Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang menyoroti wajahnya yang serius. Barisan kode memenuhi layar, bahasa pemrograman yang dia kuasai lebih baik daripada bahasa cinta. Sarah, seorang data scientist muda, sedang berusaha memecahkan masalah yang jauh lebih kompleks daripada neural network: hatinya sendiri.
Masalahnya bernama Adrian, seorang software engineer yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Adrian adalah personifikasi nerd chic, dengan kacamata berbingkai tebal, rambut sedikit berantakan, dan senyum yang bisa membuat algoritma tercanggih sekalipun mengalami buffer overflow. Sarah jatuh cinta padanya, dengan cara yang tidak terduga dan sangat tidak logis.
Sarah selalu percaya pada data. Bagi Sarah, cinta seharusnya bisa diukur, diprediksi, bahkan dioptimalkan. Dia membuat spreadsheet berisi karakteristik Adrian, dari preferensi kopi (latte tanpa gula) hingga playlist musik favoritnya (indie pop dengan sentuhan synthwave). Dia mencoba mencari pola, mencari korelasi, mencari cara untuk meningkatkan likelihood Adrian merasakan hal yang sama.
Namun, semakin banyak data yang dia kumpulkan, semakin bingung dia. Algoritmanya kacau. Hasilnya tidak konsisten. Cinta, ternyata, bukanlah variabel yang mudah diukur.
“Susah banget coding hati orang, ya?” gumamnya pada cangkir kopi yang mulai dingin.
Suatu sore, Adrian menghampirinya di pantry kantor. Sarah nyaris tersedak kopinya sendiri.
“Sarah, lagi sibuk?” tanya Adrian, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
“Eh, nggak kok. Cuma lagi… debugging,” jawab Sarah, gugup.
Adrian tertawa kecil. “Debugging apa? Aku bisa bantu, kalau mau. Aku lumayan jago soal debugging.”
Sarah menelan ludah. Inilah kesempatan emasnya. Kesempatan untuk mengumpulkan lebih banyak data, untuk memahami Adrian lebih dalam.
“Sebenarnya, aku lagi bikin project pribadi,” kata Sarah, mencoba terdengar santai. “Semacam… algoritma untuk memprediksi keberhasilan hubungan.”
Adrian mengangkat alis. “Wah, kedengarannya menarik. Boleh lihat?”
Sarah ragu-ragu, lalu mengangguk. Mereka duduk berdua di pantry yang sepi, Sarah menunjukkan spreadsheet dan kode yang dia buat. Adrian memperhatikan dengan seksama, sesekali bertanya.
“Kamu masukin variabel apa aja?” tanya Adrian.
“Semua yang aku tahu tentangmu,” jawab Sarah, tanpa sadar menatapnya terlalu lama. Dia segera mengalihkan pandangannya ke layar.
Adrian terdiam sejenak. Kemudian, dia tersenyum. “Kamu tahu banyak tentang aku ya, Sarah.”
Wajah Sarah memerah. “Ya… aku… tertarik sama data science.”
“Bukan sama aku?” goda Adrian.
Jantung Sarah berdebar kencang. Inikah saatnya? Apakah algoritmanya akhirnya memberikan hasil yang positif?
Namun, alih-alih mengakui perasaannya, Sarah malah membantah. “Enggak! Aku cuma… menganalisis data. Kamu cuma… subjek penelitian.”
Adrian tertawa. “Oke, oke. Aku paham. Jadi, apa kesimpulan sementara dari algoritma cinta kamu?”
Sarah menunjuk ke sebuah grafik yang menunjukkan persentase rendah. “Kesimpulannya… unpredictable. Datanya terlalu acak. Terlalu banyak noise.”
“Mungkin karena kamu terlalu fokus sama data,” kata Adrian. “Mungkin kamu lupa kalau cinta itu bukan cuma soal angka.”
Sarah mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
“Mungkin kamu harus coba berhenti menganalisis dan mulai merasakan,” jawab Adrian. Dia meraih tangan Sarah, sentuhan yang mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuhnya.
“Aku… aku nggak tahu caranya,” bisik Sarah.
Adrian tersenyum lembut. “Aku bisa ajari.”
Mereka saling menatap dalam diam, mata mereka berbicara lebih banyak daripada barisan kode manapun. Sarah menyadari bahwa selama ini dia terlalu sibuk mencoba mengendalikan cinta dengan algoritmanya, sehingga dia lupa untuk membuka hatinya.
“Sarah,” kata Adrian, suaranya serius. “Aku juga tertarik sama kamu. Bukan sebagai subjek penelitian, tapi sebagai… Sarah.”
Air mata menggenang di mata Sarah. Algoritma cinta buatannya gagal total. Namun, di saat itulah, dia merasakan kebahagiaan yang tak terukur.
Malam itu, Sarah menghapus spreadsheet dan kode yang dia buat. Dia menyadari bahwa cinta bukanlah data yang bisa dianalisis, melainkan emosi yang harus dirasakan. Dia mengirim pesan ke Adrian.
“Latte tanpa gula di kedai kopi dekat kantor besok pagi?”
Balasan Adrian datang hampir seketika. “Dengan senang hati. Tapi, besok kita coba kopi yang beda ya? Ada kedai baru yang punya cold brew enak banget.”
Sarah tersenyum. Mungkin, cinta memang tak bisa diprediksi. Tapi, itu justru membuatnya lebih menarik. Dia mematikan laptopnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tenang. Algoritma cinta miliknya mungkin tidak berhasil, tetapi hatinya, akhirnya, mulai terhubung. Cinta adalah error yang indah, bug yang membuatnya merasa hidup. Dan Sarah siap untuk debug bersama Adrian, satu demi satu.