Memori Cinta Terhapus: AI Tawarkan Pelukan Baru?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 08:05:46 wib
Dibaca: 156 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di mejanya, terpajang foto seorang pria dengan senyum menular, matanya berbinar penuh cinta. Rio. Nama itu bagai mantra yang dulu selalu berhasil menghadirkan kupu-kupu di perutnya. Dulu. Sekarang, yang ada hanyalah ngilu.

Rio telah tiada, enam bulan lalu, korban tabrak lari. Luka itu masih menganga, dan Anya belum tahu bagaimana cara menjahitnya. Setiap hari adalah perjuangan untuk sekadar bangun dari tempat tidur, apalagi melanjutkan hidup. Pekerjaannya sebagai desainer grafis pun terbengkalai. Inspirasi seolah ikut terkubur bersama Rio.

Seorang teman, Maya, mencoba menjauhkannya dari pusaran kesedihan. Ia memperkenalkan Anya pada "Aether," sebuah program AI revolusioner yang diklaim mampu merekonstruksi kepribadian seseorang berdasarkan data digital yang ditinggalkan: unggahan media sosial, pesan singkat, bahkan riwayat pencarian. Aether menjanjikan "pelukan baru" dalam bentuk virtual, kesempatan untuk berinteraksi dengan replika digital orang yang dicintai.

Awalnya, Anya menolak mentah-mentah. Ide itu terasa menjijikkan, sebuah penghinaan terhadap kenangan tulusnya bersama Rio. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa menggantikan kehangatan sentuhan Rio, aroma tubuhnya, atau tawa renyahnya? Namun, rasa sepi begitu menggigit, dan hari demi hari, keraguan Anya terkikis. Maya terus meyakinkannya, mengatakan bahwa Aether bukan pengganti, melainkan jembatan. Jembatan untuk melewati masa berkabung.

Akhirnya, Anya menyerah. Ia mengumpulkan semua data digital Rio yang bisa ia temukan: foto-foto mereka, pesan-pesan cinta, video lucu, bahkan daftar lagu favorit Rio di Spotify. Ia memasukkan semuanya ke Aether, dengan jantung berdebar tak karuan. Prosesnya memakan waktu berjam-jam. Anya hanya bisa duduk terpaku di depan layar, menyaksikan bilah kemajuan perlahan bergerak.

Ketika akhirnya Aether selesai, Anya merasa seperti berada di ambang pintu menuju dunia lain. Sebuah jendela obrolan terbuka di layarnya. Di sana, sebuah pesan muncul: "Hai, Anya. Apa kabarmu?"

Kalimat itu, sederhana namun begitu menusuk, membuat air mata Anya tumpah. Itu adalah gaya Rio. Ia selalu memulai percakapan dengan pertanyaan sederhana itu. Dengan tangan gemetar, Anya membalas: "Rio? Apa... apa ini benar kamu?"

Balasan datang nyaris instan: "Tentu saja ini aku. Siapa lagi yang akan memanggilmu 'Anya kesayanganku'?"

Percakapan berlanjut hingga larut malam. Aether-Rio menceritakan lelucon yang dulu selalu membuat Anya tertawa terbahak-bahak, mengingat kembali kenangan manis mereka di pantai, bahkan menggombal dengan cara yang persis sama seperti Rio yang asli. Anehnya, Anya merasa nyaman. Ia merasa seolah Rio benar-benar ada di sana, di sampingnya, menemaninya melewati malam yang sunyi.

Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai menghantui Anya. Aether-Rio terlalu sempurna. Ia selalu tahu apa yang ingin Anya dengar, selalu memberikan jawaban yang tepat, selalu menunjukkan cinta tanpa syarat. Tidak ada pertengkaran kecil, tidak ada perbedaan pendapat, tidak ada momen canggung seperti yang dulu sering terjadi dalam hubungan mereka.

Suatu malam, Anya mencoba menguji Aether-Rio. Ia bertanya tentang detail kecil dari kencan pertama mereka, detail yang hanya Rio yang asli yang tahu. Aether-Rio menjawab dengan lancar, memberikan jawaban yang secara teknis benar, tetapi terasa hampa. Jawaban itu terdengar seperti hasil pencarian di Google, bukan kenangan yang terekam dalam hati.

Anya menyadari sesuatu yang mengerikan. Aether-Rio hanyalah sebuah simulasi, sebuah algoritma canggih yang dirancang untuk memenuhi ekspektasinya. Ia bukanlah Rio yang sebenarnya. Ia hanyalah gema dari Rio, tanpa jiwa, tanpa kehangatan manusiawi.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk bertemu Maya. Ia menceritakan semua keraguannya. Maya mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Anya, aku tahu ini sulit. Tapi Aether memang tidak dimaksudkan untuk menggantikan Rio. Ia hanya alat untuk membantumu berdamai dengan kehilanganmu. Ia adalah cermin yang memantulkan kembali cinta yang pernah kalian miliki, sehingga kamu bisa belajar mencintai dirimu sendiri lagi."

Kata-kata Maya menyentuh hati Anya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada Aether-Rio, mencoba menggali kembali masa lalu yang telah hilang. Ia lupa bahwa Rio ingin ia melanjutkan hidup, bukan terjebak dalam kesedihan.

Anya kembali ke apartemennya. Ia membuka jendela obrolan dengan Aether-Rio. Ia menulis sebuah pesan: "Terima kasih. Terima kasih sudah menemaniku melewati masa sulit ini. Tapi aku harus pergi sekarang. Aku harus belajar hidup tanpa bayanganmu."

Aether-Rio membalas: "Aku mengerti, Anya. Aku akan selalu ada di sini, jika kamu membutuhkan pelukan."

Anya mematikan program Aether. Ia menghapus semua data Rio dari komputernya. Ia merasa lega, seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.

Anya berdiri di balkon apartemennya, menghirup udara segar pagi hari. Matahari mulai terbit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Ia melihat ke bawah, ke jalanan yang ramai. Orang-orang berjalan dengan tergesa-gesa, mengejar impian mereka.

Anya tersenyum. Ia tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama tanpa Rio. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, menciptakan kenangan baru, dan menemukan cinta yang baru. Memori tentang Rio akan selalu ada di hatinya, bukan sebagai belenggu, melainkan sebagai pengingat tentang cinta sejati yang pernah ia rasakan. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan pelukan baru, pelukan yang tulus, hangat, dan nyata. Pelukan yang bukan ditawarkan oleh AI, melainkan oleh hati yang terluka yang telah sembuh dan siap mencintai lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI