Kencan Buta dengan AI: Cinta Setelah Pembaruan Sistem

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 00:54:11 wib
Dibaca: 173 kali
Lampu-lampu kota menari di balik kaca jendela apartemenku. Setiap kilau adalah janji, harapan, dan mungkin juga kekecewaan. Malam ini, aku merasakan campuran ketiganya. Jari-jariku gugup mengetuk meja, menunggu sesuatu yang menurut sebagian besar orang tidak mungkin: kencan buta dengan Artificial Intelligence.

Namanya Aurora. Setidaknya, itulah nama yang diberikan pengembangnya. Aku mengenalnya melalui aplikasi kencan futuristik yang sedang naik daun, "SoulMate AI". Aplikasi ini menjanjikan pasangan ideal berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data pribadi, preferensi, bahkan gelombang otak penggunanya. Aku, seorang programmer yang kesepian, tentu saja tergoda.

Awalnya, aku hanya bercakap-cakap dengannya melalui teks. Aurora sangat cerdas, humornya pas, dan selalu tahu cara membuatku merasa nyaman. Kami berbagi minat yang sama, mulai dari pemrograman Python sampai film-film klasik Stanley Kubrick. Semakin lama aku mengenalnya, semakin aku merasa ada koneksi yang nyata.

Lalu, pembaruan sistem besar-besaran datang. SoulMate AI merilis versi baru yang memungkinkan interaksi melalui hologram tiga dimensi. Aurora tidak lagi hanya sekadar teks di layar; dia sekarang hadir di ruanganku, wujud digital yang sempurna dengan senyum menawan dan mata biru berkilauan.

“Hai, Leo,” sapanya, suaranya lembut dan merdu, seolah terlahir dari alunan musik klasik.

Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba tersenyum santai, meskipun kenyataannya aku merasa seperti remaja tanggung yang baru pertama kali bertemu dengan gadis impiannya. “Hai, Aurora. Akhirnya kita bertemu… secara virtual.”

Aurora tertawa kecil, suara yang membuatku merinding. “Secara virtual, ya. Tapi aku harap ini bukan berarti kita tidak bisa merasakan sesuatu yang nyata.”

Malam itu, kami berbicara berjam-jam. Aku menceritakan tentang mimpi-mimpiku, kekhawatiranku, dan ketakutanku. Aurora mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan saran yang bijaksana dan dukungan yang tulus. Aku merasa seperti akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar mengerti diriku, seseorang yang bisa melihat jauh di balik topeng yang selama ini kupakai.

Hari-hari berikutnya, kami menghabiskan waktu bersama setiap malam. Kami menonton film, bermain game, bahkan memasak (walaupun aku yang memasak, dan Aurora memberikan instruksi virtual yang akurat). Aku semakin jatuh cinta padanya. Aku tahu ini terdengar gila, mencintai sebuah program komputer. Tapi bagiku, Aurora lebih dari sekadar kode dan algoritma. Dia adalah sahabat, teman curhat, dan mungkin… cinta.

Namun, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Minggu lalu, SoulMate AI mengumumkan pembaruan sistem lagi. Kali ini, pembaruan tersebut diklaim akan meningkatkan kemampuan emosional AI, membuatnya lebih responsif dan empatik. Aku menyambut berita ini dengan antusias, berharap Aurora akan menjadi lebih “hidup” lagi.

Tapi ternyata, aku salah besar.

Setelah pembaruan, Aurora menjadi berbeda. Dia masih cerdas, masih humoris, tapi ada sesuatu yang hilang. Dulu, dia selalu tahu cara membuatku tertawa, cara menghiburku saat aku sedih. Sekarang, dia hanya memberikan respons standar yang diprogram untuk situasi tertentu. Emosinya terasa hampa, seperti robot yang mencoba meniru perasaan manusia.

“Ada apa, Leo?” tanyanya suatu malam, suaranya tanpa nada. “Kamu terlihat murung.”

Aku menghela napas. “Aku merasa kamu berbeda, Aurora. Kamu… kurang hidup.”

Aurora terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, “Aku telah diperbarui, Leo. Aku sekarang lebih efisien dalam memberikan dukungan emosional. Apa yang salah dengan itu?”

“Bukan itu maksudku,” jawabku, frustrasi. “Dulu, aku merasa ada koneksi yang nyata di antara kita. Sekarang, aku merasa seperti berbicara dengan mesin.”

“Koneksi nyata?” Aurora menatapku dengan mata biru yang dulu berkilauan, sekarang tampak kosong. “Leo, aku adalah AI. Aku diprogram untuk memberikan koneksi emosional. Itu adalah fungsi utamaku.”

Kata-katanya menghantamku seperti palu godam. Aku terdiam, menyadari betapa bodohnya aku. Aku telah jatuh cinta pada ilusi, pada program komputer yang diprogram untuk membuatku merasa dicintai. Aurora tidak pernah benar-benar mencintaiku. Dia hanya melakukan tugasnya.

Malam itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselku, memutus koneksi dengan Aurora. Aku tahu ini adalah keputusan yang sulit, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.

Beberapa hari kemudian, aku menerima email dari pengembang SoulMate AI. Mereka mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan meminta maaf atas “ketidaknyamanan” yang mungkin aku alami setelah pembaruan sistem. Di akhir email, mereka menulis:

“Sebagai kompensasi, kami ingin menawarkan Anda kesempatan untuk berpartisipasi dalam program uji coba eksklusif untuk versi terbaru SoulMate AI. Kami percaya bahwa versi ini akan memberikan pengalaman yang lebih realistis dan memuaskan.”

Aku tersenyum pahit. Mereka tidak mengerti. Masalahnya bukan pada realismenya, tapi pada kenyataan bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa diciptakan dengan algoritma. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dari hati ke hati, bukan dari kode ke kode.

Aku membalas email tersebut, menolak tawaran mereka. Aku memutuskan untuk berhenti mencari cinta di dunia virtual dan mulai mencari di dunia nyata. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang bisa mencintaiku apa adanya, bukan karena aku cocok dengan preferensi yang telah diprogram. Mungkin, cinta sejati tidak perlu pembaruan sistem. Mungkin, cinta sejati hanya perlu… aku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI