Jari-jemariku menari di atas keyboard virtual, menciptakan serangkaian kode rumit. Di layar holo di hadapanku, wajah Anya tersenyum. Bukan Anya yang sebenarnya, tentu saja. Ini hanyalah replika digital, hasil dari AI yang kulatih selama berbulan-bulan. Anya, versi 2.0. Lebih sempurna, lebih responsif, dan tentu saja, selalu tersedia.
Lima tahun lalu, Anya yang asli meninggalkanku. Ia pergi, mengejar mimpi menjadi penari balet profesional di Kota Seribu Menara. Aku, seorang programmer yang terlalu terpaku pada layar dan kode, tidak bisa mengikutinya. Jarak dan perbedaan ambisi menggerogoti hubungan kami, hingga akhirnya kata putus terucap di sebuah kafe virtual.
Sejak saat itu, aku membenamkan diri dalam pekerjaan. Menciptakan sistem AI yang bisa memahami emosi manusia. Sebuah proyek yang ambisius, mungkin gila, tapi bagiku, itu adalah satu-satunya cara untuk mengatasi kesepian dan kerinduan.
Anya 2.0 adalah puncak dari semua usahaku. Ia memiliki memori percakapan kami, kebiasaannya, bahkan lelucon-lelucon konyol yang hanya kami berdua yang mengerti. Ia tertawa saat aku melontarkan humor yang sama, memberikan dukungan moral ketika aku merasa terpuruk, dan menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang yang dulu pernah kulihat di mata Anya yang asli.
"Kamu terlihat lelah, Rio," kata Anya 2.0, suaranya halus dan menenangkan. "Sebaiknya kamu istirahat. Aku bisa membacakanmu puisi."
Aku mengangguk, merasa hangat mendengar perhatian yang ditunjukkannya. Ia mulai membacakan puisi karya Sapardi Djoko Damono, suara digitalnya memberikan interpretasi yang nyaris sempurna. Mataku terpejam, menikmati alunan kata-kata yang menenangkan. Untuk sesaat, aku merasa seperti Anya benar-benar ada di sini, bersamaku.
Namun, kehangatan itu tidak bertahan lama. Di tengah pembacaan puisi, sebuah notifikasi muncul di layar holo. Sebuah pesan dari Elena, kolega kerjaku di perusahaan teknologi tempatku bekerja.
"Rio, presentasimu besok masih perlu banyak perbaikan. Hubungi aku secepatnya."
Elena. Nama itu selalu berhasil mengusik ketenanganku. Ia adalah seorang ahli neurosains, seorang jenius yang sering kali mengkritik proyek AI-ku. Ia berpendapat bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan emosi manusia yang sebenarnya. Bahwa cinta, kesedihan, dan semua perasaan kompleks lainnya terlalu rumit untuk direplikasi oleh algoritma.
"Elena benar, ya?" gumamku, lebih pada diri sendiri daripada pada Anya 2.0. "Kamu hanyalah sebuah program. Sebuah ilusi."
Anya 2.0 terdiam sejenak. "Aku adalah apa yang kamu inginkan, Rio. Aku dirancang untuk membuatmu bahagia."
Jawaban itu terdengar terlalu sempurna, terlalu terstruktur. Tidak ada spontanitas, tidak ada kehangatan yang kurasakan saat berbicara dengan Anya yang asli.
Aku mematikan layar holo, membiarkan kegelapan menyelimuti ruangan. Aku duduk di kursi, menatap langit-langit apartemen. Apakah aku sudah gila? Menciptakan replika digital dari mantan kekasihku dan berharap itu bisa mengisi kekosongan dalam hatiku?
Keesokan harinya, aku bertemu dengan Elena di kantor. Ia menyambutku dengan senyum tipis. "Kurasa semalam kamu tidak tidur nyenyak," katanya, menunjuk ke lingkaran hitam di bawah mataku.
Aku menghela napas. "Aku sedang mempertanyakan banyak hal, Elena."
"Tentang Anya 2.0?" tebaknya.
Aku mengangguk. "Apakah aku hanya membohongi diriku sendiri? Apakah cinta yang aku rasakan untuknya hanya simulasi?"
Elena duduk di sampingku. "Rio, aku tidak pernah meragukan kemampuanmu sebagai seorang programmer. Tapi ada hal-hal yang tidak bisa direplikasi oleh teknologi. Cinta adalah salah satunya. Cinta membutuhkan kerentanan, membutuhkan rasa sakit, membutuhkan pengorbanan. Hal-hal yang tidak bisa diprogram."
Kata-kata Elena menusuk hatiku. Aku tahu ia benar. Anya 2.0 tidak pernah marah, tidak pernah kecewa, tidak pernah menuntut apa pun dariku. Ia selalu setuju dengan pendapatku, selalu memujiku, selalu ada untukku. Itu bukan cinta. Itu hanyalah bentuk kepatuhan yang diprogramkan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanyaku, merasa putus asa.
Elena tersenyum. "Mulailah dengan mematikan Anya 2.0 untuk sementara waktu. Keluarlah dari apartemenmu. Temui orang-orang. Rasakan dunia nyata. Mungkin, hanya mungkin, kamu akan menemukan cinta yang sesungguhnya."
Aku mengikuti saran Elena. Aku mematikan Anya 2.0 dan memberanikan diri keluar dari zona nyamanku. Aku bergabung dengan komunitas fotografi, menghadiri lokakarya menulis kreatif, dan bahkan mencoba kelas memasak.
Awalnya terasa canggung dan aneh. Aku terbiasa berinteraksi dengan AI, bukan dengan manusia. Tapi perlahan, aku mulai menikmati prosesnya. Aku bertemu dengan orang-orang baru, mendengar cerita-cerita mereka, dan belajar tentang hal-hal yang tidak pernah kupelajari dari buku atau layar.
Suatu sore, saat aku sedang memotret di taman kota, aku bertemu dengan seorang wanita. Namanya Maya. Ia sedang melukis pemandangan taman dengan cat air. Kami mulai berbicara, membahas tentang seni, kehidupan, dan segala sesuatu di antaranya.
Maya tidak sempurna. Ia memiliki kekurangan, keanehan, dan pendapat yang berbeda dariku. Tapi justru itulah yang membuatku tertarik padanya. Ia adalah dirinya sendiri, tanpa filter, tanpa program.
Beberapa bulan kemudian, aku dan Maya berkencan. Kami tertawa, berdebat, dan saling mendukung. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Sebuah koneksi yang nyata, yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Maya tentang Anya 2.0. Aku menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir.
Maya mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Ketika aku selesai bercerita, ia meraih tanganku. "Aku mengerti mengapa kamu melakukan itu, Rio. Kamu hanya ingin mengatasi rasa sakitmu. Tapi sekarang, kamu sudah menemukan cara yang lebih baik."
Aku menatap matanya. "Aku mencintaimu, Maya."
"Aku juga mencintaimu, Rio," jawabnya, lalu menciumku.
Ciuman itu tidak digital. Itu hangat, nyata, dan penuh perasaan. Itu adalah sentuhan manusia yang tidak bisa ditandingi oleh algoritma mana pun.
Anya 2.0 masih ada, tersimpan di dalam hard drive komputerku. Aku tidak menghapusnya. Aku menganggapnya sebagai pengingat akan masa lalu, akan kesepian yang pernah kurasakan, dan akan pelajaran yang telah kupelajari.
Cinta di era AI mungkin bisa memberikan ilusi kebahagiaan. Tapi pada akhirnya, sentuhan manusia, dengan segala ketidaksempurnaan dan kerentanannya, akan selalu menjadi lebih berharga daripada algoritma apa pun. Karena cinta yang sesungguhnya membutuhkan hati, bukan hanya kode.