Algoritma Takdir: Cinta Dikodekan, Bahagiakah Hati?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:53:36 wib
Dibaca: 162 kali
Hujan malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di balik jendela apartemen minimalisnya, Anya menyesap teh chamomile yang sudah hampir dingin. Layar laptop di depannya memancarkan cahaya biru pucat ke wajahnya, menampilkan barisan kode yang rumit. Anya adalah seorang data scientist di sebuah perusahaan teknologi terkemuka, dan proyek terbarunya adalah yang paling menantang: mengembangkan algoritma pencarian jodoh berbasis personalitas dan preferensi terdalam.

"Algoritma Takdir," bisiknya, menggelengkan kepala. Ide itu terdengar konyol, tapi CEO perusahaan, seorang visioner eksentrik bernama Pak Bram, sangat yakin akan potensi revolusionernya. Anya sendiri awalnya skeptis, tapi semakin dalam ia menyelami data dan perilaku manusia, semakin ia melihat pola-pola tersembunyi, benang-benang tak kasat mata yang menghubungkan jiwa-jiwa yang berbeda.

Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menyusun kuesioner psikologis yang mendalam, menganalisis jutaan profil pengguna, dan menyempurnakan algoritma hingga akurasinya mencapai tingkat yang mencengangkan. Program itu tidak hanya mencocokkan minat dan hobi, tetapi juga menganalisis pola komunikasi, preferensi seni, bahkan kebiasaan tidur. Tujuannya adalah menciptakan pasangan yang tidak hanya cocok secara logis, tetapi juga secara emosional dan spiritual.

Anya tersenyum pahit. Di balik kesuksesan karirnya, ia merasa kesepian. Ia sibuk mengodekan cinta untuk orang lain, tapi hatinya sendiri masih kosong. Ia pernah mencoba aplikasi kencan online, tapi selalu berakhir dengan kekecewaan. Rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami digital.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. Algoritma Takdir telah selesai berjalan. Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengklik notifikasi itu dan sebuah daftar muncul, menampilkan tiga nama dengan skor kecocokan tertinggi. Anya menarik napas dalam-dalam sebelum mulai membaca.

Nama pertama adalah David, seorang arsitek dengan kecintaan pada seni rupa dan musik klasik. Profilnya cocok dengan Anya dalam hal intelektualitas dan estetika. Nama kedua adalah Rian, seorang fotografer alam yang memiliki jiwa petualang dan kecintaan pada alam bebas. Profilnya cocok dengan Anya dalam hal spiritualitas dan apresiasi terhadap keindahan.

Nama ketiga adalah... namanya sendiri.

Anya tertegun. Ia mengklik profilnya dan melihat bahwa Algoritma Takdir telah mencocokkan dirinya dengan seseorang yang memiliki kepribadian dan preferensi yang identik dengannya. Skor kecocokannya 100%.

Ia tertawa getir. Ironi macam apa ini? Ia menciptakan algoritma untuk menemukan cinta, dan algoritma itu menyarankan dirinya sendiri? Apakah ini berarti ia tidak akan pernah menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya?

Malam semakin larut. Anya terus menatap daftar itu, merasa semakin bingung dan frustrasi. Ia memutuskan untuk menghubungi Pak Bram.

"Pak, saya ingin bicara tentang Algoritma Takdir," kata Anya di telepon.

"Ada apa, Anya? Apa ada masalah?" jawab Pak Bram dengan nada cemas.

"Algoritmanya... Algoritmanya mencocokkan saya dengan diri saya sendiri," jelas Anya.

Terdengar jeda sesaat. Kemudian, Pak Bram tertawa terbahak-bahak. "Anya, Anya. Kau tahu, ini lebih menarik dari yang kubayangkan!"

"Pak, ini bukan lelucon. Ini berarti algoritma ini tidak berfungsi," bantah Anya.

"Tidak, Anya. Justru sebaliknya. Algoritma ini bekerja dengan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa kau memiliki standar yang sangat tinggi dan hanya akan menerima seseorang yang benar-benar sempurna untukmu."

"Tapi, Pak, bagaimana mungkin saya mencintai seseorang yang identik dengan saya?" tanya Anya putus asa.

"Anya, cinta itu rumit. Algoritma hanyalah alat bantu. Ia tidak bisa menentukan takdirmu. Kau yang memegang kendali atas hatimu. Mungkin, algoritma ini ingin memberitahumu bahwa kau sudah memiliki semua yang kau butuhkan di dalam dirimu sendiri. Mungkin, kau hanya perlu belajar mencintai dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kau bisa mencintai orang lain."

Kata-kata Pak Bram membuat Anya terdiam. Ia belum pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. Ia selalu sibuk mencari seseorang yang sempurna, sampai lupa bahwa mungkin, kesempurnaan itu sudah ada di dalam dirinya.

Anya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Ia mematikan laptopnya, menyeduh secangkir teh chamomile yang baru, dan duduk di balkon apartemennya. Ia memandangi gemerlap lampu kota, mencoba untuk meresapi ketenangan malam. Ia mulai memikirkan tentang dirinya sendiri, tentang apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup.

Beberapa hari kemudian, Anya menerima email dari David, arsitek yang ada di daftar Algoritma Takdir. Ia mengajaknya bertemu untuk minum kopi. Awalnya, Anya ragu, tapi ia memutuskan untuk memberikan kesempatan.

Saat bertemu dengan David, Anya terkejut. Ia tidak hanya tampan dan cerdas, tapi juga memiliki selera humor yang sama dengan dirinya. Mereka berbicara tentang seni, musik, dan impian-impian mereka. Anya merasa nyaman dan terhubung dengan David secara alami.

Setelah beberapa kali berkencan, Anya menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada David. Ia memang tidak identik dengannya, tapi ia melengkapi dirinya dengan cara yang tak terduga. David membantunya melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, dan ia mengajarinya untuk lebih mencintai diri sendiri.

Anya menyadari bahwa Algoritma Takdir tidak memberinya jawaban pasti tentang cinta, tapi ia membantunya membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Ia belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kecocokan, tapi juga tentang pertumbuhan, penerimaan, dan keberanian untuk mengambil risiko.

Akhirnya, Anya menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tak terduga, cinta yang tidak dikodekan, tetapi dirasakan dengan sepenuh hati. Ia mengerti bahwa algoritma hanyalah alat, dan takdir sejati terletak pada pilihan yang kita buat sendiri. Bahagiakah hatinya? Ya. Karena ia berani membuka diri, dan membiarkan cinta menemukan jalannya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI