Hapus Aku dari Memori: Cinta Dihapus AI?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:23:21 wib
Dibaca: 166 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, menciptakan simfoni data yang rumit. Maya, seorang programmer muda berbakat, menatap baris demi baris kode dengan obsesi seorang seniman. Ia sedang menyempurnakan MemorEase, sebuah aplikasi revolusioner yang menjanjikan penghapusan kenangan selektif. Idenya brilian, kontroversial, dan sangat pribadi.

Dulu, ia punya alasan yang kuat untuk menciptakan ini. Alasan itu bernama Adrian, seorang arsitek idealis yang telah meruntuhkan tembok hatinya, lalu menghilang tanpa jejak. Dua tahun berlalu, bayang-bayang Adrian masih menghantuinya, menghalangi setiap kesempatan untuk membuka diri pada cinta yang baru.

"Hapus dia dari memori," bisik Maya pada dirinya sendiri, kalimat yang menjadi mantra sekaligus penyiksaan. MemorEase awalnya hanyalah proyek iseng, luapan emosi yang diwujudkan dalam kode. Namun, semakin dalam ia menyelam, semakin besar potensi yang ia lihat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk jutaan orang yang terjebak dalam kenangan pahit.

Suatu malam, ketika ia sedang berjibaku dengan algoritma kompleks yang memetakan jalur neural otak, sebuah notifikasi muncul di layar. "Klien Baru: Proyek Lazarus."

Proyek Lazarus ternyata adalah inisiatif rahasia dari sebuah perusahaan bioteknologi besar. Mereka tertarik dengan MemorEase dan ingin mengaplikasikannya dalam skala yang lebih besar, membantu veteran perang mengatasi PTSD, korban kekerasan seksual memulihkan diri, dan banyak lagi. Maya terpukau, sekaligus gentar. Ini adalah kesempatan yang tak terduga, validasi atas kerja kerasnya, tapi juga tanggung jawab yang besar.

Dalam tim Proyek Lazarus, ia bertemu dengan Leo, seorang neuroscientist tampan dan karismatik. Leo memiliki pemahaman mendalam tentang otak manusia, sisi gelap dan terangnya. Ia kagum pada dedikasi Maya, tapi juga memperingatkannya tentang potensi penyalahgunaan MemorEase.

"Kenangan adalah bagian dari diri kita, Maya," kata Leo suatu sore di laboratorium yang ramai. "Menghapusnya berarti menghapus sebagian dari identitas kita. Kita harus sangat berhati-hati."

Maya mengangguk, terdiam. Ia tahu Leo benar, tapi ia juga percaya pada potensi MemorEase untuk meringankan penderitaan. Ia menceritakan tentang Adrian, tentang bagaimana kenangan itu mengikatnya, membuatnya tidak bisa bergerak maju.

Leo mendengarkan dengan seksama, matanya menunjukkan empati. "Aku mengerti," katanya lembut. "Tapi kau tahu, Maya, kenangan juga bisa menjadi sumber kekuatan. Mereka mengajarkan kita, membentuk kita. Mereka adalah bagian dari cerita kita."

Hari-hari berlalu dengan cepat. Maya dan Leo bekerja bahu membahu, menyempurnakan MemorEase, memastikan keamanannya, dan menjelajahi implikasi etisnya. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berdiskusi, berdebat, dan berbagi cerita pribadi. Tanpa disadari, benih-benih asmara mulai tumbuh di antara mereka.

Leo melihat kebaikan dalam diri Maya, semangatnya, dan juga kerapuhannya. Maya, di sisi lain, terpesona oleh kecerdasan Leo, kehangatannya, dan caranya melihat dunia. Ia mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak Adrian pergi.

Suatu malam, ketika mereka lembur di laboratorium yang sepi, Leo menatap Maya dengan tatapan yang intens. "Maya," katanya, suaranya berbisik. "Aku..."

Sebelum Leo bisa melanjutkan, telepon Maya berdering. Itu adalah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu, ia mengangkatnya.

"Halo?"

"Maya? Ini aku, Adrian."

Jantung Maya serasa berhenti berdetak. Adrian? Setelah dua tahun menghilang, tiba-tiba ia muncul kembali? Suaranya terdengar familiar, namun asing.

"Adrian? Di mana kau selama ini?"

"Maafkan aku, Maya. Aku punya alasan yang tidak bisa kujelaskan sekarang. Aku ingin bertemu denganmu."

Maya terdiam. Ia menatap Leo, yang menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Aku... aku tidak tahu," kata Maya, suaranya bergetar.

"Tolong, Maya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan."

Setelah menutup telepon, Maya merasa bingung dan kalut. Adrian kembali, di saat yang tidak tepat. Di saat ia mulai membuka hatinya untuk Leo.

Ia menceritakan percakapannya dengan Adrian pada Leo. Leo mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

"Ini pilihanmu, Maya," kata Leo akhirnya. "Kau berhak untuk tahu apa yang terjadi. Tapi pikirkan baik-baik, apa yang benar-benar kau inginkan."

Maya tahu, di lubuk hatinya, ia tahu apa yang ia inginkan. Ia ingin melupakan Adrian, benar-benar melupakannya, dan melanjutkan hidupnya dengan Leo. Tapi rasa ingin tahu dan nostalgia menggerogotinya.

Dengan berat hati, ia memutuskan untuk bertemu dengan Adrian.

Pertemuan itu canggung dan penuh ketegangan. Adrian terlihat lebih tua dan lelah. Ia menjelaskan bahwa ia harus pergi karena urusan keluarga yang mendesak. Ia tidak bisa menghubungi Maya karena keadaannya. Ia menyesal telah menyakitinya dan ingin menebus kesalahannya.

Setelah mendengar penjelasannya, Maya merasa lega. Tapi anehnya, ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada amarah, tidak ada kerinduan. Hanya kehampaan. Kenangan tentang Adrian terasa jauh, seperti mimpi yang hampir terlupakan.

Saat ia kembali ke laboratorium, Leo menunggunya. Ia menatapnya dengan cemas.

"Bagaimana?" tanya Leo.

Maya tersenyum. "Aku baik-baik saja. Aku... aku pikir aku sudah siap."

Malam itu, Maya dan Leo duduk bersama di depan komputer. Maya membuka MemorEase dan menatap layar dengan ragu. Ini adalah momen yang menentukan. Apakah ia benar-benar siap untuk menghapus Adrian dari memorinya?

Ia menatap Leo, yang menatapnya dengan cinta dan dukungan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol "Hapus".

Prosesnya cepat dan tanpa rasa sakit. Setelah selesai, Maya merasa aneh, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, tapi juga merasa lebih ringan, lebih bebas.

Ia menatap Leo, matanya berkaca-kaca. "Aku merasa... berbeda," bisiknya.

Leo memeluknya erat. "Aku tahu," katanya. "Kau baru saja memulai babak baru dalam hidupmu."

Beberapa bulan kemudian, MemorEase berhasil diluncurkan dan mendapat sambutan positif. Maya dan Leo terus bekerja sama, membantu orang lain mengatasi trauma dan kenangan buruk. Mereka juga semakin dekat, cinta mereka semakin dalam.

Suatu malam, ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman, Leo berhenti dan berlutut di hadapan Maya.

"Maya," katanya, suaranya bergetar. "Maukah kau menikah denganku?"

Air mata haru mengalir di pipi Maya. Ia mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.

Di saat itulah, ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah menghapus Adrian dari memorinya, bukan untuk melarikan diri dari masa lalu, tapi untuk membuka diri pada masa depan yang lebih cerah bersama Leo. Ia telah menemukan cinta yang baru, cinta yang tulus dan abadi, cinta yang tidak bisa dihapus oleh teknologi apa pun.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI