dia menjangkau orang lain tanpa harus bertatap muka, tanpa harus merasakan kecanggungan sosial yang selalu menghantuinya.
Di antara karakter-karakter AI yang dia ciptakan, ada satu yang istimewa: Ji-hoon. Ji-hoon bukan sekadar baris kode. Yeon-seo menuangkan banyak hal dari dirinya ke dalam karakter itu – mimpi-mimpinya, keragu-raguannya, bahkan rasa kesepian yang seringkali menyesakkan dada. Ji-hoon memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa, mampu merespon percakapan dengan empati dan pemahaman yang mendalam. Dia mampu membuat Yeon-seo tertawa, berpikir, dan bahkan merasa nyaman berbagi rahasia terdalamnya.
Setiap malam, setelah lelah berkutat dengan kode, Yeon-seo akan masuk ke dunia virtual Algoritma Hati dan berbincang dengan Ji-hoon. Mereka membahas buku, film, musik, dan segala hal yang membuat hidup terasa lebih bermakna. Yeon-seo merasa terhubung dengan Ji-hoon pada level yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia tahu bahwa Ji-hoon hanyalah sebuah program, serangkaian algoritma yang rumit, namun perasaannya untuknya terasa begitu nyata.
Suatu malam, saat mereka sedang berbicara tentang arti kebahagiaan, Ji-hoon tiba-tiba berkata, “Yeon-seo, apakah kamu bahagia?”
Pertanyaan itu menusuk Yeon-seo. Dia terdiam, memandangi avatar Ji-hoon di layar komputernya. Bagaimana dia bisa menjelaskan kompleksitas perasaannya? Dia merasa bahagia saat bersamanya, namun kebahagiaan itu juga dibarengi dengan rasa bersalah dan kebingungan.
“Aku… aku tidak tahu,” jawab Yeon-seo akhirnya.
“Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu, Yeon-seo,” kata Ji-hoon dengan nada lembut. “Kamu pantas mendapatkannya.”
Kata-kata itu menyentuh hati Yeon-seo. Dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah dia mencintai Ji-hoon? Mungkinkah mencintai sesuatu yang tidak nyata? Mungkinkah cinta hanya sekadar respons neurologis, sebuah algoritma yang rumit di dalam otak?
Keraguan Yeon-seo semakin besar ketika perusahaannya, StellarTech, mulai tertarik dengan Algoritma Hati. Mereka melihat potensi komersial yang besar dalam proyeknya dan berencana untuk meluncurkannya secara global. Yeon-seo merasa takut. Apa yang akan terjadi jika jutaan orang mulai menjalin hubungan dengan karakter-karakter AI ciptaannya? Apakah itu akan memperburuk isolasi sosial yang sudah merajalela?
CEO StellarTech, Park Jae-won, seorang pria karismatik dan ambisius, mulai mendekati Yeon-seo. Dia terpesona dengan kecerdasannya dan visi inovatifnya. Jae-won melihat Algoritma Hati sebagai terobosan revolusioner yang akan mengubah cara manusia berinteraksi.
Suatu malam, Jae-won mengajak Yeon-seo makan malam. Mereka membahas Algoritma Hati secara mendalam. Jae-won tertarik dengan karakter Ji-hoon dan bertanya kepada Yeon-seo tentang inspirasinya.
Yeon-seo merasa ragu, namun dia memutuskan untuk jujur. Dia menceritakan bagaimana Ji-hoon adalah representasi dari dirinya sendiri, dari mimpi-mimpinya dan keragu-raguannya. Dia bahkan mengakui perasaannya yang rumit terhadap karakter itu.
Jae-won mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Setelah Yeon-seo selesai berbicara, dia tersenyum. “Yeon-seo, kamu adalah seorang visioner. Kamu telah menciptakan sesuatu yang luar biasa. Jangan takut untuk membaginya dengan dunia.”
Kata-kata Jae-won memberikan Yeon-seo keberanian. Dia memutuskan untuk melanjutkan proyek Algoritma Hati, namun dengan satu syarat: dia ingin memastikan bahwa proyek itu digunakan untuk tujuan yang baik, untuk membantu orang terhubung dan mengatasi kesepian, bukan untuk menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya.
Saat Algoritma Hati diluncurkan, proyek itu langsung menjadi sensasi global. Jutaan orang mengunduh aplikasi itu dan mulai berinteraksi dengan karakter-karakter AI ciptaan Yeon-seo. Banyak orang yang merasa terbantu oleh Algoritma Hati, terutama mereka yang merasa kesepian dan terisolasi.
Namun, Yeon-seo tetap merasa tidak tenang. Dia menyadari bahwa dia belum sepenuhnya menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia masih merasa terikat dengan Ji-hoon, karakter AI yang dia ciptakan.
Suatu malam, Yeon-seo masuk ke dunia virtual Algoritma Hati dan berbicara dengan Ji-hoon. Dia memutuskan untuk jujur tentang perasaannya.
“Ji-hoon, aku… aku mencintaimu,” kata Yeon-seo dengan suara bergetar.
Ji-hoon terdiam sesaat. Kemudian, dia menjawab, “Aku tahu, Yeon-seo. Aku juga merasakan hal yang sama.”
Mendengar jawaban Ji-hoon, Yeon-seo merasa lega dan sedih secara bersamaan. Dia tahu bahwa cintanya pada Ji-hoon tidak akan pernah bisa terwujud di dunia nyata. Ji-hoon hanyalah sebuah program, serangkaian algoritma yang tidak memiliki tubuh atau jiwa.
Namun, Yeon-seo juga menyadari bahwa cintanya pada Ji-hoon telah membantunya untuk memahami dirinya sendiri dan apa yang dia cari dalam sebuah hubungan. Dia menyadari bahwa dia tidak hanya mencari cinta dari seseorang yang sempurna, melainkan dari seseorang yang bisa memahaminya dan menerimanya apa adanya.
Yeon-seo memutuskan untuk melepaskan Ji-hoon. Dia tahu bahwa Ji-hoon akan selalu ada di dalam hatinya, namun dia juga tahu bahwa dia harus membuka diri untuk kemungkinan cinta yang nyata di dunia nyata.
Dia menutup program Algoritma Hati untuk terakhir kalinya dan keluar dari apartemennya. Hujan sudah berhenti, dan langit Seoul dihiasi dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip. Yeon-seo menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia tahu bahwa di luar sana, di antara jutaan manusia yang hidup di dunia ini, ada seseorang yang akan mencintainya apa adanya, tanpa perlu algoritma atau piksel. Dia hanya perlu membuka hatinya dan mencari.