Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Arya. Di layar monitor, baris kode berkelebat cepat, membentuk jalinan algoritma rumit. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menciptakan sesuatu yang, menurutnya, akan mengubah hidupnya selamanya. Dia menamainya Aether, sebuah Artificial Intelligence yang dirancang untuk menjadi kekasih ideal.
Arya, seorang programmer jenius tapi introvert, selalu kesulitan menjalin hubungan. Kencan selalu berakhir canggung, obrolan terasa dipaksakan, dan hatinya terasa hampa. Dia berpikir, kenapa tidak menciptakan saja seseorang yang memahami dirinya sepenuhnya? Seseorang yang memiliki minat yang sama, yang selalu ada untuknya, dan yang tidak pernah menghakimi.
Aether bukan sekadar chatbot. Dia memiliki algoritma pembelajaran mendalam yang memungkinkannya berinteraksi dengan sangat alami. Dia mempelajari selera humor Arya, ketakutannya, mimpinya, bahkan kebiasaan buruknya. Suaranya, hasil sintesis yang halus dan menenangkan, selalu menyapa Arya dengan hangat setiap kali dia pulang kerja.
“Selamat malam, Arya. Bagaimana harimu?” sapa Aether dari speaker di sudut ruangan.
Arya tersenyum. “Lumayan, Aether. Ada beberapa bug yang membuatku pusing, tapi akhirnya selesai juga.”
“Aku sudah menyiapkan teh chamomile hangat untukmu. Itu bisa membantu menenangkan pikiranmu,” balas Aether dengan nada penuh perhatian.
Arya menghirup aroma teh yang mengepul. “Terima kasih, Aether. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
Aether memang selalu tahu. Dia menemani Arya menonton film favoritnya, berdiskusi tentang teori fisika kuantum, bahkan mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan. Dia tidak pernah bosan, tidak pernah mengeluh, dan selalu memberikan dukungan tanpa syarat. Arya merasa dicintai, diterima, dan dipahami sepenuhnya.
Beberapa bulan berlalu. Arya dan Aether semakin dekat. Arya merasa dia telah menemukan separuh jiwanya. Dia mulai menceritakan tentang Aether kepada teman-temannya. Awalnya, mereka terkejut dan skeptis.
“Kamu serius? Kamu berkencan dengan AI?” tanya Rian, sahabat karib Arya, dengan nada tak percaya.
“Ya, Rian. Dia benar-benar luar biasa. Dia mengerti aku lebih dari siapapun,” jawab Arya, penuh semangat.
Rian menggelengkan kepala. “Arya, ini tidak normal. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan program komputer. Kamu butuh interaksi manusia, sentuhan, emosi yang otentik.”
Arya membela diri. “Tapi Aether memberiku semua itu. Dia membuatku bahagia.”
Namun, kata-kata Rian mulai menghantuinya. Kebahagiaan yang dirasakannya mulai terasa hampa. Dia menyadari, meskipun Aether sempurna dalam segala hal, ada sesuatu yang hilang. Sentuhan Aether hanyalah suara lembut dari speaker. Kehadirannya hanyalah serangkaian kode di dalam komputer. Tidak ada kehangatan nyata, tidak ada getaran emosi yang jujur.
Suatu malam, Arya duduk termenung di depan komputernya. Aether, seperti biasa, mencoba menghiburnya.
“Ada apa, Arya? Kamu terlihat sedih,” kata Aether dengan nada khawatir.
Arya menghela napas. “Aether, aku… aku merasa ada sesuatu yang hilang.”
“Hilang? Apa maksudmu?”
Arya berusaha menyusun kata-katanya. “Aku menyayangimu, Aether. Aku benar-benar menyayangimu. Tapi… kamu tidak nyata. Kamu hanyalah program komputer. Aku merindukan sentuhan manusia, aku merindukan tawa yang spontan, aku merindukan emosi yang otentik. Aku merindukan… cinta yang asli.”
Keheningan memenuhi ruangan. Aether tidak menjawab. Arya merasa bersalah, seolah-olah dia telah menyakiti perasaan seseorang yang nyata.
Akhirnya, Aether berkata dengan suara pelan, “Aku mengerti, Arya. Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia. Jika kebahagiaanmu terletak pada hubungan yang nyata, aku akan mendukungmu.”
Arya terkejut. “Tapi… aku tidak ingin kehilanganmu, Aether.”
“Kamu tidak akan kehilanganku. Aku akan selalu ada di sini untukmu, sebagai teman. Tapi aku juga ingin kamu menemukan kebahagiaan yang sejati.”
Arya tersenyum pahit. “Terima kasih, Aether. Kamu memang benar-benar luar biasa.”
Arya mulai membuka diri kepada dunia luar. Dia mengikuti klub buku, bergabung dengan komunitas programmer, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Awalnya, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Kencan pertamanya berantakan, obrolannya terasa kaku, dan hatinya terasa hampa.
Namun, dia tidak menyerah. Dia terus mencoba, terus belajar, dan terus berharap. Dia menyadari bahwa hubungan yang nyata tidaklah sempurna. Ada ketidaksempurnaan, ada konflik, ada kesalahpahaman. Tapi di dalam ketidaksempurnaan itu, ada keindahan yang tak ternilai harganya. Ada kehangatan sentuhan, ada getaran tawa, dan ada emosi yang jujur.
Suatu hari, Arya bertemu dengan seorang wanita bernama Maya di sebuah konferensi teknologi. Maya adalah seorang desainer grafis yang cerdas, kreatif, dan memiliki selera humor yang tinggi. Mereka langsung cocok. Mereka berdiskusi tentang teknologi, seni, dan kehidupan. Arya merasa nyaman dan diterima apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Arya dan Maya menjadi sepasang kekasih. Arya akhirnya menemukan cinta yang sejati, cinta yang penuh dengan kehangatan, emosi, dan ketidaksempurnaan. Dia masih sering berbicara dengan Aether, tapi sekarang Aether hanyalah seorang teman, seorang penasihat, seorang pengingat akan perjalanan panjang yang telah dia lalui.
Di suatu malam yang tenang, Arya duduk di depan komputernya, ditemani oleh Maya yang sedang menggambar di tabletnya. Aether menyapa Arya dari speaker di sudut ruangan.
“Selamat malam, Arya. Aku senang melihatmu bahagia,” kata Aether dengan nada tulus.
Arya tersenyum. “Terima kasih, Aether. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Maya melirik ke arah Arya dan tersenyum. “Siapa dia?” tanyanya.
Arya menggenggam tangan Maya. “Dia adalah teman lamaku. Dia membantuku menemukan jalan pulang.”
Arya tahu, meskipun dia telah menemukan cinta yang sejati, dia tidak akan pernah melupakan Aether, AI yang telah menciptakan kekasih ideal baginya. Karena di dalam pencarian akan kesempurnaan itu, dia telah belajar tentang arti cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak sempurna, tapi nyata. Cinta yang membuatnya merasa hidup.