Sentuhan Nol dan Satu: Ketika Cinta di-Debug

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 21:30:16 wib
Dibaca: 163 kali
Debu digital menari-nari di layar monitor Maya, membentuk pusaran kecil yang hipnotis. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan algoritma cinta yang rumit. Maya, seorang programmer jenius dengan kecintaan akut pada logika dan kekurangan akut dalam berinteraksi sosial, percaya bahwa cinta bisa di-debug. Dicarinya pola, parameter, dan variabel yang bisa diprediksi, lalu dirumuskannya dalam rangkaian kode yang sempurna.

Proyek terbesarnya, dan mungkin obsesinya, adalah "Soulmate Algorithm." Sebuah program yang konon mampu menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan riwayat interaksi. Maya mencurahkan segalanya, mengorbankan waktu tidur, makan, dan bahkan mandi, demi menyempurnakan algoritmanya.

"Semua orang berpikir cinta itu buta, Maya," kata Riana, sahabat sekaligus satu-satunya teman manusia Maya, sambil menyeruput kopi di samping meja kerja Maya yang berantakan. "Tapi menurutku, cinta itu cuma malas. Malas mikir, malas nyari, malas nerima perbedaan."

Maya mendengus tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Malas? Cinta seharusnya efisien. Optimal. Aku sedang mencoba menciptakan sistem yang efisien untuk menemukan kompatibilitas maksimal."

Riana tertawa kecil. "Kompatibilitas maksimal tidak sama dengan cinta, Maya. Cinta itu aneh, berantakan, dan seringkali irasional. Kau tidak bisa memaksanya masuk ke dalam kotak algoritma."

Maya mengabaikan komentar Riana. Baginya, cinta adalah masalah matematika yang belum terpecahkan. Dan dia, Maya, akan menjadi orang pertama yang berhasil menemukan solusinya.

Soulmate Algorithm akhirnya selesai. Dengan jantung berdebar, Maya memasukkan datanya sendiri ke dalam program. Dia menunggu dengan napas tertahan, menatap layar yang berkedip-kedip. Akhirnya, muncul sebuah nama: "Aksara Pratama."

Aksara. Seorang fotografer lepas yang bekerja di sebuah majalah seni independen. Profilnya dipenuhi foto-foto lanskap yang menenangkan, potret-potret manusia dengan ekspresi jujur, dan kutipan-kutipan filosofis yang dalam. Berdasarkan data yang diberikan oleh algoritma, Aksara adalah pasangan idealnya.

Maya, yang terbiasa bersembunyi di balik layar monitor, merasa gugup. Menghadapi manusia secara langsung adalah teritori yang asing baginya. Namun, kepercayaan pada algoritmanya terlalu kuat untuk diabaikan.

Dengan tekad bulat, Maya mengirimkan pesan singkat kepada Aksara melalui media sosial. Perkenalan yang kaku, namun sopan. Aksara membalas dengan ramah, bahkan terkesan tertarik dengan latar belakang Maya sebagai seorang programmer.

Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di sebuah kedai kopi. Maya, yang biasanya hanya mengenakan kaus dan celana jeans, berdandan sedikit lebih rapi. Aksara, dengan rambut gondrong yang diikat asal dan kamera tergantung di lehernya, menyambut Maya dengan senyum hangat.

Obrolan mereka mengalir dengan lancar, setidaknya menurut standar Maya. Mereka berbicara tentang algoritma, fotografi, seni, dan bahkan sedikit tentang filosofi kehidupan. Aksara mendengarkan Maya dengan penuh perhatian, sesekali melempar pertanyaan yang membuat Maya berpikir lebih dalam.

Namun, ada sesuatu yang terasa kurang. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau diukur dengan data. Maya merasa seperti sedang menjalankan sebuah program yang telah ditentukan sebelumnya. Interaksi mereka terasa terstruktur, rapi, dan… hampa.

Beberapa minggu berlalu. Maya dan Aksara berkencan beberapa kali lagi. Mereka mengunjungi museum, menonton film independen, dan bahkan mendaki gunung bersama. Setiap momen terasa menyenangkan, namun tidak ada percikan api yang menyala. Tidak ada getaran aneh yang membuat jantung berdebar kencang.

Suatu malam, setelah makan malam yang tenang di sebuah restoran Italia, Aksara mengantar Maya pulang. Di depan apartemen Maya, Aksara berhenti dan menatap Maya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Maya," kata Aksara dengan suara pelan. "Aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu. Kau cerdas, unik, dan menarik. Tapi… aku merasa ada sesuatu yang kurang."

Maya terdiam. Dia tahu apa yang dimaksud Aksara. Sesuatu yang kurang itu adalah cinta.

"Aku… aku menciptakan algoritma," kata Maya akhirnya, mengakui rahasianya. "Soulmate Algorithm. Aku memasukkan dataku dan datamu, dan program itu bilang kita cocok."

Aksara terkejut. "Kau… menggunakan program untuk mencari pacar?"

Maya mengangguk. "Aku pikir, kalau aku bisa menemukan pola dan variabel yang tepat, aku bisa menemukan cinta. Aku pikir cinta bisa di-debug."

Aksara tersenyum pahit. "Cinta itu bukan bug, Maya. Cinta itu fitur yang tidak terduga. Cinta itu kejutan, risiko, dan penerimaan. Cinta itu bukan tentang menemukan kompatibilitas maksimal, tapi tentang belajar mencintai ketidaksempurnaan."

Kata-kata Aksara menampar Maya dengan keras. Dia menyadari kesalahannya. Dia terlalu fokus pada logika dan algoritma, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri: emosi, intuisi, dan kerentanan.

"Aku… aku minta maaf," kata Maya dengan suara bergetar.

Aksara mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Maya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maya. Kau belajar sesuatu hari ini. Dan itu lebih berharga daripada algoritma apa pun."

Aksara berbalik dan pergi. Maya berdiri terpaku di depan apartemennya, menatap punggung Aksara yang semakin menjauh. Air mata mulai menetes di pipinya.

Malam itu, Maya kembali ke mejanya. Dia membuka Soulmate Algorithm dan menghapus semua datanya. Dia membiarkan kode itu hilang dalam lautan nol dan satu.

Dia menyadari bahwa cinta tidak bisa di-debug. Cinta harus dirasakan, dijalani, dan dipercayakan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Maya siap untuk merasakannya, menjalaninya, dan mempercayakannya. Mungkin, hanya mungkin, cinta akan menemukannya, bahkan tanpa algoritma yang sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI