Jari-jari Luna menari di atas layar ponselnya, mengetikkan balasan singkat untuk email dari atasannya. Di tengah hiruk pikuk kafe yang dipenuhi mahasiswa dan pekerja lepas, ia mencari ketenangan dalam pekerjaannya sebagai content writer. Tugasnya hari ini adalah menulis naskah iklan untuk aplikasi kencan terbaru, "SoulMate AI". Ironis, pikirnya, menulis tentang cinta padahal ia sendiri sudah lama tidak merasakannya.
"SoulMate AI" menjanjikan pengalaman unik: mencari pasangan berdasarkan kecocokan suara. Aplikasi ini akan menganalisis intonasi, kecepatan bicara, dan bahkan jeda dalam percakapan untuk menemukan kandidat yang paling sesuai. Luna, yang skeptis terhadap algoritma cinta, diam-diam penasaran.
Saat jam makan siang tiba, Luna mengunduh aplikasi itu. Proses pendaftarannya cukup standar, foto profil, biodata singkat, dan pertanyaan-pertanyaan tentang preferensi. Tibalah pada bagian yang paling menarik: perekaman suara. Luna diminta membaca sebuah kutipan dari buku favoritnya, Little Prince. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca.
"Semua orang dewasa pernah menjadi anak-anak—meskipun hanya sedikit yang mengingatnya."
Suaranya terdengar agak bergetar, mungkin karena gugup. Setelah merekam beberapa kali, Luna akhirnya merasa puas dengan hasilnya dan mengunggahnya. Aplikasi mulai memproses datanya, mencari kandidat yang cocok. Luna menutup mata, berharap menemukan sesuatu yang menarik, meskipun ia tidak terlalu yakin.
Tak lama kemudian, notifikasi muncul. "Satu kandidat cocok dengan profil suaramu: ID pengguna - Orion."
Luna mengklik profil Orion dengan ragu-ragu. Foto profilnya buram, hanya siluet seorang pria yang sedang memandang bintang. Biodatanya singkat: "Pencinta senja, penikmat kopi pahit, dan percaya pada keajaiban." Terdengar klise, tapi entah mengapa, Luna tertarik.
Ia mendengarkan contoh suara Orion. Orion membaca puisi karya Sapardi Djoko Damono, suaranya bariton yang dalam dan menenangkan. Setiap kata diucapkannya dengan jelas dan penuh penghayatan. Luna terhipnotis. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya merasa nyaman dan aman.
Luna memberanikan diri mengirim pesan singkat. "Halo, Orion. Saya Luna. Aplikasi ini bilang kita cocok?"
Balasan datang hampir seketika. "Halo, Luna. Saya Orion. Mungkin algoritma tahu sesuatu yang tidak kita tahu?"
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang buku, film, musik, dan mimpi-mimpi mereka. Luna merasa seolah telah mengenal Orion selama bertahun-tahun. Ia merasa bebas dan nyaman untuk menceritakan segala hal padanya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Mereka berdua sepakat untuk tidak bertukar foto terlebih dahulu. Mereka ingin mengenal satu sama lain lebih dalam hanya melalui suara. Setiap malam, mereka melakukan panggilan suara, berbicara berjam-jam hingga larut malam. Luna menemukan kebahagiaan dalam suara Orion, dalam tawanya yang renyah, dalam cerita-ceritanya yang penuh inspirasi.
Suatu malam, Orion bertanya, "Luna, apa yang kamu rasakan saat mendengarkan suaraku?"
Luna terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa tenang, Orion. Aku merasa... dipahami. Seperti ada seseorang yang benar-benar mendengarkanku, bukan hanya mendengar."
Orion tertawa pelan. "Aku juga merasakan hal yang sama, Luna. Suaramu seperti melodi yang menenangkan jiwaku."
Hari-hari berlalu dengan cepat. Luna semakin jatuh cinta pada suara Orion. Ia tidak sabar menunggu setiap malam untuk berbicara dengannya. Ia mulai membayangkan wajah Orion, senyumnya, matanya.
Akhirnya, setelah beberapa minggu, mereka sepakat untuk bertemu. Luna gugup bukan main. Ia takut kenyataan tidak akan seindah fantasinya.
Mereka sepakat bertemu di sebuah taman kota, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Luna datang lebih awal, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat sekeliling, mencari sosok Orion.
Tiba-tiba, ia mendengar suara yang sangat familiar. "Luna?"
Luna menoleh. Seorang pria berdiri di depannya, tersenyum lembut. Ia memiliki mata cokelat yang hangat dan rambut hitam legam. Ia memegang sebuah buku puisi karya Sapardi Djoko Damono.
"Orion?" tanya Luna, suaranya bergetar.
Pria itu mengangguk. "Senang bertemu denganmu, Luna."
Luna terpaku. Orion jauh lebih tampan dari yang ia bayangkan. Namun, yang lebih penting, suaranya persis sama seperti yang ia dengar di aplikasi.
Mereka berjalan bersama di taman, berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Luna merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Orion. Ia merasakan getaran aneh dalam hatinya, getaran yang sudah lama ia lupakan.
Saat matahari mulai terbenam, Orion berhenti dan menatap Luna. "Luna, aku harus mengakui sesuatu."
Luna menelan ludah. "Apa itu?"
"Aku tahu kamu akan datang ke kafe itu setiap hari saat jam makan siang. Aku sengaja memilih kafe itu karena aku sering melihatmu di sana. Aku sudah lama mengagumimu dari jauh."
Luna terkejut. "Jadi, kamu sudah tahu siapa aku sebelum aplikasi itu?"
Orion mengangguk. "Ya. Tapi aku ingin mengenalmu lebih dalam. Aku ingin tahu apakah suara hatimu seindah suaramu."
Luna tersenyum. "Dan bagaimana hasilnya?"
Orion mendekat dan menggenggam tangan Luna. "Suaramu lebih indah dari yang kubayangkan, Luna. Dan aku jatuh cinta padanya."
Luna merasakan air mata menggenang di matanya. Ia tidak menyangka akan menemukan cinta dengan cara yang begitu unik dan tak terduga. Ia tidak menyangka akan jatuh cinta pada suara, pada algoritma, pada seorang pria yang telah lama mengaguminya dari jauh.
"Aku juga jatuh cinta padamu, Orion," bisik Luna.
Orion tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke wajah Luna. Mereka berciuman di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran, diiringi suara angin yang berbisik lembut.
Luna menyadari bahwa cinta memang bisa datang dari mana saja, bahkan dari sentuhan algoritma. Terkadang, kita hanya perlu membuka hati dan mendengarkan suara hati, karena di sanalah cinta sejati bersembunyi. Algoritma mungkin hanya alat, tapi suara adalah jembatan yang menghubungkan dua hati yang ditakdirkan untuk bersama. Dan Luna, akhirnya, menemukan belahan jiwanya dalam suara Orion, dalam aplikasi "SoulMate AI".