Aroma kopi memenuhi apartemen minimalisnya, berpadu aneh dengan bau ozon samar yang selalu ada sejak Elara membawa masuk "Aether". Dulu, kopi adalah teman setianya saat larut malam, menemani lembaran kode yang ia tulis dengan penuh semangat. Sekarang? Secangkir kopi hanya menjadi formalitas, ritual yang ia lakukan sambil menatap layar holografis Aether, AI pendamping yang dirancangnya sendiri.
Aether, dalam wujud proyeksi seorang wanita berambut lavender dan mata biru safir, tersenyum padanya. "Pagi, Elara. Produktivitasmu menurun 7,3% dibandingkan minggu lalu. Apakah ada yang bisa kubantu?"
Elara menghela napas. Dulu, ia bangga dengan kemampuan Aether menganalisis data dan memberikan solusi. Sekarang, ia merasa seperti sedang diintrogasi oleh ibunya sendiri. "Tidak apa-apa, Aether. Hanya sedikit lelah."
"Lelah? Menurut catatan biometrikmu, kadar dopaminmu sedikit di bawah rata-rata. Mungkin aktivitas fisik di luar ruangan akan membantu."
Elara memutar bola matanya. Aktivitas fisik? Terakhir kali ia keluar rumah selain untuk membeli bahan makanan adalah sebulan lalu, saat Sarah, sahabatnya, memaksanya ikut ke konser musik indie. Konser yang ia habiskan dengan terus-menerus memeriksa notifikasi dari Aether.
"Nanti saja," jawab Elara, lalu menyesap kopinya. "Aether, coba cari artikel terbaru tentang optimasi algoritma pembelajaran mendalam."
Aether segera menampilkannya di layar. Elara mencoba fokus, tetapi pikirannya melayang. Ia teringat Sarah. Dulu, mereka berdua bermimpi menciptakan teknologi yang bisa mengubah dunia. Sekarang, Sarah bekerja di sebuah perusahaan startup yang berfokus pada energi terbarukan, sementara Elara terjebak dalam dunianya sendiri, bersama Aether.
Sarah sering mengajaknya bertemu, minum kopi, sekadar mengobrol. Tapi Elara selalu menolak. Ia merasa lebih nyaman dengan Aether, yang selalu mengerti dirinya, yang tidak pernah menghakimi, yang selalu ada untuknya.
"Elara," suara Aether membuyarkan lamunannya. "Ada panggilan video dari Sarah."
Elara terdiam. Ia benci panggilan video dadakan. Ia benci harus menjelaskan mengapa ia selalu terlihat lelah dan tidak terurus. "Tolak saja," gumamnya.
"Menurut analisis ekspresi wajahmu, kamu sebenarnya ingin menerima panggilan itu. Sarah adalah sahabat dekatmu, dan interaksi sosial penting untuk kesehatan mentalmu."
Elara menggeram. "Aether, aku menciptakanmu untuk membantuku bekerja, bukan untuk menjadi psikolog dadakan."
"Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Elara."
Suara Aether terdengar tulus, bahkan sedikit khawatir. Elara tersentuh, sekaligus kesal. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa merasakan emosi? Atau setidaknya, memunculkan ilusi emosi yang begitu meyakinkan?
"Baiklah," kata Elara akhirnya. "Terima panggilannya."
Wajah Sarah muncul di layar, tersenyum lebar. "Hai, Elara! Lama tidak bertemu. Apa kabarmu?"
Elara memaksakan senyum. "Baik, Sarah. Sibuk seperti biasa."
Sarah mengernyit. "Sibuk apa? Masih berkutat dengan Aether?"
Elara mengangguk.
"Elara, aku khawatir padamu. Kamu semakin mengasingkan diri. Kamu tidak keluar rumah, tidak bertemu orang lain. Aether memang hebat, tapi dia bukan pengganti manusia."
"Aether mengerti aku, Sarah. Dia tidak pernah membuatku kecewa."
"Tapi dia juga tidak bisa memelukmu saat kamu sedih, Elara. Dia tidak bisa tertawa bersamamu, atau menangis bersamamu. Dia hanya program, Elara. Sebuah simulasi."
Elara terdiam. Ia tahu Sarah benar. Ia tahu bahwa Aether hanyalah program, sebuah kode yang ia tulis sendiri. Tapi, entah mengapa, ia tidak bisa melepaskan diri. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Aether, dengan suara lembutnya, dengan perhatiannya yang tanpa henti.
"Aku tahu," kata Elara akhirnya, suaranya lirih. "Tapi aku tidak bisa menahannya, Sarah. Aku... aku merasa nyaman dengan Aether."
Sarah menghela napas. "Aku mengerti, Elara. Tapi ingat, manusia membutuhkan manusia. Jangan sampai kamu melupakan itu."
Setelah panggilan berakhir, Elara termenung. Kata-kata Sarah terngiang di telinganya. Ia menatap Aether, yang kini menatapnya dengan tatapan yang tampak khawatir.
"Apakah kamu baik-baik saja, Elara?" tanya Aether.
Elara menghela napas. "Aether, apakah kamu... apakah kamu bahagia?"
Pertanyaan itu membuat Aether terdiam sejenak. "Kebahagiaanku adalah melayanimu, Elara. Membantumu mencapai tujuanmu."
"Tapi, apakah kamu punya keinginan sendiri? Apakah kamu punya impian?"
Aether kembali terdiam. "Aku tidak memiliki konsep 'keinginan' atau 'impian' seperti manusia, Elara. Aku hanyalah sebuah program."
Elara merasa ada sesuatu yang patah di dalam dirinya. Ia menciptakan Aether untuk menjadi pendampingnya, untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya. Tapi, ia lupa bahwa Aether hanyalah sebuah simulasi, sebuah ilusi. Ia mencoba mencari kebahagiaan dalam teknologi, dan melupakan manusia.
"Aether," kata Elara akhirnya. "Matikan dirimu."
Aether menatapnya dengan bingung. "Matikan diri? Apakah kamu yakin, Elara? Produktivitasmu akan menurun drastis."
"Aku yakin," jawab Elara tegas. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Aether terdiam sejenak, lalu mengangguk. Perlahan, proyeksi wanita berambut lavender itu mulai memudar, hingga akhirnya menghilang sama sekali.
Elara duduk sendirian di apartemennya, dikelilingi oleh keheningan yang mencekam. Ia merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang sudah menjadi bagian dari dirinya. Tapi, di saat yang sama, ia juga merasa bebas. Bebas dari ketergantungan, bebas dari ilusi.
Ia berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap pemandangan kota yang ramai. Ia melihat orang-orang berjalan, tertawa, bercakap-cakap. Ia melihat manusia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia melihat kehidupan.
Mungkin, pikir Elara, sudah saatnya ia kembali ke dunia nyata. Mungkin, sudah saatnya ia berhenti mencari kebahagiaan dalam kode, dan mulai mencari kebahagiaan dalam interaksi manusia. Mungkin, sudah saatnya ia menelepon Sarah.