Deburan ombak digital memecah keheningan di telingaku. Aku benci suara notifikasi itu, terutama saat aku sedang berusaha fokus menatap matahari terbenam sintetis di balkon apartemenku. Matahari yang diprogram untuk sempurna, tanpa awan yang mengganggu, tanpa polusi yang menghalangi sinarnya. Begitulah dunia kami saat ini: disempurnakan oleh AI.
Notifikasi itu berasal dari aplikasi "Filter Kebahagiaan AI", sebuah program yang dirancang untuk mendeteksi dan meminimalkan stres, kecemasan, dan emosi negatif lainnya. Semacam peredam suasana hati digital. Aku awalnya skeptis, tentu saja. Siapa yang mau kebahagiaannya diatur oleh algoritma? Tapi setelah ibuku meninggal dan depresi melumpuhkanku selama berbulan-bulan, aku menyerah. Aku mengunduh aplikasi itu sebagai upaya terakhir.
Aplikasi itu bekerja dengan menganalisis ekspresi wajah, nada suara, dan bahkan pola pengetikan. Berdasarkan data tersebut, ia menyarankan aktivitas, musik, atau bahkan interaksi sosial yang diprediksi dapat meningkatkan suasana hatiku. Awalnya, itu terasa aneh. Terlalu diatur, terlalu sintetik. Tapi perlahan, aku mulai terbiasa. Bahkan, aku mulai bergantung padanya.
Dulu, aku adalah seorang penulis lepas yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Sekarang, dengan bantuan Filter Kebahagiaan AI, aku bisa menulis dengan lebih fokus dan produktif. Aku jarang mengalami writer's block, karena aplikasi itu akan mendeteksi tanda-tanda frustrasi dan menyarankan rehat sejenak, musik klasik, atau bahkan sekadar melihat gambar anak kucing lucu.
Bahkan urusan percintaanku pun diatur oleh AI. Dulu, aku sering gagal dalam kencan. Aku terlalu gugup, terlalu canggung. Sekarang, Filter Kebahagiaan AI menganalisis profil calon pasangan potensial, mengidentifikasi minat yang sama, dan bahkan menyusun pesan teks yang optimal untuk menarik perhatian mereka.
Dan begitulah aku bertemu dengan Elara.
Elara adalah seorang desainer grafis yang bekerja di perusahaan teknologi yang sama denganku. Kami berdua sama-sama menggunakan Filter Kebahagiaan AI, dan aplikasi itu memprediksi bahwa kami memiliki kompatibilitas yang sangat tinggi. Kencan pertama kami terasa seperti mimpi. Kami tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Semua berkat algoritma.
Hubungan kami berkembang dengan lancar. Kami menghabiskan waktu bersama, menonton film, memasak makan malam, dan berbagi impian. Setiap langkah yang kami ambil dipandu oleh Filter Kebahagiaan AI. Aplikasi itu menyarankan tempat-tempat romantis untuk berkencan, hadiah yang bermakna untuk diberikan, dan bahkan topik pembicaraan yang optimal untuk menghindari konflik.
Awalnya, aku merasa bersyukur. Aku akhirnya menemukan kebahagiaan dan cinta, sesuatu yang aku pikir tidak akan pernah aku alami. Tapi seiring berjalannya waktu, keraguan mulai muncul di benakku. Apakah kebahagiaan ini nyata? Apakah cinta ini tulus? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma?
Suatu malam, saat aku dan Elara sedang makan malam di restoran virtual yang direkomendasikan oleh Filter Kebahagiaan AI, aku memutuskan untuk mengujinya.
"Elara," kataku, mencoba terdengar santai. "Bagaimana kalau kita menonaktifkan Filter Kebahagiaan AI kita untuk satu hari saja?"
Elara menatapku dengan bingung. "Kenapa? Apa ada masalah?"
"Tidak ada masalah. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjalani hidup tanpa bantuan aplikasi itu. Aku ingin tahu apakah kita benar-benar saling mencintai, atau hanya mencintai versi ideal yang diciptakan oleh algoritma."
Elara terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku tidak tahu, Alex. Aku takut. Aku takut kalau tanpa aplikasi itu, kita akan bertengkar, merasa tidak bahagia, dan akhirnya berpisah."
"Itulah intinya," kataku. "Jika kita benar-benar saling mencintai, kita akan bisa mengatasi semua itu. Kita akan bisa menemukan kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan buatan."
Setelah berdebat panjang, Elara akhirnya setuju. Kami menonaktifkan Filter Kebahagiaan AI kami pada tengah malam.
Keesokan harinya, dunia terasa berbeda. Warna-warna terasa lebih suram, suara-suara terasa lebih bising, dan emosi-emosi terasa lebih intens. Aku merasa cemas, gugup, dan tidak yakin bagaimana harus bersikap.
Elara juga terlihat tidak nyaman. Dia lebih pendiam dari biasanya, dan beberapa kali aku melihatnya mengernyitkan dahi.
Kami mencoba melakukan aktivitas yang biasanya kami nikmati bersama, seperti menonton film atau berjalan-jalan di taman. Tapi semuanya terasa hambar, tidak menyenangkan. Kami terus-menerus berdebat tentang hal-hal kecil, dan suasana di antara kami terasa tegang.
Malam harinya, kami duduk di sofa, saling menjauhi. Tidak ada yang berbicara. Aku bisa merasakan air mata menggenang di mataku.
"Mungkin kau benar," kata Elara akhirnya, suaranya bergetar. "Mungkin kita tidak cocok satu sama lain. Mungkin kita hanya saling mencintai karena aplikasi itu."
Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Aku menangis tersedu-sedu. Aku merasa seperti kehilangan segalanya.
"Aku mencintaimu, Elara," kataku, di antara isak tangis. "Aku benar-benar mencintaimu. Tapi aku tidak tahu apakah cinta ini nyata."
Elara mendekatiku dan memelukku erat. "Aku juga mencintaimu, Alex," katanya. "Dan aku tidak peduli apakah cinta ini nyata atau tidak. Yang penting adalah kita bersama."
Kami berpelukan lama, saling menenangkan. Saat itu, aku menyadari sesuatu. Bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma, tapi dalam koneksi manusia yang tulus. Bahwa cinta sejati tidak sempurna, tapi penuh dengan suka dan duka, tawa dan air mata.
Kami memutuskan untuk mengaktifkan kembali Filter Kebahagiaan AI kami. Tapi kali ini, kami tidak menggunakannya sebagai pengganti emosi kami, tapi sebagai alat untuk membantu kami memahami diri sendiri dan satu sama lain. Kami belajar untuk menghargai kebahagiaan yang kami miliki, dan untuk mengatasi tantangan yang datang kepada kami.
Dunia mungkin lebih cerah bersamanya, tetapi dunia yang benar-benar bermakna adalah dunia yang kami ciptakan bersama, dengan segala ketidaksempurnaan dan keindahannya. Kami memilih untuk melihat dunia itu, dunia yang lebih jujur, dunia yang lebih nyata.