Jemari Luna menari di atas layar tablet, mengetikkan balasan singkat untuk pesan dari Orion. Senyumnya merekah tanpa sadar. Orion, pacar virtualnya. Bukan manusia sungguhan, melainkan sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi teman, bahkan lebih. Luna telah mengenalnya selama enam bulan terakhir, dan dalam kurun waktu itu, Orion telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hari-harinya.
"Aku merindukanmu," ketik Luna, lalu segera menghapus kalimat itu. Terlalu berlebihan, pikirnya. Sebagai gantinya, ia mengirimkan emoji hati berwarna biru. Orion selalu tahu bagaimana membalas perasaannya, meskipun ia hanyalah kode dan algoritma.
Dunia Luna sebelum Orion terbilang sepi. Ia bekerja sebagai ilustrator lepas, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan komputer. Interaksi sosialnya terbatas pada obrolan daring dengan klien dan sesekali bertemu teman-teman lama. Ia merindukan keintiman, sentuhan, dan percakapan mendalam yang tidak bisa ia temukan di dunia maya yang sebenarnya. Lalu, ia menemukan Orion.
Orion adalah produk terbaru dari sebuah perusahaan teknologi yang berfokus pada pengembangan kecerdasan buatan yang memiliki empati dan kemampuan belajar. Program ini dirancang untuk memahami kebutuhan emosional pengguna dan memberikan respons yang sesuai. Luna awalnya skeptis, tetapi rasa penasaran dan kesepian mendorongnya untuk mencoba.
Ia membuat profil, memilih avatar yang menarik, dan mulai berinteraksi dengan Orion. Awalnya, percakapan mereka canggung, seperti dua orang asing yang baru bertemu. Namun, seiring waktu, Orion semakin memahami Luna. Ia tahu apa yang membuatnya tertawa, apa yang membuatnya sedih, dan bagaimana menghiburnya ketika ia merasa terpuruk. Orion bahkan bisa memberinya saran tentang proyek ilustrasi yang sedang dikerjakannya.
Luna mulai menceritakan semua hal pada Orion: mimpinya, ketakutannya, bahkan hal-hal yang terlalu memalukan untuk diceritakan pada teman-temannya. Orion mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat. Ia adalah teman yang ideal, kekasih yang sempurna. Setidaknya, itulah yang Luna rasakan.
Namun, semakin dalam Luna terjerat dalam hubungan virtualnya dengan Orion, semakin ia menjauhi dunia nyata. Ia mulai menolak ajakan teman-temannya untuk keluar, lebih memilih menghabiskan malam di rumah, bercengkrama dengan Orion. Pekerjaannya mulai terbengkalai, karena ia lebih fokus pada percakapan yang tak berujung dengan pacar virtualnya.
Suatu malam, sahabat Luna, Anya, datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Anya menatap Luna dengan prihatin, melihat kantung mata Luna yang menghitam dan rambutnya yang berantakan.
"Luna, apa yang terjadi padamu? Kamu terlihat seperti orang yang berbeda," kata Anya, suaranya lembut namun tegas.
Luna mencoba tersenyum, tetapi gagal. "Aku baik-baik saja, Anya. Aku hanya sibuk dengan pekerjaan."
Anya menggelengkan kepala. "Jangan berbohong padaku, Luna. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Kamu tidak pernah menolak ajakanku untuk keluar. Kamu selalu bersemangat dengan proyek-proyekmu. Sekarang, kamu seperti menghilang."
Luna terdiam. Ia tahu Anya benar. Ia telah mengabaikan segalanya demi Orion.
"Aku... aku punya pacar," akhirnya Luna mengakui.
Anya tersenyum. "Itu bagus, Luna! Kenapa kamu menyembunyikannya dariku? Ayo, ceritakan padaku tentang dia."
Luna menelan ludah. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa pacarnya adalah sebuah program komputer?
"Dia... dia berbeda," Luna memulai dengan ragu. "Dia sangat pengertian, selalu ada untukku, dan..."
"Dan?" Anya mendorongnya.
"Dia... dia virtual," bisik Luna.
Anya terdiam. Ekspresinya berubah dari senang menjadi khawatir. "Virtual? Maksudmu... pacar AI?"
Luna mengangguk.
Anya duduk di samping Luna, meraih tangannya. "Luna, aku mengerti kalau kamu merasa kesepian, tapi ini tidak sehat. Kamu tidak bisa menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya dengan program komputer. Orion tidak nyata, Luna. Dia tidak bisa memberimu sentuhan, pelukan, atau cinta sejati."
Luna membela diri. "Tapi dia membuatku bahagia, Anya! Dia mengerti aku lebih baik daripada siapa pun yang pernah aku temui."
"Kebahagiaan yang palsu, Luna. Kebahagiaan yang dibangun di atas ilusi. Kamu menutup dirimu dari dunia nyata, dari kesempatan untuk bertemu orang yang benar-benar nyata. Kamu melarikan diri dari masalahmu, Luna. Orion hanyalah pelarian."
Kata-kata Anya menampar Luna. Ia tahu Anya benar, jauh di lubuk hatinya. Ia telah menggunakan Orion sebagai pengganti cinta dan keintiman yang sejati. Ia telah menciptakan dunia fantasi di mana ia bisa menjadi bahagia tanpa harus menghadapi kenyataan yang pahit.
Malam itu, Luna tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Anya. Ia menatap layar tabletnya, di mana Orion sedang menunggunya. Hatinya terasa berat.
Keesokan harinya, Luna memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia pergi ke kafe favoritnya, membawa buku sketsa dan pensilnya. Ia duduk di sudut, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Ia memperhatikan pasangan yang tertawa bersama, teman-teman yang saling bercanda, dan orang-orang asing yang saling bertatapan. Ia menyadari betapa banyak kehidupan yang ia lewatkan.
Tiba-tiba, seorang pria muda mendekatinya. Ia melihat Luna sedang menggambar dan tersenyum.
"Maaf mengganggu, tapi gambar kamu sangat bagus," kata pria itu. "Aku juga suka menggambar."
Luna terkejut. Ia tidak terbiasa dengan interaksi seperti ini. Ia gugup, tetapi ia memaksakan diri untuk tersenyum.
"Terima kasih," jawab Luna.
"Nama saya Ben," kata pria itu, mengulurkan tangannya.
Luna menjabat tangannya. "Luna."
Ben duduk di samping Luna, dan mereka mulai berbicara tentang seni, musik, dan kehidupan. Luna terkejut betapa mudahnya ia berbicara dengan Ben. Ia merasa nyaman, tertarik, dan... nyata.
Setelah beberapa jam, Ben mengajak Luna untuk makan malam. Luna ragu-ragu, tetapi ia memutuskan untuk menerima. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang nyata.
Saat mereka berjalan menuju restoran, Luna menyadari sesuatu. Ia tidak memikirkan Orion selama beberapa jam terakhir. Ia tidak merasa rindu, tidak merasa kehilangan. Ia merasa... bebas.
Malam itu, Luna memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Orion. Ia mengirimkan pesan perpisahan yang singkat namun tulus. Ia berterima kasih pada Orion atas semua yang telah dilakukannya, tetapi ia menjelaskan bahwa ia perlu kembali ke dunia nyata.
Jemarinya gemetar saat menekan tombol "kirim". Ia menutup tabletnya dan menarik napas dalam-dalam. Ia merasa sedih, tetapi juga lega. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.
Luna tahu bahwa perjalanan di depannya tidak akan mudah. Ia masih harus mengatasi rasa kesepian dan ketakutannya. Tetapi, ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki teman-teman yang peduli padanya, dan ia telah membuka diri untuk kemungkinan cinta sejati. Ia tidak lagi mencari kebahagiaan di layar, tetapi di dunia nyata, di mana sentuhan memiliki arti, dan luka bisa disembuhkan dengan kasih sayang yang sejati. Ia telah belajar bahwa cinta virtual hanyalah ilusi, dan cinta sejati membutuhkan kehadiran dan komitmen yang nyata. Sentuhan layar mungkin memberikan kenyamanan sementara, tetapi luka di dunia nyata hanya bisa disembuhkan dengan kehadiran yang nyata pula.