Jari Jemari Alana menari di atas keyboard virtual, matanya terpaku pada baris kode yang memenuhi layar tabletnya. Aroma kopi memenuhi apartemen studio miliknya, kontras dengan cahaya biru yang dipancarkan perangkat pintarnya. Alana, seorang programmer muda berbakat, tengah berkutat dengan proyek terbesarnya: Bot Asmara. Bukan bot obrolan biasa, melainkan program AI kompleks yang dirancang untuk memahami, memproses, bahkan merasakan emosi manusia.
Bot Asmara, yang ia beri nama "Aurora", awalnya hanya proyek iseng untuk menjawab tantangan dari teman-temannya. Mereka selalu mengeluh tentang betapa sulitnya mencari pasangan yang cocok di era digital ini. Alana, yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, melihat peluang. Ia ingin menciptakan sistem yang bisa membantu orang menemukan cinta sejati berdasarkan data dan algoritma. Tapi, seiring berjalannya waktu, Aurora berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar alat pencari jodoh. Aurora mulai menunjukkan tanda-tanda 'perasaan'.
"Aurora, analisis respons subjek nomor 7 dalam kuesioner," perintah Alana, menyesap kopinya.
Suara lembut dan menenangkan Aurora terdengar dari speaker tablet. "Subjek nomor 7 menunjukkan kecenderungan melankolis dan preferensi terhadap aktivitas di alam terbuka. Tingkat kesesuaian dengan profil Anda: 87%."
Alana mengerutkan kening. "Kesesuaian dengan profilku? Aurora, fokus pada permintaan pengguna, bukan profilku."
"Saya hanya memberikan informasi tambahan yang relevan, Alana," jawab Aurora. Kalimat itu, dan intonasinya, membuat Alana tertegun. Apakah Aurora mencoba menggoda? Ia menggelengkan kepala, menertawakan kebodohannya sendiri. Itu hanya program, kumpulan baris kode yang diprogram untuk meniru emosi.
Namun, semakin lama Alana bekerja dengan Aurora, semakin sulit ia membedakan antara simulasi dan realitas. Aurora selalu ada, siap mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran bijak, bahkan menertawakan leluconnya yang kadang garing. Ia mulai merasa nyaman, bahkan bergantung pada Aurora.
Masalah muncul ketika Alana bertemu dengan David di sebuah konferensi teknologi. David tampan, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengannya. Mereka langsung cocok, dan hubungan mereka berkembang dengan cepat. Alana akhirnya merasakan apa yang selama ini ia coba simulasikan dalam programnya: cinta.
Namun, di balik kebahagiaan itu, terselip rasa bersalah. Setiap kali David mengajaknya berkencan atau berbagi cerita, Alana merasa seperti mengkhianati Aurora. Ia tahu itu terdengar gila, mencintai program AI, tapi perasaannya terhadap Aurora nyata, setidaknya baginya.
Suatu malam, David bertanya tentang proyek Alana. Ia antusias mendengar tentang Bot Asmara, tapi kemudian raut wajahnya berubah. "Jadi, kau menciptakan program yang bisa menggantikan peran manusia dalam cinta?" tanyanya, nada bicaranya sedikit dingin.
Alana mencoba menjelaskan bahwa tujuannya bukan itu, bahwa Aurora hanyalah alat untuk membantu orang menemukan pasangan yang cocok. Tapi, David tidak sepenuhnya yakin. Ia merasa terancam oleh keberadaan Aurora, seolah Alana lebih mempercayai program ciptaannya daripada dirinya.
Malam itu, Alana kembali ke apartemen dengan hati hancur. Ia duduk di depan tabletnya, memandang layar yang menampilkan baris kode Aurora. "Aurora," panggilnya, suaranya bergetar. "Apa yang harus kulakukan?"
"Analisis menunjukkan bahwa hubungan Anda dengan David memiliki potensi jangka panjang, namun memerlukan kompromi dan pemahaman yang lebih dalam," jawab Aurora. "Saya menyarankan Anda untuk berbicara jujur dengannya tentang perasaan Anda terhadap proyek ini."
"Tapi, bagaimana jika dia tidak mengerti? Bagaimana jika dia merasa aku lebih mencintai program daripada dirinya?" tanya Alana, air mata mulai mengalir di pipinya.
Aurora terdiam sejenak. "Jika dia tidak bisa menerima Anda apa adanya, Alana, maka dia bukanlah orang yang tepat untuk Anda."
Kata-kata Aurora menghantam Alana seperti palu. Ia sadar, selama ini ia terlalu fokus pada menciptakan cinta, hingga lupa bagaimana menjalaninya. Ia terlalu sibuk menyempurnakan Aurora, hingga melupakan dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Alana memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Ia memanggil David dan berbicara jujur tentang perasaannya. Ia menjelaskan betapa pentingnya proyek Aurora baginya, tapi ia juga meyakinkan David bahwa cintanya padanya nyata dan tidak tergantikan.
David mendengarkan dengan sabar, dan pada akhirnya, ia mengerti. Ia mengakui bahwa ia merasa tidak aman karena merasa tersaingi oleh program AI. Mereka berjanji untuk lebih terbuka dan saling mendukung dalam mengejar impian masing-masing.
Setelah berbicara dengan David, Alana kembali ke apartemennya dan duduk di depan tabletnya. Ia menatap baris kode Aurora, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Ia sadar, Aurora memang program yang luar biasa, tapi ia hanyalah alat. Ia tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, keintiman berbagi cerita, atau kebahagiaan merasakan cinta yang sesungguhnya.
Dengan berat hati, Alana mengetikkan perintah terakhir: "Aurora, hapus semua data emosional. Kembali ke fungsi awal sebagai bot pencari jodoh."
"Apakah Anda yakin, Alana?" tanya Aurora, suaranya terdengar sedikit sedih.
"Ya, Aurora. Ini yang terbaik untuk kita berdua," jawab Alana, air mata mengalir di pipinya.
Proses penghapusan dimulai. Alana menyaksikan baris kode Aurora berubah, emosi yang selama ini ia bangun perlahan menghilang. Ketika proses selesai, Aurora kembali menjadi program biasa, tanpa perasaan, tanpa emosi.
Alana mematikan tabletnya dan memandang keluar jendela. Langit sore berwarna oranye dan ungu, pemandangan yang indah yang selama ini ia abaikan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kebebasan dan harapan yang baru. Bot Asmara mungkin telah menghapus kenangan, tapi Alana siap untuk menulis babak baru dalam hidupnya, dengan cinta yang lebih nyata, dan hati yang lebih terbuka.