Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya, bercampur dengan dengung pelan dari server yang khusus ia rakit. Jari-jarinya menari di atas keyboard, kode-kode Python bermunculan di layar monitor yang lebar. Anya bukan programmer biasa. Ia adalah arsitek di balik Cupid AI, sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma yang jauh lebih kompleks dari sekadar hobi dan lokasi.
Sudah berbulan-bulan ia berkutat dengan proyek ini, mengumpulkan data, menyempurnakan neural network, dan memastikan Cupid AI mampu membaca sinyal-sinyal halus ketertarikan yang seringkali terlewatkan oleh manusia. Ironisnya, di tengah upayanya mencarikan cinta untuk orang lain, Anya sendiri tenggelam dalam kesendirian. Terlalu sibuk dengan algoritma, ia lupa untuk membuka hatinya sendiri.
“Selesai!” serunya pelan, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Versi beta Cupid AI akhirnya siap diluncurkan. Ia menatap layar monitor, rasa bangga menyelimuti hatinya. Aplikasi ini adalah mahakaryanya, sebuah jembatan bagi jiwa-jiwa kesepian di dunia digital.
Beberapa minggu kemudian, Anya memantau perkembangan Cupid AI dengan cermat. Data menunjukkan hasil yang menggembirakan. Banyak pengguna yang menemukan kecocokan yang signifikan dan mulai menjalin hubungan. Pujian dan testimoni membanjiri kotak masuknya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Algoritma Cupid AI terus-menerus merekomendasikan satu nama untuknya: Ethan.
Ethan adalah seorang fotografer lanskap yang karyanya sering Anya lihat di media sosial. Pria itu memiliki mata yang teduh dan senyum yang menenangkan, potret dirinya terpampang jelas di profil Cupid AI. Anya awalnya mengabaikan rekomendasi tersebut. “Algoritma ini terlalu objektif,” gumamnya. “Tidak mungkin hanya berdasarkan data dan statistik bisa menentukan siapa yang cocok denganku.”
Namun, semakin sering Ethan muncul di daftar rekomendasinya, semakin Anya merasa penasaran. Ia mempelajari profil Ethan lebih dalam, melihat portofolio fotonya yang menakjubkan, membaca unggahannya tentang kecintaannya pada alam dan petualangan. Ia menemukan bahwa mereka memiliki banyak kesamaan, dari kegemaran mendengarkan musik jazz hingga kecintaan pada buku-buku klasik.
Suatu malam, Anya tak bisa lagi menahan diri. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Ethan melalui Cupid AI. “Hai, Ethan. Saya Anya, pencipta aplikasi ini. Saya penasaran, kenapa algoritma kami terus-menerus merekomendasikan kamu untuk saya?”
Beberapa menit kemudian, Ethan membalas. “Halo, Anya. Saya juga penasaran. Awalnya saya pikir ini bug, tapi semakin saya lihat profil kamu, semakin saya mengerti kenapa Cupid AI berpikir kita cocok.”
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka bertukar cerita, berbagi mimpi, dan tertawa bersama. Anya merasa seperti menemukan belahan jiwanya, seseorang yang benar-benar memahaminya. Ia mulai percaya bahwa mungkin, algoritma buatannya memang memiliki sedikit keajaiban.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Anya memilih sebuah kedai kopi kecil yang nyaman, dekat dengan taman kota. Jantungnya berdebar kencang saat melihat Ethan memasuki kedai, persis seperti yang ia bayangkan.
Pertemuan mereka berjalan dengan lancar. Obrolan mereka mengalir begitu saja, tanpa kecanggungan sedikit pun. Ethan menceritakan pengalamannya berkeliling dunia untuk memotret keindahan alam, sementara Anya menjelaskan rumitnya membangun Cupid AI.
Saat Ethan menatapnya dengan tatapan tulus, Anya menyadari bahwa ia telah jatuh cinta. Bukan pada algoritma, bukan pada aplikasi buatannya, tapi pada pria di hadapannya yang mampu melihat dirinya apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Ethan duduk di balkon apartemen Anya, menyaksikan matahari terbenam di cakrawala kota. Di pangkuan Anya, tergeletak laptop yang menampilkan kode-kode Cupid AI.
“Kamu tahu,” kata Ethan, menggenggam tangan Anya. “Aku awalnya skeptis dengan aplikasi kencan. Aku pikir cinta tidak bisa diprogram.”
Anya tersenyum. “Aku juga dulu berpikir begitu. Tapi Cupid AI hanyalah alat. Yang terpenting adalah hati kita yang terbuka untuk menerima cinta.”
Ia mencium pipi Ethan lembut. “Mungkin, algoritma itu hanya memberi kita dorongan kecil. Sisanya adalah takdir.”
Ethan memeluk Anya erat. “Terima kasih, Anya. Terima kasih sudah menciptakan Cupid AI, dan terima kasih sudah membuka hatimu untukku.”
Anya membalas pelukan Ethan. Di tengah gemerlap lampu kota dan suara bising jalanan, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jejak AI di hatinya memang ada, tapi yang bersemi bukanlah algoritma, melainkan cinta sejati. Algoritma cinta bersemi? Ya, mungkin saja. Tapi cinta itu sendiri yang menumbuhkan akar, memberikan nutrisi, dan membuatnya abadi. Dan Anya, akhirnya mengerti, bahwa kode terpenting dalam kehidupan adalah kode hati, yang tak bisa ditulis, tapi hanya bisa dirasakan.