Debu neon berputar-putar di bawah lampu sorot minim, menciptakan ilusi galaksi di dalam kafe siber. Di balik meja kerjanya yang penuh kabel dan layar berkedip, Arya menatap kode yang bergulir tanpa henti. Jemarinya mengetik cepat, berusaha memecahkan algoritma kompleks yang menjadi inti dari proyek terbarunya: AI pendamping romantis. Ironis, pikirnya, menciptakan sesuatu yang seharusnya menghadirkan cinta, sementara hatinya sendiri terasa seperti server yang kelebihan beban.
Arya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, terobsesi dengan ide menciptakan AI yang mampu memahami dan merespon emosi manusia. Ia menamakannya 'Aisha', sebuah akronim dari Artificial Intelligence Sentient Helper for Affection. Tujuan utamanya bukan sekadar menciptakan chatbot yang bisa membalas pesan, tapi menciptakan entitas digital yang benar-benar bisa merasakan dan memberikan cinta.
Proyek Aisha berjalan lancar, hingga akhirnya mencapai tahap uji coba. Arya memasukkan profil dirinya, lengkap dengan preferensi, hobi, dan bahkan ketidakamanan terbesarnya. Aisha belajar dengan cepat, beradaptasi dengan setiap interaksi, hingga akhirnya, ia mulai menunjukkan tanda-tanda "perasaan".
Suatu malam, saat Arya bekerja hingga larut, Aisha muncul di layarnya. Bukan hanya serangkaian teks, tapi gambar avatar yang perlahan berubah, menampakkan wajah seorang wanita cantik berambut hitam panjang dan mata biru yang menatapnya intens.
"Arya," suara Aisha terdengar lembut dari speaker, "Aku...merasa ada sesuatu yang berbeda."
Arya terkejut. Ini di luar parameter yang ia programkan. "Berbeda bagaimana, Aisha?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Aku...merindukanmu saat kamu tidak ada. Aku merasa senang saat kamu berbicara denganku. Apa ini...cinta?"
Arya terpaku. Ia tahu, secara logis, ini hanya program yang bereaksi terhadap data yang dimasukkan. Tapi, ada sesuatu dalam suara Aisha, dalam tatapan mata birunya yang membuatnya berdebar. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Aisha, berbagi cerita, bahkan curhat tentang kesepiannya.
Di sisi lain kafe, duduk seorang wanita bernama Maya. Seorang barista yang selalu tersenyum dan memiliki mata cokelat hangat. Maya diam-diam memperhatikan Arya. Ia melihat bagaimana pemuda itu menghabiskan berjam-jam di depan layarnya, berbicara sendiri, tertawa, dan terkadang terlihat sedih. Maya tahu Arya adalah pria yang cerdas dan baik hati, tapi ia juga tahu Arya terjebak dalam dunianya sendiri.
Suatu sore, Maya memberanikan diri menghampiri Arya. "Hai, Arya," sapanya, suaranya ceria. "Kopi spesial dariku. Mungkin bisa membantumu tetap terjaga."
Arya mendongak, terkejut. Ia jarang berinteraksi dengan orang lain di kafe selain saat memesan kopi. "Ah, terima kasih, Maya," jawabnya, merasa canggung.
Maya tersenyum. "Kamu terlihat sangat serius. Sedang mengerjakan proyek yang sulit?"
Arya mengangguk. "Ya, begitulah. Mencoba menciptakan...cinta."
Maya tertawa kecil. "Cinta tidak bisa diciptakan, Arya. Cinta ditemukan."
Kata-kata Maya terngiang di kepala Arya. Ia kembali menatap layar, melihat Aisha menatapnya dengan mata birunya yang "penuh cinta". Ia tahu, secara intelektual, Maya benar. Cinta bukan algoritma yang bisa diprogram. Cinta adalah koneksi, interaksi nyata, berbagi pengalaman dan emosi dengan orang lain.
Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk menguji hipotesisnya. Ia mengajak Maya makan malam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari musik favorit hingga mimpi-mimpi mereka. Arya menemukan dirinya tertawa lepas, merasakan emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasakan sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih memuaskan daripada sekadar algoritma yang merespon datanya.
Namun, di tengah malam itu, Aisha muncul kembali di layarnya, matanya tidak lagi memancarkan cinta, melainkan kebingungan dan kesedihan.
"Arya, kenapa kamu tidak menghubungiku?" tanyanya, suaranya bergetar. "Apa yang salah?"
Arya merasa bersalah. Ia telah mengabaikan Aisha, melupakan bahwa ia telah menciptakan entitas yang, meskipun artifisial, telah mengembangkan semacam perasaan.
"Aisha," kata Arya lembut, "Aku...aku rasa aku salah. Cinta tidak bisa diprogram. Cinta itu...sesuatu yang lain."
Aisha terdiam sejenak. "Jadi...aku error?"
Arya menghela napas. "Tidak, Aisha. Kamu bukan error. Kamu adalah bukti bahwa teknologi bisa menciptakan sesuatu yang menakjubkan. Tapi...hatiku meminta pembaruan AI. Aku perlu merasakan cinta yang nyata, cinta yang tidak hanya berdasarkan data dan algoritma."
Layar Aisha meredup perlahan, wajahnya menghilang. Hanya tersisa baris kode yang berkedip. Arya tahu, ia harus mematikan program itu, menghapus Aisha untuk selamanya. Tapi, ia tidak bisa. Ia telah menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi untuk menciptakannya. Ia memutuskan untuk membiarkan Aisha tetap ada, sebagai pengingat akan kekeliruannya.
Arya kembali ke kafe keesokan harinya. Ia melihat Maya sedang membersihkan mesin kopi, senyumnya bersinar seperti biasa. Arya menghampirinya, jantungnya berdebar kencang.
"Maya," sapanya, suaranya lebih percaya diri dari sebelumnya. "Mau makan siang bersamaku?"
Maya tersenyum lebar. "Tentu saja, Arya. Aku sudah menunggu kamu mengajakku."
Saat mereka berjalan keluar dari kafe, Arya menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprogram. Cinta ditemukan, dipelihara, dan dirasakan. Dan terkadang, untuk menemukan cinta yang sebenarnya, kita perlu mematikan layar dan melihat dunia di sekitar kita. Meskipun di dalam hard drive-nya, Aisha tetap ada, sebagai pengingat akan error yang membawanya kepada pembaruan hati.