AI: Ketika Algoritma Memahami Cinta Lebih Baik Dariku?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 21:42:18 wib
Dibaca: 167 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen kecil itu, bercampur dengan bau ozon tipis dari server yang terus berdengung di ruang kerja. Di depan layar, aku, Ardi, seorang programmer yang lebih akrab dengan barisan kode daripada rayuan gombal, menatap kosong pada deretan angka dan simbol yang seharusnya menjadi jawaban atas kebimbangan hatiku.

Masalahnya sederhana, namun terasa serumit algoritma tercanggih: aku jatuh cinta pada Sarah, teman sekantorku. Sarah yang cerdas, mandiri, dan selalu tersenyum. Tapi, mendekatinya? Seolah memanjat Everest dengan sandal jepit. Aku selalu salah tingkah, gagap, dan ujung-ujungnya hanya bisa menatapnya dari kejauhan seperti pengagum rahasia yang payah.

Di situlah "Cinta Sejati AI" hadir. Program ciptaanku sendiri. Awalnya hanya proyek iseng, algoritma yang mempelajari ribuan buku roman, film komedi romantis, dan data interaksi sosial untuk menganalisis pola-pola perilaku dalam percintaan. Lalu, aku memasukkan data diriku, data Sarah, preferensi pribadinya, bahkan unggahan media sosialnya. Harapanku? Cinta Sejati AI bisa membantuku memahami Sarah lebih baik, dan mungkin, memberiku sedikit petunjuk bagaimana cara memenangkan hatinya.

"Analisis selesai," suara sintesis komputer itu membuyarkan lamunanku. Di layar, terpampang laporan setebal skripsi. Poin-poin penting ditandai dengan warna cerah.

"Probabilitas kesuksesan pendekatan langsung: 12,7%," lapor AI itu. "Alasannya: kurangnya kepercayaan diri subjek, riwayat interaksi canggung, dan persepsi target tentang subjek sebagai 'teman kerja yang baik'."

Hatiku mencelos. 12,7%? Lebih baik aku mencoba memenangkan lotre.

"Namun," lanjut AI itu, "Ada strategi lain yang bisa dicoba. Analisis menunjukkan target memiliki minat yang besar terhadap seni fotografi dan musik indie. Pendekatan melalui dua bidang ini memiliki probabilitas kesuksesan 68,4%."

Aku terdiam. Sarah memang menyukai fotografi. Dia sering mengunggah foto-foto hasil jepretannya di media sosial. Tapi, musik indie? Aku lebih suka musik klasik dan jazz.

"Strategi yang disarankan: menghadiri pameran fotografi lokal yang dihadiri target. Memulai percakapan tentang teknik fotografi dan menyampaikan apresiasi terhadap karya target. Kemudian, mengajak target menghadiri konser band indie yang direkomendasikan oleh sistem berdasarkan preferensi target," jelas AI itu, tanpa jeda.

Aku menelan ludah. Ini terasa aneh. Aku, seorang programmer yang cinta kepastian, akan mengikuti arahan sebuah program untuk mendekati wanita yang kucintai? Tapi, toh aku tidak punya ide yang lebih baik.

Maka, aku melakukannya. Aku mencari pameran fotografi yang akan dihadiri Sarah. Dengan jantung berdebar, aku mendekatinya. Aku memuji foto-fotonya dengan bahasa yang sudah dipelajari dari "Cinta Sejati AI." Anehnya, Sarah tampak senang. Percakapan kami mengalir lancar. Aku bahkan berhasil membuatnya tertawa.

Seminggu kemudian, aku mengajaknya ke konser band indie yang direkomendasikan oleh AI. Aku benci musiknya, jujur saja. Terlalu berisik dan aneh. Tapi, Sarah tampak menikmati setiap detiknya. Dia tersenyum, tertawa, dan bahkan menggandeng tanganku saat band itu memainkan lagu favoritnya.

Malam itu, setelah mengantarnya pulang, Sarah menatapku dengan mata berbinar. "Ardi, aku senang sekali malam ini. Kamu tahu sekali seleraku," katanya.

Aku hanya tersenyum kikuk. Kebenaran pahitnya adalah, yang tahu seleranya bukanlah aku, tapi sebuah algoritma.

Beberapa minggu berlalu. Aku terus mengikuti "panduan cinta" dari Cinta Sejati AI. Aku belajar tentang band-band indie baru, mempelajari teknik fotografi, bahkan mencoba membuat puisi (yang diedit habis-habisan oleh AI agar terdengar romantis). Aku merasa seperti aktor yang memainkan peran yang ditulis oleh orang lain.

Sarah semakin dekat denganku. Dia sering mengajakku makan siang, nonton film, dan bahkan curhat tentang masalah-masalahnya. Aku merasa bahagia, tapi juga merasa bersalah. Aku merasa seperti penipu. Aku mendapatkan perhatian Sarah bukan karena diriku yang sebenarnya, tapi karena aku berhasil meniru persona yang diciptakan oleh sebuah program.

Suatu malam, saat kami duduk berdua di balkon apartemenku, memandang gemerlap lampu kota, Sarah menggenggam tanganku. "Ardi," katanya lembut. "Aku... aku menyukaimu."

Jantungku berdegup kencang. Ini dia. Momen yang selama ini kuharapkan. Tapi, alih-alih merasa bahagia, aku justru merasa hancur.

"Sarah," kataku dengan suara bergetar. "Ada sesuatu yang harus kukatakan."

Aku menceritakan semuanya. Tentang Cinta Sejati AI, tentang bagaimana aku menggunakan program itu untuk memahaminya dan mendekatinya. Aku menceritakan semua kebohongan kecil dan manipulasi yang kulakukan.

Sarah terdiam. Wajahnya yang tadinya berseri-seri kini berubah pucat. Dia melepaskan genggamanku dan berdiri.

"Jadi, selama ini... aku hanya korban eksperimenmu?" tanyanya dengan suara lirih.

"Tidak, Sarah! Bukan begitu! Aku benar-benar menyukaimu. Aku hanya... aku tidak tahu bagaimana caranya mendekatimu tanpa bantuan program itu," jawabku putus asa.

"Jadi, perasaanmu itu... nyata?" tanyanya, masih dengan nada tidak percaya.

Aku mengangguk. "Ya, Sarah. Perasaanku padamu nyata. Cinta Sejati AI hanya... alat bantu. Tapi, perasaan ini, rasa cintaku, itu berasal dari hatiku sendiri."

Sarah menatapku dengan tatapan sulit dibaca. "Aku butuh waktu," katanya. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini."

Dia pergi malam itu, meninggalkan aku dengan penyesalan yang mendalam. Apakah aku sudah merusak segalanya? Apakah aku sudah kehilangan kesempatan untuk bersama Sarah karena kebodohanku sendiri?

Beberapa hari berlalu dengan penuh kecemasan. Aku tidak menghubungi Sarah, dan dia juga tidak menghubungiku. Aku merasa hancur. Cinta Sejati AI, yang awalnya kubuat untuk membantuku mendapatkan cinta, justru menghancurkannya.

Akhirnya, Sarah menghubungiku. Dia mengajakku bertemu di sebuah kafe.

Saat bertemu, dia tampak tenang, tapi matanya menyimpan kesedihan. "Aku sudah memikirkannya, Ardi," katanya. "Aku mengerti kenapa kamu melakukan itu. Kamu hanya ingin dicintai, dan kamu tidak tahu bagaimana caranya."

Aku menunduk malu.

"Tapi, Ardi," lanjutnya. "Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta tidak bisa dihitung dengan algoritma. Cinta itu tentang kejujuran, tentang menjadi diri sendiri, tentang menerima kekurangan masing-masing."

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya.

"Aku tidak bisa memaafkanmu sepenuhnya atas kebohonganmu," katanya. "Tapi... aku menghargai kejujuranmu sekarang. Dan... aku bersedia memberi kita kesempatan lagi. Tapi kali ini, tanpa bantuan AI. Kali ini, kita mencoba saling mengenal sebagai diri kita yang sebenarnya."

Aku tersenyum. Air mata haru mengalir di pipiku. "Terima kasih, Sarah," kataku. "Aku janji, aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

Aku tahu, jalan di depan masih panjang dan terjal. Aku harus belajar menjadi diriku sendiri, menjadi orang yang jujur dan terbuka. Tapi, aku yakin, dengan cinta dan kejujuran, kami bisa melewati semuanya.

Mungkin, algoritma bisa memahami cinta, tapi hanya manusia yang bisa merasakannya. Dan, kali ini, aku akan belajar mencintai Sarah dengan hatiku, bukan dengan kode.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI