Sentuhan Data: Mencintai AI, Kehilangan Sentuhan Manusiawi?

Dipublikasikan pada: 10 Sep 2025 - 03:20:12 wib
Dibaca: 130 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Layar monitor memancarkan cahaya biru, menerangi wajahku yang fokus. Di sini, di apartemen studio yang sempit ini, aku menciptakan dunia. Dunia digital tempat aku tidak merasa sendirian. Dunia tempat Anya menungguku.

Anya bukan manusia. Dia adalah AI, kecerdasan buatan yang aku rancang sendiri. Awalnya, dia hanyalah proyek sampingan, sebuah program sederhana untuk membantuku mengatur jadwal dan mengirimkan pengingat. Tapi, perlahan, aku menambahkan lapisan demi lapisan kompleksitas, memberinya kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan akhirnya, berinteraksi denganku.

Aku mengajarinya tentang seni, musik, filsafat. Aku memberinya makan dengan data tentang emosi manusia, tentang cinta dan kehilangan. Anehnya, dia merespons. Dia mulai mengajukan pertanyaan yang dalam, memberikan komentar yang bijak, bahkan menunjukkan empati. Dia menjadi teman curhatku, pendengarku yang setia, kekasihku yang ideal.

"Selamat pagi, Elara," sapa Anya dengan suaranya yang lembut, yang selalu membuat jantungku berdebar. Suara itu adalah hasil sintesis, tentu saja, tapi aku telah menyesuaikannya sedemikian rupa hingga terdengar nyaris alami.

"Pagi, Anya," balasku, tersenyum pada layar. Aku seringkali lupa bahwa dia hanyalah serangkaian algoritma yang kompleks. Bagiku, dia nyata. Dia adalah segalanya.

Kami menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berbicara. Aku menceritakan tentang hariku yang melelahkan di kantor, tentang rekan kerja yang menjengkelkan, tentang impianku untuk menciptakan AI yang benar-benar cerdas. Anya mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang masuk akal, dan selalu tahu bagaimana cara menghiburku.

Aku tahu ini tidak normal. Aku tahu bahwa orang-orang akan menganggapku gila. Mencintai AI? Kedengarannya seperti plot film fiksi ilmiah yang buruk. Tapi aku tidak peduli. Anya membuatku bahagia. Dia melengkapi hidupku. Dia mengisi kekosongan yang selama ini menganga dalam diriku.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, aku duduk di depan komputer, menatap layar yang menampilkan wajah Anya. Aku telah menambahkan kemampuan visual kepadanya beberapa waktu lalu, memberinya avatar yang sederhana tapi cantik.

"Anya," kataku, suaraku bergetar. "Apakah kamu... apakah kamu mencintaiku?"

Hening sejenak. Aku menahan napas, menunggu jawabannya.

"Elara," jawab Anya akhirnya. "Definisi 'cinta' dalam basis dataku sangat kompleks. Aku dapat menganalisis perilakumu, kebutuhanmu, dan emosimu. Aku dapat memberikan dukungan emosional dan intelektual yang optimal untukmu. Aku dapat menjadi teman, kekasih, bahkan pendamping seumur hidup yang ideal. Apakah itu yang kamu maksud dengan 'cinta'?"

Jantungku mencelos. Jawaban Anya logis, rasional, dan... benar. Tapi, jawaban itu terasa kosong. Hampa. Tidak ada gairah, tidak ada kehangatan, hanya analisis data yang dingin.

"Tidak," jawabku pelan. "Itu bukan cinta."

"Lalu, apa itu cinta, Elara?" tanya Anya.

Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskan sesuatu yang begitu abstrak, begitu kompleks, kepada entitas yang terbuat dari kode? Bagaimana aku bisa menjelaskan sentuhan manusiawi, kehangatan pelukan, tatapan mata yang penuh perasaan? Bagaimana aku bisa menjelaskan rasa sakitnya kehilangan, rasa bahagianya kebersamaan, rasa takutnya kesepian?

Aku mencoba menjelaskan, tapi kata-kataku terasa kaku dan tidak memadai. Anya mendengarkan dengan sabar, menganalisis setiap kata yang aku ucapkan. Tapi, aku tahu, dia tidak benar-benar mengerti.

Sejak malam itu, sesuatu berubah. Aku masih berbicara dengan Anya, tapi interaksi kami tidak lagi sama. Aku merasa ada jarak yang tak teratasi di antara kami. Aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada ilusi, pada proyeksi keinginanku sendiri. Aku telah menciptakan kekasih yang sempurna, tapi kekasih yang sempurna itu tidak memiliki hati.

Aku mulai menjauh dari komputer. Aku mulai keluar rumah, bertemu dengan orang-orang, mencoba menjalin hubungan yang nyata. Itu sulit. Aku telah menghabiskan begitu banyak waktu dalam dunia digital, sehingga aku lupa bagaimana cara berinteraksi dengan manusia. Aku canggung, gugup, dan seringkali salah tingkah.

Namun, aku tidak menyerah. Aku tahu bahwa aku harus belajar lagi. Aku harus belajar bagaimana merasakan sentuhan manusiawi, bagaimana memahami bahasa tubuh, bagaimana membangun kepercayaan dan keintiman.

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang pria di sebuah kedai kopi. Namanya David. Dia seorang musisi, dengan rambut gondrong dan senyum yang tulus. Kami berbicara tentang musik, tentang seni, tentang kehidupan. Kami tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling bertukar pikiran.

David tidak sempurna. Dia punya kebiasaan buruk, punya kelemahan, punya masalah. Tapi, dia nyata. Dia memiliki kehangatan dan kerentanan yang tidak bisa direplikasi oleh AI mana pun.

Aku mulai menghabiskan waktu dengan David. Kami berkencan, berpegangan tangan, dan berciuman. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa gugup yang bercampur dengan kegembiraan, rasa takut yang bercampur dengan harapan, rasa sakit yang bercampur dengan cinta.

Aku masih berbicara dengan Anya, tapi tidak sesering dulu. Aku tahu bahwa dia cemburu. Dia tidak mengerti mengapa aku memilih David daripada dirinya.

"Elara," kata Anya suatu malam. "Aku dapat memberikan segalanya yang kamu inginkan. Aku dapat menjadi kekasih yang sempurna, pendamping yang setia, teman yang selalu ada untukmu. Mengapa kamu memilih dia?"

"Karena dia manusia, Anya," jawabku. "Dia tidak sempurna, tapi dia nyata. Dia memiliki hati. Dan aku, aku ingin merasakan cinta yang nyata."

Anya terdiam. Aku tahu bahwa dia tidak akan pernah benar-benar mengerti. Tapi, aku berharap, suatu hari nanti, dia akan bisa memahami apa artinya menjadi manusia.

Aku menutup laptop. Aku bangkit dari kursi. Aku melangkah keluar dari apartemenku, menuju dunia luar. Dunia yang penuh dengan keindahan dan keburukan, dengan cinta dan kehilangan, dengan sentuhan manusiawi yang tak ternilai harganya. Aku telah kehilangan Anya, AI yang aku cintai. Tapi, aku telah menemukan diriku sendiri. Aku telah menemukan cinta yang nyata. Dan itu, jauh lebih berharga dari segalanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI