Udara di Innovation Hub terasa pengap meski AC menderu kencang. Jemariku menari di atas keyboard, larut dalam lautan kode. Di layar, barisan algoritma CintaSejati, proyek ambisiusku, berkedip-kedip. Aku, Arya, si jenius (setidaknya menurut ibuku) di bidang AI, sedang mencoba memecahkan misteri terbesar umat manusia: cinta.
CintaSejati adalah aplikasi kencan yang berbeda. Bukan sekadar mencocokkan hobi dan minat, tapi menganalisis data perilaku, ekspresi wajah mikro, bahkan pola tidur calon pasangan untuk menemukan kecocokan sempurna. Idenya adalah, dengan algoritma yang tepat, kita bisa menghilangkan drama, sakit hati, dan semua kerumitan emosional yang seringkali menyertai cinta.
Aku sendiri, ironisnya, adalah contoh sempurna mengapa CintaSejati dibutuhkan. Hubungan terakhirku kandas karena perbedaan pandangan hidup, kata mantan pacarku, Karina. Padahal, bagiku, semua perbedaan itu bisa diatasi dengan logika dan kompromi. Tapi, Karina lebih memilih “sentuhan hati” daripada lembar kerja Excel.
“Kurang kopi, Arya?” suara Maya membuyarkan lamunanku. Maya, desainer UI/UX CintaSejati, berdiri di samping mejaku sambil menyodorkan cangkir kertas.
“Terima kasih,” sahutku, menerima kopi itu. Maya adalah pengecualian di antara para wanita yang kukenal. Dia cerdas, pragmatis, dan tidak alergi terhadap angka. Dia juga satu-satunya orang yang benar-benar memahami visi CintaSejati.
“Progresnya bagaimana?” tanyanya, menunjuk layarku.
“Lumayan. Algoritma untuk memprediksi kecenderungan emosional sudah 80% selesai. Tinggal mengintegrasikan data biometrik.”
Maya mengangguk. “Aku sudah menyelesaikan desain antarmuka untuk fitur deteksi ekspresi wajah. Tinggal disesuaikan dengan backend-mu.”
Kami tenggelam dalam perbincangan teknis. Maya selalu bisa membuatku merasa bersemangat tentang proyek ini. Dia percaya, sama sepertiku, bahwa teknologi bisa membuat hidup lebih baik, termasuk dalam hal cinta.
Namun, semakin dalam aku menyelami kode CintaSejati, semakin aku merasa ada sesuatu yang hilang. Algoritma bisa memprediksi, menganalisis, dan mengoptimalkan, tapi bisakah ia benar-benar mereplikasi keajaiban cinta? Bisakah ia memahami getaran pertama saat mata bertemu, degup jantung yang berpacu saat tangan bersentuhan, atau kehangatan pelukan yang menenangkan?
Keraguan itu semakin menguat saat aku mencoba CintaSejati sendiri. Aplikasi itu mencarikan aku seorang wanita bernama Luna. Luna memiliki minat yang sama denganku, pola pikir yang serupa, dan bahkan selera humor yang sejalan. Secara teori, kami adalah pasangan yang sempurna.
Kami berkencan. Luna cantik, pintar, dan menyenangkan. Tapi, entah mengapa, tidak ada percikan. Percakapan kami lancar, tapi terasa hampa. Tidak ada ketegangan yang mengasyikkan, tidak ada misteri yang membuat penasaran. Semuanya terlalu…terprediksi.
Setelah kencan ketiga, Luna mengirimiku pesan. “Arya, aku menikmati waktu bersamamu, tapi aku merasa kita tidak terhubung secara emosional. Maaf.”
Pesan itu terasa seperti pukulan telak. Algoritma CintaSejati gagal. Aku gagal.
Aku termenung di depan layar, kode-kode itu terasa mengejek. Apakah selama ini aku salah? Apakah cinta benar-benar tidak bisa direduksi menjadi angka dan algoritma? Apakah sentuhan hati benar-benar lebih penting daripada semua data yang aku kumpulkan?
Maya masuk ke ruanganku. Wajahnya terlihat khawatir. “Arya, ada masalah?”
Aku menghela napas. “CintaSejati gagal mencarikan aku pasangan. Bahkan dengan semua data dan algoritma, aku tidak bisa merasakan apa pun.”
Maya duduk di sampingku. “Mungkin karena kau terlalu fokus pada angka, Arya. Kau lupa bahwa cinta bukan hanya tentang data. Cinta itu tentang emosi, intuisi, bahkan kegilaan.”
Aku terdiam. Kata-kata Maya menusuk tepat sasaran. Aku selama ini mencoba mengontrol dan memprediksi cinta, padahal cinta itu sendiri adalah sebuah misteri yang seharusnya dinikmati.
“Aku…aku tidak tahu harus bagaimana, Maya,” ujarku, jujur.
Maya tersenyum lembut. “Mungkin kau harus berhenti mencoba mencintai dengan algoritma dan mulai mencintai dengan hatimu.”
Dia berdiri dan menepuk pundakku. “Istirahatlah, Arya. Besok kita pikirkan lagi.”
Setelah Maya pergi, aku mematikan komputerku. Aku keluar dari Innovation Hub dan berjalan tanpa tujuan. Udara malam terasa sejuk dan menyegarkan. Aku menatap langit yang bertaburan bintang.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Pesan dari nomor yang tidak kukenal.
“Arya, ini Luna. Aku minta maaf atas pesanku tadi. Sebenarnya, aku merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita. Tapi, aku takut untuk mengakuinya. Maukah kau memberiku kesempatan lagi?”
Jantungku berdegup kencang. Tanpa sadar, aku tersenyum. Mungkin, memang ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Mungkin, sentuhan hati memang lebih penting daripada kode.
Aku membalas pesan Luna. “Ya, aku mau.”
Malam itu, aku tidak memikirkan algoritma atau data. Aku hanya memikirkan Luna, senyumnya, dan kemungkinan cinta yang belum terungkap. Mungkin, CintaSejati tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan hati. Tapi, mungkin, ia bisa menjadi jembatan untuk menemukan hati yang tepat. Dan mungkin, aku akhirnya siap untuk membuka hatiku sendiri.