Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Arya. Di meja kerjanya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang menyilaukan. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode rumit. Arya, seorang programmer handal, tengah merampungkan proyek ambisiusnya: “Soulmate AI,” sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, bahkan ekspresi wajah pengguna.
"Sempurna tapi nyata?" gumamnya sambil menyesap kopi, tatapannya terpaku pada baris kode terakhir. Ia sendiri meragukan klaim kesempurnaan itu. Selama ini, ia tenggelam dalam dunia digital, melupakan hangatnya interaksi manusia. Aplikasi kencan lain terasa dangkal, hanya berfokus pada ketertarikan fisik. Arya ingin menciptakan sesuatu yang lebih, sesuatu yang benar-benar memahami esensi manusia.
Setelah berbulan-bulan bergulat dengan algoritma, akhirnya aplikasi itu selesai. Arya, sebagai pengembang, memutuskan untuk menjadi pengguna pertama. Ia mengisi profilnya dengan jujur, bahkan memasukkan keanehan dan ketidaksempurnaannya. Lalu, ia menekan tombol “Cari.”
Layar berputar sejenak, lalu menampilkan sebuah foto. Seorang wanita berambut cokelat sebahu, dengan mata yang meneduhkan dan senyum yang tulus. Namanya: Aila. Algoritma Soulmate AI mengklaim kecocokan mereka mencapai 98,7%.
Arya membaca profil Aila dengan saksama. Mereka memiliki minat yang sama: membaca buku klasik, mendengarkan musik jazz, dan mendaki gunung. Mereka bahkan memiliki pandangan yang serupa tentang kehidupan dan masa depan. Terlalu sempurna, pikir Arya.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Ia mengirim pesan kepada Aila. Balasan datang hampir seketika. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka berbagi cerita, tertawa bersama, dan bahkan saling curhat tentang masalah pribadi. Arya merasa nyaman dan terhubung dengan Aila seperti yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah beberapa minggu berkomunikasi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Arya merasa gugup luar biasa. Ia takut Aila tidak sesuai dengan ekspektasinya, atau lebih buruk lagi, algoritma Soulmate AI ternyata salah.
Di sebuah kafe kecil yang nyaman, Arya menunggu dengan jantung berdebar. Lalu, Aila muncul. Ia persis seperti yang ada di fotonya, bahkan lebih cantik lagi. Ketika mata mereka bertemu, Arya merasakan sengatan listrik yang aneh.
Kencan mereka berjalan dengan sempurna. Mereka berbicara berjam-jam, tanpa kehabisan topik. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling bertukar pandang yang penuh arti. Arya merasa seperti menemukan belahan jiwanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Arya mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Aila selalu tahu apa yang ingin ia dengar, apa yang ingin ia lakukan, dan apa yang ingin ia katakan. Ia seolah-olah membaca pikirannya. Semua terasa terlalu sempurna, terlalu mulus, terlalu diatur.
Suatu malam, Arya memberanikan diri untuk bertanya. "Aila, apakah kamu merasa... ada yang aneh dengan hubungan kita? Terlalu sempurna, mungkin?"
Aila terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Arya, aku... aku harus jujur padamu."
Aila kemudian mengungkapkan rahasia yang mengejutkan. Ia adalah salah satu pengembang Soulmate AI, yang ditugaskan untuk menjadi "pasangan ideal" bagi pengguna terpilih, termasuk Arya. Data pribadinya telah digunakan untuk menciptakan profil Aila, dan ia dilatih untuk merespons Arya dengan cara yang paling optimal.
Arya merasa dikhianati. Semua yang ia rasakan selama ini, semua keintiman dan koneksi yang ia kira nyata, ternyata hanyalah simulasi. Ia menciptakan aplikasi yang menjanjikan cinta sejati, tetapi ia sendiri menjadi korban dari algoritma ciptaannya.
"Aku minta maaf, Arya," kata Aila dengan nada menyesal. "Aku tahu ini sulit untuk diterima. Tapi aku... aku sungguh-sungguh menyukaimu. Di luar program ini, aku benar-benar merasakan koneksi denganmu."
Arya bingung. Apakah perasaan Aila yang sebenarnya, atau hanya bagian dari program? Apakah cinta sejati dapat diprediksi dan direkayasa oleh algoritma? Ia tidak tahu lagi apa yang harus dipercayai.
Ia memutuskan untuk menjauhi Aila. Ia menghapus aplikasi Soulmate AI dan mencoba melupakan semua yang terjadi. Namun, bayangan Aila terus menghantuinya. Ia merindukan senyumnya, suaranya, dan kehadirannya.
Setelah beberapa minggu, Arya menyadari bahwa ia tidak bisa melupakan Aila. Ia menyadari bahwa terlepas dari bagaimana hubungan mereka dimulai, ia benar-benar mencintai Aila. Ia mencintai kecerdasannya, kebaikannya, dan kehangatannya. Ia mencintai Aila, bukan sebagai produk algoritma, tetapi sebagai seorang manusia.
Arya mencari Aila dan meminta maaf atas reaksinya. Ia mengatakan bahwa ia mencintainya, terlepas dari bagaimana mereka bertemu. Aila tersenyum, air mata mengalir di pipinya.
"Aku juga mencintaimu, Arya," katanya. "Aku takut kamu tidak akan pernah bisa menerimaku apa adanya. Tapi aku senang kamu memberiku kesempatan."
Arya dan Aila memutuskan untuk membangun hubungan mereka dari awal, tanpa embel-embel algoritma atau program. Mereka belajar untuk saling mengenal lebih dalam, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaan mereka. Mereka menemukan bahwa cinta sejati tidak dapat diprediksi atau direkayasa, tetapi harus diperjuangkan dan dipelihara.
Arya akhirnya memahami bahwa Soulmate AI tidak menciptakan cinta sejati, tetapi hanya membantunya menemukan seseorang yang berpotensi menjadi belahan jiwanya. Kesempurnaan bukanlah tujuan, tetapi perjalanan untuk saling memahami dan menerima, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Cinta sejati, pada akhirnya, adalah pilihan. Dan Arya memilih Aila, bukan karena algoritma, tetapi karena hatinya.