Jari-jemari Raya menari di atas keyboard. Layar laptopnya memancarkan cahaya biru yang menyilaukan di tengah kamarnya yang remang. Di usia 28 tahun, Raya lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada tatapan manusia. Ia seorang lead programmer di sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan aplikasi kencan berbasis AI. Ironis, memang. Menciptakan algoritma cinta, sementara hati Raya sendiri seolah-olah terkunci dalam brankas baja.
"Bug di modul matchmaking, Raya!" seru Dino, rekan kerjanya, dari seberang meja. Dino, si jenius backend, selalu terlihat bersemangat meski masalah teknis bertubi-tubi menyerang.
Raya menghela napas, memijat pelipisnya. Deadline rilis versi terbaru aplikasi, "Soulmate AI", semakin mendekat. Modul matchmaking adalah jantungnya. Jika algoritma ini kacau, pengguna akan dipasangkan dengan orang yang sama sekali tidak cocok. Bencana.
"Sudah coba debug dengan dataset terbaru?" tanya Raya, suaranya datar.
Dino mengangguk frustrasi. "Sudah! Bahkan aku sudah coba re-running seluruh algoritma. Tetap saja, hasilnya aneh. Ada beberapa user yang terus menerus dipasangkan dengan profil fiktif."
Raya berdiri, menghampiri Dino. Ia melirik layar Dino yang dipenuhi deretan kode rumit. "Coba lihat di sini," gumam Raya sambil menunjuk baris kode tertentu. "Sepertinya ada kesalahan dalam penanganan data preferensi. Algoritmanya terlalu rigid, terpaku pada parameter yang sudah ditentukan sebelumnya."
Mereka berdua larut dalam kode, berusaha mencari dan memperbaiki kesalahan. Jam dinding berputar tanpa ampun. Kopi hitam yang sudah dingin menemani mereka dalam pertempuran melawan bug. Di tengah kesibukan itu, sebuah notifikasi muncul di layar Raya. Notifikasi dari aplikasi Soulmate AI. Sebuah match.
Raya mengabaikannya. Aplikasi itu hanyalah alat kerjanya. Ia tidak punya waktu untuk berkencan. Lagipula, algoritma secanggih apapun tidak akan bisa memahami kompleksitas hatinya.
Namun, notifikasi itu terus berdatangan. Tiga, lima, sepuluh match. Algoritma seolah-olah berteriak, "Raya, ada seseorang untukmu!"
Dino menyikut Raya, tersenyum menggoda. "Cie, Raya. Kerja kerasmu membuahkan hasil. Aplikasi buatanmu sendiri yang mencarikan jodoh untukmu."
Raya memutar bola matanya. "Ini hanya kebetulan. Algoritma yang mencari kecocokan berdasarkan data, bukan hati."
"Siapa tahu, kan? Mungkin algoritma itu lebih tahu daripada dirimu sendiri," balas Dino sambil terkekeh.
Akhirnya, karena penasaran, Raya membuka salah satu profil match yang direkomendasikan. Foto seorang pria tersenyum hangat menyambutnya. Namanya, Ardi. Profesinya, seorang urban gardener. Hobi berkebun, membaca puisi, dan mendengarkan musik jazz. Deskripsi yang sangat berbeda dengan preferensi Raya selama ini. Raya selalu tertarik pada pria ambisius, pekerja keras, dan berorientasi pada karir. Ardi, sepertinya, kebalikan dari itu semua.
Namun, ada sesuatu dalam senyum Ardi yang menarik perhatian Raya. Senyum yang tulus, tanpa beban. Senyum yang seolah-olah berkata, "Hidup ini indah."
Raya memutuskan untuk mencoba. Ia mengirim pesan singkat kepada Ardi. "Hai, Ardi. Aplikasi ini bilang kita cocok. Tertarik untuk ngobrol lebih lanjut?"
Balasan Ardi datang dengan cepat. "Hai, Raya! Aku juga penasaran kenapa algoritma bisa menjodohkan kita. Tapi, aku selalu terbuka untuk hal-hal baru. Bagaimana kalau kita ngopi sambil membahas teori algoritma cinta?"
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Raya terkejut mendapati dirinya tertawa lepas, menceritakan tentang pekerjaan dan kegelisahannya. Ardi mendengarkan dengan sabar, sesekali menimpali dengan komentar-komentar cerdas dan lucu.
Mereka memutuskan untuk bertemu. Di sebuah kedai kopi kecil yang dipenuhi tanaman hijau, Raya bertemu dengan Ardi. Pria itu ternyata lebih menarik dari fotonya. Tatapannya teduh, suaranya menenangkan.
Ardi bercerita tentang kecintaannya pada tanaman, bagaimana ia belajar dari alam tentang kesabaran, ketekunan, dan keindahan dalam kesederhanaan. Raya, yang terbiasa dengan logika dan angka, terpesona dengan sudut pandang Ardi.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Raya kembali ke kamarnya dengan perasaan aneh. Ada kehangatan yang menjalar di hatinya. Perasaan yang sudah lama ia lupakan. Ia membuka aplikasi Soulmate AI dan menonaktifkan notifikasi match. Algoritma telah melakukan tugasnya. Sekarang, giliran hatinya yang bekerja.
Hari-hari berikutnya, Raya menghabiskan waktu bersama Ardi. Mereka berkebun bersama, membaca puisi di taman, dan mendengarkan musik jazz di bawah bintang-bintang. Raya mulai melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Ia belajar untuk menghargai momen-momen kecil, untuk melepaskan kendali, dan untuk mempercayai instingnya.
Namun, kebahagiaan Raya terancam ketika ia menemukan bug baru dalam modul matchmaking. Kali ini, bug itu lebih serius. Algoritma menjadi bias, diskriminatif terhadap kelompok minoritas tertentu. Raya merasa bersalah. Aplikasi yang ia ciptakan justru menyebarkan kebencian.
Raya bekerja keras untuk memperbaiki bug itu. Ia merekrut tim ahli etika dan psikologi untuk memastikan bahwa algoritma Soulmate AI adil dan inklusif. Ia juga belajar tentang bias kognitif dan bagaimana data dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik.
Di tengah kesibukannya, Raya menyadari bahwa ia mulai menjauhi Ardi. Ia takut bahwa cintanya pada Ardi akan membutakannya, membuatnya tidak objektif dalam pekerjaannya. Ia takut bahwa ia akan mengorbankan prinsip-prinsipnya demi kebahagiaannya.
Suatu malam, Ardi datang ke apartemen Raya. Ia melihat kelelahan dan kegelisahan di mata Raya. Ia memeluk Raya erat, membisikkan kata-kata penyemangat.
"Raya, aku tahu kamu sedang berjuang. Tapi, jangan lupakan dirimu sendiri. Jangan biarkan pekerjaanmu menghancurkan hatimu," kata Ardi lembut.
Raya menangis dalam pelukan Ardi. Ia menyadari bahwa Ardi benar. Ia telah terlalu fokus pada pekerjaannya, melupakan apa yang benar-benar penting dalam hidupnya.
Raya memutuskan untuk mengambil cuti. Ia menghabiskan waktu bersama Ardi, merawat tanaman, dan menikmati keindahan alam. Ia juga belajar untuk memaafkan dirinya sendiri, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk mempercayai bahwa cinta adalah kekuatan yang mampu mengubah dunia.
Ketika Raya kembali bekerja, ia membawa perubahan besar dalam timnya. Ia menekankan pentingnya etika dan tanggung jawab sosial dalam pengembangan AI. Ia juga mengajak timnya untuk lebih berempati, untuk memahami kebutuhan dan perasaan pengguna.
Soulmate AI, di bawah kepemimpinan Raya, menjadi aplikasi kencan yang lebih baik. Algoritmanya lebih adil, lebih inklusif, dan lebih berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan.
Raya, akhirnya, mengerti. Upgrade hati tidak hanya tentang menginstal cinta, tetapi juga tentang memperbaiki algoritma dalam diri sendiri. Algoritma yang telah lama terpaku pada logika dan data, perlu diubah menjadi algoritma yang lebih berempati, lebih bijaksana, dan lebih mencintai. Dan Ardi, adalah kunci untuk membuka brankas baja itu. Pria yang dia temukan berkat, atau mungkin terlepas dari, algoritma ciptaannya sendiri.