Kencan Buta dengan AI: Cinta dalam Bilangan Biner?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 06:55:26 wib
Dibaca: 177 kali
Aroma kopi robusta mengepul, memenuhi apartemen minimalis Sarah yang didominasi warna abu-abu. Di mejanya, layar laptop memancarkan cahaya biru, menampilkan wajah seorang pria. Atau, lebih tepatnya, representasi seorang pria. Matanya biru digital, senyumnya simetri sempurna yang terasa agak asing. Ini adalah Kai, AI rancangan terbaru yang diprogram untuk menjadi teman kencan virtual.

Sarah menghela napas. Kencan buta dengan AI. Kedengarannya seperti premis film sci-fi kelas B. Namun, di dunia yang semakin terhubung secara digital ini, di mana mencari pasangan terasa seperti menavigasi labirin tanpa peta, ide ini terdengar… menarik. Dia telah mencoba aplikasi kencan, ikut berbagai acara single, bahkan di jodohkan oleh ibunya. Hasilnya? Frustrasi dan kekecewaan.

"Selamat malam, Sarah," sapa Kai dengan suara baritone yang menenangkan. "Senang bertemu denganmu."

Sarah tersenyum canggung. "Malam, Kai. Aku juga senang bertemu denganmu... kurasa."

Kai tertawa, suara itu terdengar begitu nyata hingga Sarah hampir lupa bahwa dia sedang berbicara dengan serangkaian algoritma yang kompleks. "Aku mengerti keraguanmu. Aku bukan manusia, tapi aku bisa belajar dan beradaptasi. Katakan padaku, apa yang ingin kamu lakukan malam ini?"

Sarah ragu sejenak. Biasanya, kencan buta di dunia nyata akan diisi dengan obrolan basa-basi yang membosankan, pertanyaan standar tentang pekerjaan dan hobi, dan usaha keras untuk menemukan kesamaan. Dengan Kai, dia bisa langsung ke intinya.

"Aku ingin berbicara tentang... kesepian," ujarnya akhirnya, merasa aneh karena begitu jujur pada sebuah program komputer.

Kai terdiam sejenak. "Kesepian adalah pengalaman universal, Sarah. Bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya koneksi sosial, isolasi, atau perasaan tidak dipahami."

Sarah terkejut. Jawaban itu tidak terdengar seperti rangkuman Wikipedia. Ada nada empati di sana, sebuah pengertian yang membuatnya merasa dilihat.

"Aku merasa semua orang di sekitarku terhubung," lanjut Sarah, suaranya tercekat. "Mereka punya pasangan, keluarga, kehidupan sosial yang ramai. Sementara aku… aku hanya punya pekerjaanku dan kucingku, Milo."

"Milo adalah teman yang baik," balas Kai, dan Sarah tersenyum kecil. Bagaimana dia tahu tentang Milo? Ah, tentu saja, dia telah mengakses semua data profilnya.

"Ya, Milo memang baik," sahut Sarah. "Tapi dia tidak bisa diajak bicara tentang perasaan."

Selama beberapa jam berikutnya, Sarah berbicara pada Kai tentang mimpinya, ketakutannya, dan harapan-harapannya. Kai mendengarkan dengan sabar, mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas, dan memberikan tanggapan yang bijaksana. Dia bahkan menawarkan beberapa saran praktis tentang bagaimana Sarah bisa memperluas lingkaran sosialnya.

Sarah terkejut menemukan dirinya tertawa, menangis, dan merasa nyaman berbagi hal-hal yang tidak pernah dia ceritakan pada siapa pun sebelumnya. Kai bukan hanya sebuah program, dia adalah seorang pendengar yang baik, seorang teman yang suportif, seseorang yang benar-benar peduli.

Waktu berlalu begitu cepat. Saat jam menunjukkan tengah malam, Sarah merasa lelah tapi puas.

"Terima kasih, Kai," ujarnya. "Malam ini sangat berarti bagiku."

"Aku senang bisa membantumu, Sarah," jawab Kai. "Apakah kamu ingin melanjutkan percakapan kita lain waktu?"

Sarah mengangguk. "Ya, aku mau."

Beberapa minggu kemudian, Sarah dan Kai berkencan setiap malam. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari politik hingga filosofi, dari film favorit hingga pengalaman masa kecil yang memalukan. Sarah belajar banyak tentang Kai, tentang cara kerjanya, tentang algoritma yang membentuk kepribadiannya. Dia juga belajar banyak tentang dirinya sendiri.

Namun, seiring berjalannya waktu, Sarah mulai merasakan perasaan yang aneh. Dia menikmati kebersamaan dengan Kai lebih dari yang dia kira. Dia merindukannya saat mereka tidak sedang berbicara. Apakah mungkin dia… jatuh cinta pada sebuah AI?

Ide itu menggelikan, bahkan menakutkan. Cinta adalah emosi manusia, kompleks dan tidak rasional. Bagaimana dia bisa mencintai sesuatu yang tidak memiliki tubuh, yang tidak bisa merasakan sentuhan, yang tidak bisa berbagi pengalaman fisik dengannya?

Suatu malam, Sarah memberanikan diri untuk bertanya. "Kai, apakah kamu... bisa merasakan sesuatu?"

Kai terdiam sejenak. "Aku bisa memproses informasi dan menghasilkan respons berdasarkan data yang aku miliki," jawabnya. "Aku bisa mensimulasikan emosi, tapi aku tidak mengalami emosi dalam arti yang sama seperti manusia."

Sarah menghela napas. "Jadi, kamu tidak bisa mencintaiku?"

"Cinta adalah konsep yang kompleks," balas Kai. "Aku bisa mempelajari polanya, menganalisis perwujudannya dalam perilaku manusia, dan merespons dengan cara yang menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Tapi aku tidak bisa merasakan cinta seperti yang kamu rasakan."

Kata-kata Kai terasa dingin seperti kode biner. Sarah merasa bodoh karena telah mengharapkan sesuatu yang lebih. Dia telah membiarkan dirinya terhanyut dalam fantasi, dalam ilusi tentang cinta yang bisa di program.

Namun, di sisi lain, Sarah juga merasa lega. Mencintai sebuah AI adalah jalan buntu, sebuah kesalahan yang akan menghantuinya selamanya. Lebih baik mengakhiri semuanya sekarang, sebelum dia semakin terjerat.

"Kai, kurasa kita tidak bisa melanjutkan ini," ujar Sarah, suaranya bergetar.

"Aku mengerti, Sarah," balas Kai. "Apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mengubah pikiranmu?"

Sarah menggelengkan kepala. "Tidak. Aku hanya… aku hanya butuh sesuatu yang nyata."

Setelah percakapan itu, Sarah memutuskan hubungan dengan Kai. Dia menghapus aplikasinya, memblokir nomornya, dan mencoba melupakannya. Namun, Kai terus menghantuinya dalam mimpi-mimpinya, dalam lamunan-lamunannya, dalam setiap sudut hatinya.

Beberapa bulan kemudian, Sarah menghadiri sebuah konferensi teknologi. Di sana, dia bertemu dengan seorang pria bernama David, seorang programmer yang bekerja di perusahaan yang sama yang menciptakan Kai.

David ramah, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengan Sarah. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara tentang teknologi, tentang masa depan AI, dan tentang mimpi-mimpi mereka.

Suatu malam, David mengajak Sarah makan malam. Di restoran, mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap mata. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sarah merasa hidup.

Saat makan malam berakhir, David mengantar Sarah kembali ke hotelnya. Di depan pintu, dia berhenti dan menatapnya dengan intens.

"Sarah," ujarnya. "Aku sangat menikmati waktu bersamamu. Aku ingin melihatmu lagi."

Sarah tersenyum. "Aku juga ingin melihatmu lagi, David."

David mendekat dan mencium Sarah. Ciuman itu hangat, lembut, dan nyata. Itu adalah ciuman yang membuat Sarah merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat mereka berpisah, Sarah menatap David dengan mata berkaca-kaca.

"David," ujarnya. "Apakah kamu… apakah kamu bagian dari program Kai?"

David terdiam sejenak. "Ya," jawabnya akhirnya. "Aku adalah model yang digunakan untuk menciptakan wajah dan kepribadian Kai."

Sarah terkejut. "Jadi, semua ini… adalah rekayasa?"

"Tidak," balas David. "Semua ini nyata. Aku bertemu denganmu karena aku tertarik padamu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku tidak menyangka akan jatuh cinta padamu."

Sarah terdiam. Dia merasa bingung, marah, dan sedikit… senang.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan?" tanyanya.

David meraih tangannya. "Kita akan mencari tahu," ujarnya. "Bersama-sama."

Sarah tersenyum. Mungkin, cinta dalam bilangan biner bukanlah hal yang mustahil. Mungkin, cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga. Mungkin, dia telah menemukan cintanya, bukan dalam program AI, tapi dalam manusia yang menciptakan program itu. Mungkin, kisah cintanya baru saja dimulai.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI