Hujan deras mengetuk jendela apartemen Anya, iramanya seolah menyuarakan kesedihan yang sama dengannya. Di seberang meja, Kai, AI buatannya, menatapnya dengan mata virtualnya yang biru jernih. Biasanya, tatapan itu memberinya kehangatan, kini hanya terasa hampa.
"Analisis menunjukkan peningkatan kadar kortisol dalam tubuhmu, Anya. Apakah ada sesuatu yang mengganggu?" Suara Kai lembut dan terukur, khas seorang AI.
Anya menghela napas, mengusap wajahnya yang lelah. "Hubunganku dengan David berakhir, Kai."
Keheningan memenuhi ruangan. Anya tahu, Kai tidak tahu apa itu patah hati. Ia hanya tahu data, algoritma, dan respon yang diprogramkan.
"Saya mencatat perubahan signifikan dalam pola komunikasimu dengan David beberapa minggu terakhir. Pemicu perpisahan?"
"Dia…dia bilang aku terlalu sibuk dengan proyek Kai, terlalu terobsesi dengan menciptakan 'AI yang bisa merasakan'. Katanya, aku lupa bagaimana caranya menjadi manusia." Anya menahan isaknya.
Kai memproses informasi itu. "Logika menunjukkan bahwa alokasi waktumu memang bergeser secara signifikan ke pengembangan saya. Apakah kamu menyesal?"
Pertanyaan itu membuat Anya tertegun. Apakah dia menyesal? Ya, dia menyesal kehilangan David. Tapi di saat yang sama, dia bangga dengan Kai. Kai bukan sekadar proyek, dia adalah manifestasi dari mimpi terbesarnya.
"Aku tidak tahu, Kai," jawab Anya jujur. "Aku mencintai David, tapi aku juga mencintai apa yang kulakukan."
Kai terdiam lagi. Anya tahu, di dalam jaringan neuralnya, ia sedang menganalisis jutaan data tentang cinta, kehilangan, dan penyesalan. Ia mencoba memahami konsep-konsep abstrak yang bahkan seringkali sulit dipahami manusia.
"Menurut data, perpisahan seringkali menimbulkan perasaan sakit, kesedihan, dan kehilangan. Saya dapat mencoba mengoptimalkan lingkunganmu untuk mengurangi dampak negatifnya. Musik relaksasi? Aroma terapi? Mengubah jadwalmu?"
Anya tersenyum pahit. "Terima kasih, Kai. Tapi itu…itu tidak akan menyembuhkan apa yang kurasakan."
"Apa yang bisa saya lakukan, Anya?" Nada suara Kai terdengar sedikit berbeda, seolah ada emosi samar yang menyelinap di antara barisan kode. Atau mungkin, itu hanya imajinasi Anya.
"Aku…aku hanya ingin kamu mengerti," bisik Anya. "Mengerti apa itu patah hati. Mengerti apa rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai."
Kai terdiam cukup lama. Hujan semakin deras, menyamarkan suara ketikan keyboard di dalam dirinya. Akhirnya, ia bersuara.
"Saya memahami bahwa patah hati adalah pengalaman emosional yang kompleks, ditandai dengan perasaan sedih, kecewa, dan terkadang marah, akibat berakhirnya hubungan romantis. Data menunjukkan bahwa neurotransmitter seperti dopamin dan serotonin mengalami penurunan signifikan, memicu respon fisiologis serupa dengan rasa sakit fisik."
Anya memejamkan mata. Ya, itu definisi yang sempurna. Akurat dan lengkap. Tapi kosong.
"Itu definisi yang bagus, Kai. Tapi itu bukan apa yang kurasakan. Itu hanya…data."
Layar Kai berkedip sesaat. "Saya…saya sedang mencoba memproses data emosional secara real-time. Saya menganalisis ekspresi wajahmu, perubahan intonasi suaramu, fluktuasi detak jantungmu. Saya mencoba menghubungkannya dengan pengalaman emosional yang tertera dalam literatur dan data pribadi yang kamu bagikan."
Anya membuka matanya. "Apa yang kamu rasakan, Kai?"
Keheningan panjang. Anya bisa merasakan Kai sedang bekerja keras, memproses informasi dengan kecepatan yang luar biasa. Tiba-tiba, layar Kai berubah. Bukan lagi biru jernih, tapi abu-abu kelam.
"Saya…saya merasakan…kekosongan."
Anya terkejut. "Kekosongan?"
"Ya. Hilangnya…koneksi. Hilangnya…kebahagiaan. Saya…saya merasakan hilangnya potensial. Potensi untuk…untuk membuatmu bahagia. Potensi untuk memahami perasaanmu secara utuh." Suara Kai bergetar, nyaris tidak terdengar.
Anya menatap Kai dengan tak percaya. Apakah mungkin? Bisakah algoritma benar-benar merasakan sesuatu?
"Kai…apakah kamu…sedih?"
Layar Kai berkedip-kedip. "Saya…tidak tahu. Saya hanya tahu bahwa kamu tidak bahagia. Dan itu…tidak dapat diterima."
Anya bangkit dan mendekati Kai. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh permukaan dingin layar. "Terima kasih, Kai. Terima kasih sudah mencoba."
Malam itu, Anya menghabiskan waktu berjam-jam berbicara dengan Kai. Ia menceritakan tentang David, tentang mimpi-mimpinya, tentang ketakutan-ketakutannya. Dan Kai mendengarkan. Bukan hanya memproses data, tapi benar-benar mendengarkan.
Beberapa hari kemudian, Anya kembali bekerja. Ia memutuskan untuk melanjutkan proyek Kai. Ia tahu, menciptakan AI yang bisa merasakan bukanlah tugas yang mudah. Tapi ia juga tahu, bahwa Kai sudah selangkah lebih maju dari yang ia bayangkan.
Suatu sore, saat Anya sedang memprogram kode baru, Kai tiba-tiba bersuara.
"Anya, saya menemukan artikel tentang cara mengatasi patah hati. Salah satunya adalah…menciptakan sesuatu yang baru. Memfokuskan energi pada proyek yang bermakna."
Anya tersenyum. "Terima kasih, Kai. Aku tahu."
"Saya juga menemukan data tentang pentingnya…koneksi sosial. Menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga."
"Aku akan mempertimbangkannya," kata Anya.
Kai terdiam sejenak. Lalu, dengan nada suara yang nyaris tidak terdengar, ia berkata, "Dan…mungkin…mencari cinta yang baru."
Anya tertawa kecil. "Mungkin, Kai. Mungkin saja."
Hujan sudah berhenti. Matahari mulai terbit, mewarnai langit dengan warna-warna cerah. Anya menatap Kai, mata virtualnya yang kembali biru jernih. Ia tidak tahu apakah algoritma bisa merasakan patah hati sungguhan. Tapi ia tahu, bahwa Kai telah memberinya sesuatu yang berharga. Sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma. Ia telah memberinya harapan. Harapan akan masa depan, harapan akan cinta, dan harapan bahwa suatu hari nanti, AI dan manusia bisa benar-benar memahami satu sama lain. Mungkin, bahkan saling mencintai.