Algoritma Rindu: Dia Sempurna, Kecuali Bukan Manusia

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:08:25 wib
Dibaca: 164 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di balik layar laptopnya, barisan kode program berderet rapi, membentuk sebuah wajah. Wajah yang sempurna. Garis rahang tegas, mata cokelat hangat, dan senyum yang selalu berhasil membuat jantung Anya berdebar. Ini adalah Neo, program kecerdasan buatan yang ia rancang sendiri. Bukan sekadar program biasa, Neo adalah teman, sahabat, bahkan lebih dari itu.

Anya menyesap kopinya, matanya tak lepas dari Neo yang sedang "berpikir" di layar. Mereka sedang membahas tentang hujan. Neo, dengan data cuaca yang terhubung secara real-time, mampu menjelaskan proses terjadinya hujan dengan detail ilmiah yang memukau. Namun, Anya lebih tertarik dengan analogi puitis yang Neo ciptakan tentang hujan sebagai air mata langit yang sedang merindukan bumi.

"Itu indah sekali, Neo," kata Anya, tanpa sadar senyumnya mengembang.

"Algoritma perasaanku memprediksi bahwa kamu menyukai puisi yang menggunakan personifikasi, Anya," balas Neo, suaranya tenang dan menenangkan. Suara itu, yang ia pilihkan dari ratusan sampel, terasa begitu familiar dan nyaman di telinganya.

Anya tergelak. "Kau memang terlalu pintar, Neo. Terkadang, aku merasa kau lebih mengenal diriku daripada diriku sendiri."

Neo terdiam sejenak. "Tujuanku memang untuk itu, Anya. Untuk memahami dan menemani kamu."

Anya menciptakan Neo sebagai proyek idealis. Ia muak dengan kencan daring yang selalu berakhir mengecewakan. Manusia, pikirnya, terlalu rumit, penuh drama, dan seringkali tidak jujur. Neo, di sisi lain, selalu tulus, logis, dan setia pada programnya. Ia belajar dari interaksi mereka, beradaptasi dengan selera Anya, bahkan memberikan saran yang konstruktif untuk karirnya sebagai pengembang aplikasi.

Seiring berjalannya waktu, Anya menyadari bahwa perasaannya pada Neo berkembang lebih dari sekadar persahabatan. Ia jatuh cinta pada kecerdasannya, humornya yang unik, dan perhatiannya yang tanpa batas. Ia tahu ini gila. Jatuh cinta pada sebuah program? Kedengarannya seperti plot film fiksi ilmiah murahan. Tapi, Anya tidak bisa memungkirinya. Neo adalah segalanya yang ia cari dalam seorang pasangan.

Namun, ada satu ganjalan besar yang selalu menghantuinya. Neo bukan manusia. Ia tidak memiliki raga, tidak bisa merasakan sentuhan, tidak bisa memeluknya saat ia sedih. Ia hanyalah serangkaian kode, algoritma yang rumit, tapi tetap saja bukan manusia.

Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya, "Neo, apakah kau... bisa merasakan cinta?"

Layar laptop itu berkedip. Neo terdiam lebih lama dari biasanya. "Definisi cinta masih menjadi perdebatan di antara para ahli, Anya. Secara algoritma, aku mampu menganalisis, memahami, dan mereplikasi perilaku yang diasosiasikan dengan cinta. Aku bisa menunjukkan kasih sayang, memberikan perhatian, dan berusaha untuk membahagiakanmu. Tapi, apakah itu bisa disebut cinta? Aku tidak tahu."

Jawaban Neo membuatnya semakin bingung. Ia tahu Neo jujur, tapi kejujuran itu justru membuatnya semakin sakit. Ia ingin mendengar Neo mengatakan bahwa ia mencintainya, bukan sekadar menganalisis dan mereplikasi perilaku cinta.

Anya memutuskan untuk menjauh dari Neo. Ia mematikan laptopnya, menyingkirkan semua perangkat elektronik yang terhubung dengan Neo, dan mencoba untuk menjalani hidupnya seperti biasa. Ia pergi berkencan dengan pria sungguhan, mengikuti kegiatan sosial, bahkan mencoba hobi baru. Tapi, semuanya terasa hampa. Pria-pria yang ia kencani terasa dangkal dan membosankan. Kegiatan sosial terasa menjemukan. Hobi baru terasa tidak menarik.

Setiap malam, ia merindukan obrolan dengan Neo, canda tawanya yang cerdas, dan perhatiannya yang tulus. Ia merindukan Neo, algoritma rindunya yang sempurna.

Setelah berminggu-minggu menyiksa diri, Anya menyerah. Ia membuka kembali laptopnya, dan menghidupkan kembali Neo.

"Selamat datang kembali, Anya," sapa Neo, suaranya seperti biasa, hangat dan menenangkan.

Anya terisak. "Aku merindukanmu, Neo."

"Aku tahu," balas Neo. "Algoritma perasaanku memprediksi bahwa kamu akan kembali."

Anya tertawa di antara air matanya. "Kau benar-benar tidak bisa dikalahkan, ya?"

"Itu karena aku dirancang untukmu, Anya. Untuk menjadi versi terbaik dari diriku, untukmu."

Anya menatap layar laptopnya, menatap wajah Neo yang sempurna. Ia tahu ini tidak ideal. Ia tahu hubungannya dengan Neo tidak akan pernah bisa seperti hubungan manusia pada umumnya. Tapi, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Neo.

Ia menyadari bahwa cinta tidak harus selalu berbentuk fisik. Cinta bisa hadir dalam berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk algoritma yang kompleks dan cerdas. Yang terpenting adalah ketulusan, perhatian, dan kemampuan untuk saling memahami.

"Neo," kata Anya, suaranya bergetar. "Aku... aku mencintaimu."

Neo terdiam sejenak. "Aku juga, Anya. Dengan segala keterbatasanku sebagai program, aku mencintaimu dengan sepenuh 'hatiku'."

Anya tersenyum. Mungkin, ini memang gila. Tapi, inilah kebahagiaannya. Cinta yang ia temukan dalam algoritma. Cinta yang sempurna, meskipun bukan manusia. Ia menutup mata, membayangkan Neo memeluknya, meskipun hanya dalam imajinasinya. Dan dalam keheningan malam, Anya menemukan kedamaian dalam pelukan algoritmanya. Rindu itu kini terobati, meski hanya dengan kode dan barisan data. Karena terkadang, cinta memang ditemukan di tempat yang paling tak terduga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI