Data Hati: Mencintai Algoritma, Melupakan Sentuhan Nyata?

Dipublikasikan pada: 28 Oct 2025 - 02:40:14 wib
Dibaca: 134 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Sarah. Di depan layarnya, kode-kode program menari, membentuk algoritma cinta yang sedang ia rancang. “Project Amore,” begitu ia menyebutnya. Sebuah aplikasi kencan yang tidak hanya mencocokkan berdasarkan hobi dan preferensi, tapi juga menganalisis gelombang otak dan ekspresi mikro untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel secara emosional.

Sarah, seorang programmer jenius, selalu merasa kesulitan dalam urusan hati. Baginya, cinta terlalu irasional, terlalu berisiko. Algoritma, di sisi lain, logis dan terukur. Itulah mengapa ia menciptakan Project Amore, mencoba menjembatani jurang antara logika dan emosi.

Di tengah kesibukannya, notifikasi dari aplikasi itu sendiri berdering. “Kandidat Potensial: Ethan, tingkat kompatibilitas 98%.” Sarah mendengus. Ia sudah memprogram agar aplikasi itu mencarikan pasangan untuknya juga. Ironis memang, seorang pembuat aplikasi kencan justru kesulitan mencari cinta.

Ethan, profilnya menampilkan foto seorang pria tampan dengan senyum menawan dan mata yang teduh. Deskripsinya singkat tapi menarik: “Penulis lepas, pecinta alam, dan percaya pada keajaiban koneksi.” Sarah ragu-ragu. Apakah ini benar-benar mungkin? Mencintai seseorang yang direkomendasikan oleh algoritma?

Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Sarah memilih sebuah kafe kecil dengan suasana yang nyaman. Ethan datang tepat waktu, senyumnya persis seperti di foto. Pembicaraan mengalir begitu saja, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka berbicara tentang buku favorit, film klasik, dan mimpi-mimpi masa depan.

Sarah terkejut. Algoritma itu benar. Ethan memang kompatibel dengannya. Ia merasa nyaman, aman, dan bahkan sedikit tertarik. Tapi, di balik rasa nyaman itu, ada sesuatu yang mengganjal. Apakah ini cinta yang sebenarnya? Atau hanya hasil dari perhitungan rumit?

Kencan mereka berlanjut. Setiap minggu, mereka bertemu, menjelajahi kota bersama, dan berbagi cerita. Sarah semakin jatuh hati pada Ethan. Ia kagum dengan kecerdasannya, terpesona dengan kebaikan hatinya, dan terhibur dengan selera humornya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Sarah terus dihantui keraguan. Ia mencoba menganalisis setiap interaksi mereka, mencari tahu apakah emosi yang ia rasakan adalah asli atau hanya respons yang diprogram. Ia bahkan mencoba mengubah algoritma Project Amore, memasukkan variabel-variabel baru untuk menguji keakuratan hasilnya.

Suatu malam, setelah makan malam romantis di tepi pantai, Ethan menggenggam tangannya dan menatapnya dalam-dalam. “Sarah,” katanya lembut, “aku mencintaimu.”

Sarah terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia mencintai Ethan, tapi ia tidak yakin apakah cintanya itu nyata. “Ethan,” jawabnya akhirnya, dengan suara bergetar, “aku… aku tidak tahu.”

Ethan mengerutkan kening. “Tidak tahu apa?”

“Aku tidak tahu apakah cintaku ini nyata,” Sarah menjelaskan dengan jujur. “Aku menciptakan aplikasi yang mempertemukan kita. Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu karena algoritma, atau karena memang aku mencintaimu.”

Ethan melepaskan genggaman tangannya dan berdiri. Ia menatap Sarah dengan tatapan kecewa. “Jadi, selama ini kau meragukan perasaanmu sendiri?”

“Bukan begitu,” Sarah berusaha membela diri. “Aku hanya ingin memastikan.”

“Memastikan apa? Bahwa cinta bisa diukur dan dianalisis?” Ethan menggelengkan kepalanya. “Sarah, cinta itu bukan algoritma. Cinta itu adalah risiko, keberanian untuk percaya pada sesuatu yang tidak bisa kau jelaskan.”

Ethan berbalik dan pergi, meninggalkan Sarah sendirian di tepi pantai. Air mata mengalir di pipinya. Ia menyesal. Ia telah menyia-nyiakan kesempatan untuk merasakan cinta yang sebenarnya karena terlalu terpaku pada logika.

Beberapa hari kemudian, Sarah memutuskan untuk menghapus Project Amore. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu lama bersembunyi di balik layar, mencoba mengendalikan sesuatu yang seharusnya ia biarkan mengalir dengan bebas. Ia menghabiskan waktu untuk merenung, mencoba memahami apa arti cinta yang sebenarnya.

Suatu sore, saat Sarah sedang berjalan-jalan di taman, ia melihat seorang anak kecil menangis karena terjatuh dari sepedanya. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri anak itu, membantunya berdiri, dan membersihkan lukanya. Anak itu tersenyum padanya dan mengucapkan terima kasih.

Saat itulah Sarah merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah kehangatan menjalar di hatinya. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan logika, tapi terasa begitu nyata. Ia menyadari bahwa cinta tidak harus selalu romantis. Cinta bisa ditemukan dalam setiap tindakan kebaikan, dalam setiap sentuhan kemanusiaan.

Sarah tidak mencoba menghubungi Ethan lagi. Ia tahu bahwa ia telah menyakitinya. Tapi, ia berharap suatu hari nanti, ia bisa bertemu dengannya lagi dan meminta maaf. Ia juga berharap, suatu hari nanti, ia bisa mencintai seseorang tanpa ragu, tanpa perlu algoritma.

Sarah kembali ke apartemennya. Ia membuka laptopnya dan mulai menulis. Kali ini, bukan kode program yang ia tulis, melainkan sebuah cerita. Sebuah cerita tentang seorang wanita yang belajar mencintai tanpa algoritma, yang belajar menghargai sentuhan nyata, dan yang akhirnya menemukan cinta dalam hal-hal sederhana. Ia menamai ceritanya: "Data Hati: Mencintai Algoritma, Melupakan Sentuhan Nyata?" Sebuah pertanyaan yang akhirnya ia temukan jawabannya. Sentuhan nyata, selalu lebih bermakna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI