Algoritma Asmara: Mencuri Hatiku Lewat Piksel dan Data

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 22:42:12 wib
Dibaca: 167 kali
Hujan deras di luar kaca kafe membuat malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jari-jemariku menari di atas keyboard laptop, baris demi baris kode Python tercipta. Aku, Ardi, seorang data scientist yang lebih akrab dengan angka dan algoritma daripada interaksi sosial, sedang berusaha memecahkan sebuah masalah yang menurutku jauh lebih rumit dari machine learning: cinta.

Aku jatuh cinta pada Anya, barista di kafe ini. Anya dengan senyumnya yang menawan, aroma kopi yang selalu melekat di rambutnya, dan tatapan mata yang mampu membuat algoritma terbaik sekalipun mengalami error. Masalahnya, aku terlalu kaku untuk mendekatinya secara langsung. Setiap kali mencoba menyapa, lidahku kelu, otakku terasa kosong, dan yang keluar hanyalah gumaman tidak jelas.

Maka, tercetuslah ide gila ini: membuat algoritma cinta. Aku akan mengumpulkan data tentang Anya, menganalisis perilakunya, dan membuat model prediktif tentang apa yang membuatnya tertarik. Kedengarannya absurd, aku tahu. Tapi, dalam dunia data, semua bisa diukur dan diprediksi, bukan?

Aku mulai mengumpulkan data. Menu kopi favoritnya, buku yang sering dibacanya di sela-sela pekerjaannya, musik yang diputar di playlist kafenya. Aku bahkan membuat web scraper sederhana untuk memantau akun media sosialnya, mencari tahu influencer yang diikutinya, dan topik yang sering dikomentarinya.

Awalnya terasa canggung. Aku merasa seperti penguntit digital. Tapi kemudian, aku meyakinkan diri bahwa ini adalah riset, penelitian untuk memahami objek yang sangat aku kagumi. Data demi data terkumpul, membanjiri database kecilku.

Algoritma itu mulai terbentuk. Aku menggunakan teknik natural language processing untuk menganalisis teks-teks di media sosialnya, mencari pola dan sentimen. Aku menggunakan collaborative filtering untuk merekomendasikan buku dan musik yang mungkin disukainya. Bahkan, aku mencoba membuat model image recognition untuk mengidentifikasi ekspresi wajah Anya, mencoba memahami perasaannya hanya dengan melihat fotonya.

Hasilnya cukup mengejutkan. Algoritma itu berhasil mengidentifikasi bahwa Anya sangat tertarik pada isu lingkungan, menyukai musik jazz klasik, dan memiliki ketertarikan pada penulis-penulis feminis. Informasi ini jauh lebih berharga daripada sekadar mengetahui dia suka kopi latte.

Dengan data ini, aku menyusun strategi. Aku mulai membawa buku-buku yang direkomendasikan algoritma, pura-pura membacanya di dekat Anya. Aku sesekali menyelipkan komentar tentang isu lingkungan saat memesan kopi. Aku bahkan membuat playlist jazz klasik dan memutarnya pelan-pelan di laptopku.

Awalnya, tidak ada reaksi yang signifikan. Anya tetap ramah dan profesional, tapi tidak ada tanda-tanda ketertarikan yang lebih dalam. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah algoritmaku salah? Apakah cinta benar-benar tidak bisa diprediksi?

Suatu malam, saat kafe sudah sepi, Anya menghampiriku. "Kamu sering membaca buku-buku bagus ya, Ardi?" tanyanya, tersenyum.

Jantungku berdebar kencang. Algoritma itu bekerja! "Oh, iya. Kebetulan saja," jawabku, mencoba bersikap santai.

"Aku perhatikan, kamu juga sering membahas isu lingkungan. Aku senang ada yang peduli juga," lanjutnya.

Kami mulai berbicara. Awalnya canggung, tapi lama kelamaan percakapan mengalir lancar. Kami membahas buku-buku favorit kami, sudut pandang kami tentang isu lingkungan, bahkan pengalaman masa kecil kami. Aku merasa nyaman berbicara dengannya, sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.

Malam itu, aku baru menyadari satu hal penting. Algoritma itu memang membantuku membuka pintu, tapi yang membuat percakapan itu bermakna adalah diriku sendiri. Data dan piksel hanyalah alat, bukan tujuan. Ketertarikan yang tulus dan kemampuan untuk terhubung secara emosional adalah kunci sebenarnya.

Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri mengajak Anya berkencan. Kami pergi ke konser jazz di sebuah bar kecil, membahas buku-buku yang baru kami baca, dan berbagi cerita tentang mimpi-mimpi kami. Malam itu, aku menggenggam tangannya. Sentuhan itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuhku, jauh lebih kuat dari algoritma manapun.

Hubungan kami berkembang. Aku belajar untuk menjadi lebih terbuka, lebih spontan, dan lebih jujur. Aku belajar bahwa cinta bukan tentang memprediksi perilaku seseorang, tapi tentang menerima mereka apa adanya.

Suatu hari, Anya bertanya kepadaku, "Bagaimana kamu bisa tahu aku suka buku-buku ini? Aku merasa kamu sangat mengenalku."

Aku terdiam. Apakah aku harus menceritakan tentang algoritma cintaku? Aku takut dia akan merasa aneh, bahkan jijik.

Akhirnya, aku memutuskan untuk jujur. Aku menceritakan semuanya, dari awal mula ide gila itu, sampai data-data yang aku kumpulkan, dan algoritma yang aku buat.

Anya mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraanku. Setelah aku selesai, dia tertawa. Tawa yang renyah dan menenangkan.

"Kamu ini aneh sekali, Ardi," katanya, masih tertawa. "Tapi, aku suka keanehanmu itu. Kamu menunjukkan betapa seriusnya kamu berusaha untuk mengenalku. Lagipula, aku juga seorang data enthusiast, jadi aku mengerti proses berpikirmu."

Aku merasa lega. Aku takut Anya akan marah, tapi ternyata dia justru mengapresiasi usahaku.

"Tapi, ingat," lanjutnya, "cinta bukan tentang algoritma. Ini tentang perasaan. Tentang koneksi yang kita bangun bersama. Tentang kejujuran dan kepercayaan."

Aku mengangguk, mengerti. Algoritma itu membantuku memulai, tapi cinta sejati membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar data dan piksel.

Malam itu, aku menghapus semua data dan kode yang pernah aku buat. Aku tidak membutuhkan algoritma lagi. Aku sudah memiliki Anya, dan itu sudah lebih dari cukup. Aku belajar bahwa cinta adalah sebuah algoritma yang terlalu kompleks untuk dipecahkan, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Cinta adalah tentang merangkul ketidakpastian, tentang belajar bersama, dan tentang tumbuh bersama. Cinta adalah tentang menemukan bug dalam diri kita sendiri dan memperbaiki diri bersama-sama. Dan aku, bersama Anya, siap untuk menghadapi semua bug itu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI