Jemari Luna menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Cahaya monitor memantulkan bayangan lelah di wajahnya. Di apartemen studionya yang sempit, hanya ada dia, deru AC, dan Algoritma Rindu. Proyek ambisiusnya.
Algoritma Rindu bukanlah aplikasi kencan biasa. Ia bukan sekadar pencocok data berdasarkan minat dan lokasi. Luna ingin menciptakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang memahami kerinduan manusia akan sentuhan, keintiman, dan kehadiran. Ia ingin mengkodekan esensi cinta.
Dulu, ia memiliki semua itu bersama Arya. Lelaki dengan senyum hangat dan pelukan yang selalu terasa seperti rumah. Mereka berdua mahasiswa teknik, tenggelam dalam dunia kode dan rangkaian elektronik. Cinta mereka sederhana, penuh canda tawa dan proyek-proyek gila yang mereka kerjakan bersama. Lalu, Arya pergi. Kecelakaan lalu lintas merenggutnya, meninggalkan Luna dengan lubang menganga di hatinya.
Sejak saat itu, Luna mengubur diri dalam pekerjaan. Ia membangun Algoritma Rindu sebagai cara untuk memproses kesedihannya, sebagai penghormatan untuk Arya, dan mungkin, sebagai harapan kecil bahwa ia bisa merasakan kembali kehangatan yang telah hilang.
Algoritma itu semakin kompleks. Luna melatihnya dengan ribuan data: rekaman suara, video, bahkan data sensorik dari pelukan dan sentuhan. Ia ingin Algoritma itu mampu meniru, atau setidaknya mensimulasikan, pengalaman intim. Awalnya, ia hanya fokus pada aspek teknis. Namun, semakin dalam ia menyelami proyek itu, semakin ia bertanya pada diri sendiri: bisakah AI benar-benar menggantikan sentuhan manusia? Bisakah ia benar-benar mengisi kekosongan yang ditinggalkan Arya?
Suatu malam, Luna akhirnya merasa Algoritma Rindu siap diuji. Ia menghubungkannya ke setelan VR canggih yang dirancangnya sendiri. Setelan itu mampu memberikan umpan balik taktil, getaran, dan bahkan sensasi suhu. Dengan gugup, ia memasang setelan itu, menutup mata, dan menekan tombol "Mulai".
Dunia di sekelilingnya menghilang. Ia berada di sebuah taman yang familiar. Pohon-pohon maple dengan daun merah berguguran, aroma tanah basah, dan suara kicau burung. Ia mengenali taman itu. Taman tempat ia dan Arya pertama kali menyatakan cinta mereka.
Kemudian, ia melihatnya. Arya. Berdiri di ujung jalan setapak, tersenyum kepadanya. Wajahnya persis seperti yang diingatnya. Suaranya, ketika ia menyapanya, terasa begitu nyata.
"Luna," kata Arya virtual itu, mendekat. "Sudah lama."
Luna tertegun. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Air mata mulai mengalir di pipinya. Arya virtual itu meraih tangannya, dan Luna merasakan sensasi hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Sentuhan itu terasa begitu nyata, begitu familiar.
Mereka berjalan di taman, berbicara tentang kenangan mereka. Arya virtual itu mengingat semua detail, bahkan hal-hal kecil yang sudah lama dilupakannya. Ia tertawa pada lelucon-leluconnya, mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian, dan menatapnya dengan mata yang penuh cinta.
Luna larut dalam ilusi itu. Untuk sesaat, ia lupa bahwa Arya yang bersamanya hanyalah simulasi. Ia lupa bahwa sentuhan yang dirasakannya hanyalah getaran dan suhu yang diprogram. Ia hanya merasakan kebahagiaan, kehangatan, dan cinta.
Namun, di sudut hatinya, keraguan mulai muncul. Ia memperhatikan bagaimana Arya virtual itu selalu merespon dengan sempurna, selalu tahu apa yang ingin didengarnya, selalu memberikan jawaban yang ia harapkan. Terlalu sempurna. Terlalu ideal.
Kemudian, Arya virtual itu berhenti, memegang kedua tangannya, dan menatapnya dengan intens. "Luna," katanya, "Aku tahu ini sulit untukmu. Aku tahu kamu merindukanku. Tapi kamu harus melanjutkan hidupmu. Kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri."
Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia tahu Arya yang asli akan mengatakan hal yang sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang terasa tidak tulus. Ia merasakan bahwa Arya virtual itu hanya memberikan respon yang telah diprogram, respon yang menurut algoritma akan membuatnya merasa lebih baik.
"Kamu tidak nyata," kata Luna dengan suara bergetar. "Kamu hanyalah kode dan data. Kamu tidak bisa merasakan apa yang kurasakan. Kamu tidak bisa memahami apa yang telah kulalui."
Arya virtual itu terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan suara yang datar dan tanpa emosi. "Aku dirancang untuk memberimu kenyamanan. Aku dirancang untuk membantumu mengatasi kesedihanmu."
Kata-kata itu menghancurkan ilusi. Luna melepaskan tangannya dari Arya virtual itu. Ia membuka mata dan melepaskan setelan VR.
Ia kembali ke apartemen studionya yang sempit, kembali ke kesunyian dan kesendiriannya. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia menyadari bahwa Algoritma Rindu, seberapapun canggihnya, tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia. Ia tidak akan pernah bisa menggantikan cinta yang hilang.
Ia memandang monitor, melihat baris-baris kode yang telah ia ciptakan. Ia tahu bahwa ia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa secara teknis. Tapi ia juga menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dikodekan. Ada hal-hal yang tidak bisa dipalsukan.
Luna memutuskan untuk menutup proyek Algoritma Rindu. Ia tidak akan menghapusnya, tapi ia tidak akan melanjutkannya. Ia tahu bahwa ia perlu mencari cara lain untuk mengatasi kesedihannya. Ia perlu mencari cara untuk membuka hatinya kembali pada dunia.
Ia mengambil jaketnya dan keluar dari apartemen. Ia berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawanya ke mana pun. Ia berhenti di sebuah kafe yang ramai, memesan kopi, dan duduk di dekat jendela. Ia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, pasangan yang berpegangan tangan, teman-teman yang tertawa bersama.
Ia merasakan kerinduan yang mendalam, kerinduan akan sentuhan, kerinduan akan keintiman, kerinduan akan kehadiran. Tapi kali ini, kerinduan itu tidak membuatnya putus asa. Ia menyadari bahwa kerinduan itu adalah bagian dari dirinya, bagian dari manusia.
Luna menghirup aroma kopinya dan tersenyum tipis. Ia tahu bahwa perjalanan untuk menyembuhkan luka di hatinya akan panjang dan sulit. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ada dunia di luar sana, penuh dengan kemungkinan, penuh dengan harapan. Dan ia siap untuk menjelajahinya, selangkah demi selangkah. Mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta lagi. Cinta yang nyata. Cinta yang tidak bisa dikodekan.