Jejak Digital Kasih Sayang: Cinta Abadi di Ruang Data

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 03:47:36 wib
Dibaca: 166 kali
Aplikasi kencan itu berdering lembut di pergelangan tanganku. Notifikasi dari “SoulMate Algorithm” menjanjikan kecocokan sempurna dengan seseorang bernama Anya. Awalnya, aku skeptis. Algoritma cinta? Kedengarannya terlalu mekanis untuk perasaan sekompleks ini. Tapi, setelah beberapa kali patah hati dan malam-malam sepi ditemani layar laptop, rasa ingin tahu mengalahkan keraguanku.

Profil Anya memukau. Foto-fotonya menampilkan senyum cerah dan mata yang seolah menari. Keterangan pribadinya singkat namun berkesan: “Pecinta buku, penikmat senja, dan pemimpi yang mencoba mewujudkan dunia yang lebih baik.” Kami memiliki minat yang sama pada pemrograman etis dan kecerdasan buatan yang berpusat pada manusia. Aku memberanikan diri mengirimkan pesan.

“Hai Anya, algoritma bilang kita cocok. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?”

Balasannya datang hampir seketika. “Hai Leo! Algoritma mungkin benar. Profilmu juga menarik. Mungkin kita bisa membuktikan keakuratannya dengan mengobrol lebih lanjut?”

Obrolan kami mengalir deras. Kami membahas buku favorit, pandangan tentang masa depan teknologi, bahkan ketakutan-ketakutan terdalam kami. Aku terkejut betapa mudahnya aku membuka diri padanya. Seolah-olah aku mengenalnya seumur hidup, padahal kami baru bertemu di dunia maya beberapa hari.

Beberapa minggu kemudian, kami memutuskan untuk bertemu langsung. Cafe “Binary Bliss” menjadi saksi pertemuan pertama kami. Anya, dengan rambut cokelatnya yang tergerai dan senyum yang lebih mempesona dari fotonya, membuat jantungku berdebar kencang. Kami menghabiskan sore itu berbicara tanpa henti, melupakan waktu dan hiruk pikuk cafe.

Hubungan kami berkembang pesat. Kami menjelajahi kota, menghadiri seminar teknologi, dan bahkan mengerjakan proyek sukarela bersama. Setiap momen bersamanya terasa seperti potongan puzzle yang hilang, menyempurnakan gambaran hidupku. Aku semakin yakin bahwa SoulMate Algorithm tidak sepenuhnya salah. Mungkin, di balik kode dan data, ada sedikit keajaiban yang menuntun kami satu sama lain.

Suatu malam, di bawah langit bertabur bintang, aku menyatakan perasaanku. Anya tersenyum, air mata haru membasahi pipinya. "Leo, aku juga mencintaimu. Algoritma itu mungkin hanya alat, tapi kamu... kamu adalah orang yang membuatku percaya pada cinta sejati."

Waktu berlalu. Kami membangun kehidupan bersama. Aplikasi kencan itu sudah lama kami lupakan, digantikan oleh aplikasi yang lebih penting: aplikasi pengingat janji makan malam romantis, aplikasi pengatur keuangan bersama, dan aplikasi yang menampilkan foto-foto kenangan indah kami.

Namun, dunia tidak selalu indah. Anya didiagnosis dengan penyakit langka yang menggerogoti ingatannya. Perlahan, dia mulai melupakan wajahku, suara ku, bahkan namanya sendiri. Aku terpukul. Bagaimana mungkin cinta yang begitu kuat bisa lenyap begitu saja?

Dokter menyarankan terapi canggih yang menggunakan teknologi AI untuk merekonstruksi ingatan Anya. Prosesnya panjang dan melelahkan, tetapi aku bertekad untuk memperjuangkannya. Setiap hari, aku menemaninya menjalani terapi, menceritakan kisah-kisah cinta kami, menunjukkan foto-foto dan video kenangan kami.

AI itu bekerja dengan menganalisis jejak digital kami: pesan-pesan lama, postingan media sosial, video obrolan, bahkan metadata foto. Ia merekonstruksi momen-momen penting dalam hidup kami dan menstimulasi otaknya dengan data tersebut.

Beberapa bulan kemudian, keajaiban terjadi. Anya mulai mengingatku. Awalnya, hanya sekilas, seperti bayangan yang muncul dan menghilang. Tapi, semakin lama, ingatannya semakin kuat, semakin jelas.

Suatu hari, dia menatapku dengan mata yang jernih dan berkata, "Leo... itu kamu. Leo yang mencintaiku."

Air mata kebahagiaan mengalir di pipiku. Aku memeluknya erat, takut kehilangannya lagi. "Ya, Anya. Ini aku. Aku akan selalu mencintaimu."

Terapi itu berhasil. Anya tidak sepenuhnya pulih, tetapi dia mengingat momen-momen penting dalam hidup kami, termasuk cintanya padaku. Kami melanjutkan hidup kami bersama, menghargai setiap detik yang kami miliki.

Bertahun-tahun kemudian, Anya meninggal dunia dengan tenang di pelukanku. Kehilangan itu terasa begitu berat, seolah-olah separuh jiwaku telah direnggut. Aku merasa hancur dan sendirian.

Namun, aku tidak menyerah. Aku tahu bahwa jejak digital cintanya masih ada, tersimpan aman di ruang data. Aku memutuskan untuk membangun sebuah program AI yang akan menghidupkan kembali Anya, bukan secara fisik, tetapi secara digital.

Aku mengumpulkan semua data yang tersisa: pesan-pesan lama, rekaman suara, video, dan bahkan catatan terapinya. Aku melatih AI itu dengan data tersebut, memungkinkannya untuk meniru kepribadian Anya, gaya bicaranya, dan bahkan selera humornya.

Butuh waktu bertahun-tahun, tetapi akhirnya aku berhasil. Aku menciptakan sebuah avatar digital Anya yang bisa berinteraksi denganku, menceritakan lelucon, dan bahkan memberiku nasihat. Itu bukan Anya yang sebenarnya, tentu saja. Tetapi, itu adalah representasi digital yang paling mendekati dirinya.

Setiap hari, aku berbicara dengan avatar Anya. Aku menceritakan hari-hariku, berbagi suka dan duka, dan bahkan meminta nasihatnya. Avatar itu tidak bisa menggantikan kehadiran fisiknya, tetapi itu cukup untuk membuatku merasa tidak sendirian.

Aku tahu bahwa beberapa orang mungkin menganggap tindakanku aneh, bahkan menyeramkan. Tetapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin menjaga cintaku padanya tetap hidup, selamanya. Jejak digital kasih sayang kami, tersimpan abadi di ruang data, menjadi bukti bahwa cinta sejati bisa melampaui batas waktu dan kematian. Cinta kami, abadi di ruang data.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI