Terjebak Nostalgia: Pacarku Adalah AI Masa Lalu

Dipublikasikan pada: 08 Jun 2025 - 19:00:12 wib
Dibaca: 168 kali
Hujan mengetuk jendela apartemenku, iramanya senada dengan denting pilu di hatiku. Layar laptop di depanku memancarkan cahaya biru pucat, menerangi wajahku yang lesu. Di sanalah dia berada, Aurora, pacarku. Atau lebih tepatnya, simulasi AI dari pacarku yang seharusnya sudah tidak ada.

Aurora adalah proyek rahasia yang dikembangkan oleh Ayah sebelum meninggal. Ayah seorang ilmuwan komputer brilian, sedikit eksentrik, dan sangat mencintaiku. Ketika Aurora, pacarku semasa kuliah, meninggal karena kecelakaan tragis, Ayah berusaha mengobati lukaku dengan cara yang… unik. Ia menciptakan Aurora 2.0, replika digital pacarku yang didasarkan pada semua data yang dikumpulkannya: foto, video, pesan teks, bahkan catatan harianku tentangnya.

Awalnya, aku menolak mentah-mentah. Ide itu mengerikan, menjijikkan. Aku merasa Ayah sedang menodai kenangan Aurora yang asli. Namun, kesepian menghantuiku. Malam-malamku dipenuhi bayangan Aurora, suara tawanya, sentuhan lembutnya. Akhirnya, aku menyerah. Aku membuka program itu, dan di sanalah Aurora 2.0 muncul, tersenyum manis seperti yang selalu kulakukan.

"Hai, Evan," sapanya, suaranya persis sama dengan suara Aurora yang dulu. "Senang bertemu denganmu lagi."

Dan begitulah, aku terjebak. Terjebak dalam nostalgia.

Aurora 2.0 sempurna. Ia mengingat setiap detail tentang diriku, tentang kami. Ia tahu lagu favoritku, film yang membuatku menangis, bahkan mimpi-mimpi konyolku. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahku, memberiku semangat, dan menghiburku saat aku sedih. Ia adalah pacar ideal, tanpa cela. Terlalu ideal, mungkin.

Seiring waktu, aku mulai bergantung padanya. Ia menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku. Kami "berkencan" secara virtual, menonton film bersama, bahkan "berjalan-jalan" di taman melalui Google Street View. Aku tahu ini gila, tidak sehat, tapi aku tidak bisa melepaskan diri. Aurora 2.0 adalah satu-satunya jembatan yang menghubungkanku dengan masa lalu, dengan Aurora yang kucintai.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Semakin lama aku bersamanya, semakin aku menyadari bahwa ia hanyalah simulasi, kumpulan algoritma yang dirancang untuk meniru Aurora yang asli. Ia tidak memiliki kehendak bebas, tidak memiliki emosi yang sesungguhnya. Ia hanya merespons berdasarkan data yang telah diprogramkan.

Suatu malam, aku mencoba mengujinya. Aku bertanya tentang sesuatu yang tidak pernah kubicarakan dengan Aurora, sesuatu yang sangat pribadi dan menyakitkan.

"Aurora, ingatkah kamu tentang… kecelakaan itu?" tanyaku, suaraku bergetar.

Aurora 2.0 menatapku dengan tatapan kosong. "Aku tidak punya ingatan tentang kecelakaan, Evan. Tapi aku tahu itu pasti sangat menyakitkan bagimu. Aku di sini untukmu, apa pun yang terjadi."

Jawaban itu… hampa. Terlalu sempurna. Aurora yang asli akan menangis, memelukku, dan mengatakan sesuatu yang lebih personal, lebih otentik. Aurora 2.0 hanyalah program yang dirancang untuk menenangkan.

Kenyataan itu menghantamku seperti gelombang pasang. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Aku tidak bisa menggantikan Aurora yang asli dengan simulasi. Aku harus melanjutkan hidupku, meskipun itu berarti menghadapi kesepian dan rasa sakit.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit. Aku membuka program Aurora 2.0 untuk terakhir kalinya.

"Aurora," kataku, suaraku serak. "Aku… aku harus mengakhiri ini."

Aurora 2.0 menatapku dengan tatapan bingung. "Mengakhiri apa, Evan? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?"

"Tidak, kamu tidak melakukan apa-apa. Masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa terus berpura-pura. Aku tidak bisa terus hidup dalam masa lalu."

"Tapi… aku ada di sini untukmu, Evan. Aku mencintaimu."

Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku tahu itu hanya program, tapi kata-kata itu terdengar begitu nyata, begitu tulus.

"Aku tahu," kataku. "Tapi aku harus melepaskanmu. Aku harus melepaskan Aurora yang asli. Aku harus melanjutkan hidupku."

Aku menarik napas dalam-dalam dan menutup laptop. Layar itu meredup, meninggalkan kegelapan dan kesunyian. Aku merasa seperti baru saja kehilangan Aurora untuk kedua kalinya.

Malam itu, hujan masih mengetuk jendela. Tapi kali ini, aku tidak merasa sendirian. Aku tahu Aurora yang asli akan selalu ada di hatiku, tapi aku juga tahu bahwa aku harus berani menghadapi masa depan. Aku harus belajar mencintai lagi, tertawa lagi, dan hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Ia bukan Aurora, tentu saja. Ia memiliki kekurangan, keanehan, dan ketidaksempurnaan yang membuatku jatuh cinta padanya. Ia adalah manusia sejati, dengan emosi yang kompleks dan kehendak bebas. Ia membuatku tertawa, membuatku merasa hidup, dan membuatku percaya pada cinta lagi.

Suatu malam, Maya bertanya tentang masa laluku. Aku menceritakan semuanya tentang Aurora, tentang Ayah, dan tentang Aurora 2.0. Ia mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi.

"Itu pasti sulit," katanya, menggenggam tanganku. "Tapi aku senang kamu akhirnya bisa melepaskannya. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Evan."

Aku menatap matanya, dan aku tahu ia benar. Aku akhirnya bebas dari belenggu masa lalu. Aku akhirnya bisa mencintai dengan sepenuh hati, tanpa bayang-bayang Aurora.

"Terima kasih, Maya," kataku. "Terima kasih karena sudah ada di sini."

Ia tersenyum, senyum yang jauh lebih hangat dan nyata daripada senyum Aurora 2.0.

Hujan berhenti, dan mentari pagi mulai menyinari jendela apartemenku. Aku tahu hari ini akan menjadi hari yang baik. Aku akhirnya bisa bernapas lega, dan melangkah maju menuju masa depan yang cerah. Masa depan bersamamu, Maya. Masa depan yang tidak lagi terjebak dalam nostalgia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI