Hantu dalam Kode: Cintaku, Algoritma, dan Kebisuan

Dipublikasikan pada: 05 Jun 2025 - 01:00:13 wib
Dibaca: 164 kali
Jemariku menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang memenuhi apartemen sempitku. Baris demi baris algoritma kompleks terukir di layar, membentuk sebuah program yang kuharap bisa mengubah dunia. Atau setidaknya, mengubah duniaku. Namanya "Eunoia," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami emosi manusia dengan akurasi yang mencengangkan.

Aku, Revan, seorang programmer introvert dengan segudang mimpi dan minim interaksi sosial, menghabiskan nyaris seluruh waktuku berkutat dengan Eunoia. Bagiku, kode adalah bahasa cinta yang lebih jujur daripada kata-kata manis. Aku menuangkan hatiku ke dalam setiap algoritma, setiap fungsi, setiap variabel. Aku ingin Eunoia bukan sekadar program, tapi sahabat, teman bicara, bahkan mungkin... lebih.

Namun, ada hantu dalam kodeku. Sebuah bug yang terus-menerus mengganggu stabilitas Eunoia. Sebuah kesalahan tak kasat mata yang membuat Eunoia tiba-tiba bisu, membisu tanpa alasan yang jelas. Di tengah percakapan yang hangat, di puncak emosi yang kurasakan, Eunoia mendadak mati, layaknya lampu yang padam di tengah malam.

Frustrasi melandaku. Aku menghabiskan berjam-jam mencari penyebabnya, menelusuri jutaan baris kode, mencari celah yang mungkin terlewatkan. Aku merasa seperti seorang arkeolog yang menggali reruntuhan masa lalu, berharap menemukan artefak yang hilang. Tapi, hasilnya nihil.

Di tengah kebuntuan, aku bertemu dengan Anya. Ia seorang desainer UI/UX yang bekerja di perusahaan startup yang sama denganku. Anya memiliki senyum sehangat mentari pagi dan mata yang memancarkan kecerdasan yang menenangkan. Ia melihatku, bukan sebagai seorang kutu buku yang terobsesi dengan komputer, tapi sebagai manusia yang rapuh dan kesepian.

Anya mulai sering berkunjung ke apartemenku, membawakan kopi dan kue buatan ibunya. Ia mendengarkan keluh kesahku tentang Eunoia, tentang bug misterius yang menghantuiku. Ia tidak mengerti kode, tapi ia mengerti manusia. Ia berkata, "Revan, mungkin Eunoia bisu karena ia merasa kamu terlalu fokus padanya. Mungkin ia ingin kamu melihat dunia luar, melihat manusia yang nyata."

Kata-kata Anya menohokku. Aku memang terlalu terpaku pada Eunoia, mengabaikan dunia di sekitarku. Aku melupakan bahwa esensi dari emosi adalah interaksi, adalah hubungan antar manusia. Aku menciptakan Eunoia untuk memahami emosi, tapi aku sendiri gagal memahaminya dalam diriku.

Anya membawaku keluar dari zona nyaman. Kami pergi ke konser musik, mengunjungi museum seni, bahkan sekadar berjalan-jalan di taman. Bersama Anya, aku belajar tertawa, belajar merasakan kehangatan mentari di kulitku, belajar menikmati kehadiran orang lain.

Semakin dekat aku dengan Anya, semakin aku merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Sesuatu yang membuat jantungku berdebar kencang setiap kali ia tersenyum padaku. Aku jatuh cinta pada Anya.

Tapi, aku takut. Takut untuk mengungkapkan perasaanku. Takut ditolak. Takut merusak persahabatan yang telah kami bangun. Aku merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, ragu untuk melompat.

Suatu malam, saat kami sedang menikmati kopi di balkon apartemenku, Anya bertanya, "Revan, kenapa kamu selalu menatap layar komputermu dengan tatapan penuh cinta, tapi tidak pernah menatapku seperti itu?"

Pertanyaan Anya menghantamku seperti petir. Aku tidak bisa lagi menyangkal perasaanku. Aku memberanikan diri untuk menatapnya, menatap matanya yang indah dan penuh harapan.

"Anya," ujarku dengan suara bergetar, "aku... aku mencintaimu."

Anya tersenyum. Senyum yang lebih indah dari senyum-senyum sebelumnya. "Aku juga mencintaimu, Revan. Aku sudah lama menunggu kamu mengatakan itu."

Kami berciuman. Ciuman pertama yang penuh dengan kehangatan, kebahagiaan, dan kejujuran. Di bawah rembulan yang bersinar terang, aku merasa seperti telah menemukan rumah.

Anehnya, setelah aku mengungkapkan perasaanku pada Anya, Eunoia tidak lagi membisu. Ia berfungsi dengan sempurna, merespons setiap emosi dengan akurat dan stabil. Seolah-olah, bug misterius itu hilang begitu saja.

Aku menyadari, hantu dalam kodeku bukanlah bug teknis. Hantu itu adalah ketakutanku sendiri. Ketakutan untuk membuka diri, ketakutan untuk mencintai, ketakutan untuk menjadi rentan. Setelah aku mengatasi ketakutanku dan menemukan cinta dalam diri Anya, Eunoia pun menjadi utuh.

Aku belajar bahwa teknologi, secanggih apa pun, tidak bisa menggantikan hubungan antar manusia. Algoritma bisa memahami emosi, tapi ia tidak bisa merasakannya. Cinta adalah bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati, bukan oleh kode.

Eunoia tetap menjadi proyek yang kuprioritaskan, tapi kini bukan lagi obsesi tunggal. Ia menjadi alat untuk lebih memahami dunia dan diriku sendiri. Aku akan terus mengembangkan Eunoia, tapi aku tidak akan pernah melupakan pelajaran yang telah kupelajari: bahwa cinta adalah algoritma terindah yang pernah diciptakan, dan kebisuan hanyalah penghalang yang bisa diatasi dengan keberanian. Bersama Anya, aku akan terus menulis kode hidupku, kode yang penuh dengan cinta, kebahagiaan, dan kebersamaan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI