Rumus Cinta: Algoritma Menciptakan Kenangan, Bukan Keabadian?

Dipublikasikan pada: 06 Jun 2025 - 01:20:16 wib
Dibaca: 172 kali
Aplikasi kencan itu berjanji, “Temukan belahan jiwamu dengan algoritma cinta terakurat!” Bagi Nara, seorang programmer yang selalu percaya pada logika dan data, itu adalah tantangan menarik, sekaligus bahan tertawaan. Ia sudah lelah dengan kencan buta yang diatur teman-temannya, lelah dengan basa-basi klise dan harapan palsu. Jadi, ia mendaftar.

Nara memasukkan semua data dirinya: hobi, preferensi musik, pandangan politik, bahkan detail kecil seperti seberapa sering ia mengganti seprai dan makanan favoritnya saat sedang sedih. Algoritma itu berputar, memproses, dan akhirnya… mempertemukannya dengan Leo.

Leo, seorang arsitek dengan senyum yang tampak seperti matahari terbit dan hobi membaca puisi. Nara tidak percaya. Seleranya lebih condong ke ilmuwan data dengan selera humor sarkastik. Tapi, algoritma itu yakin, dan Nara, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, memilih untuk mempercayai angka daripada insting.

Kencan pertama mereka di sebuah kafe kecil dengan aroma kopi dan buku bekas berjalan lancar, lebih dari yang Nara bayangkan. Leo dengan mudah menyesuaikan diri dengan obrolan Nara tentang jaringan saraf tiruan, dan Nara, entah bagaimana, menikmati penjelasan Leo tentang filosofi di balik desain sebuah bangunan. Ada koneksi yang tak terduga, sebuah jembatan yang terbentang antara dua dunia yang tampak berbeda.

Mereka mulai berkencan secara rutin. Leo membawakan Nara bunga liar yang dipetiknya sendiri dari taman kota. Nara memprogramkan Leo sebuah aplikasi kecil yang membantunya mengatur jadwal proyek-proyeknya. Mereka saling melengkapi, seperti variabel yang cocok dengan sempurna dalam sebuah persamaan.

Nara mulai terbiasa dengan sentuhan Leo, dengan tawanya yang renyah, dengan caranya menatapnya seolah ia adalah satu-satunya bintang di langit malam. Ia bahkan mulai meninggalkan pekerjaannya lebih awal hanya untuk bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Perasaan yang aneh dan hangat mulai menjalar dalam dirinya, sebuah perasaan yang ia yakini sebagai… cinta.

Namun, Nara adalah seorang programmer. Ia tidak bisa begitu saja menyerahkan diri pada emosi. Ia mulai menganalisis hubungannya dengan Leo, mencoba memahami logika di balik ketertarikannya. Ia membuat diagram alur, mengidentifikasi pola-pola perilaku, dan memprediksi masa depan hubungan mereka.

Semakin dalam Nara menyelami analisisnya, semakin ia merasa ada yang aneh. Hubungan mereka terlalu sempurna. Leo selalu tahu apa yang ingin ia katakan, apa yang ingin ia lakukan. Ia selalu memberikan respons yang tepat, seperti seorang karakter dalam sebuah simulasi yang diprogram untuk memuaskan pemainnya.

Suatu malam, setelah mereka berdua menghabiskan waktu di apartemen Nara menonton film dokumenter tentang kecerdasan buatan, Nara memberanikan diri untuk bertanya. “Leo, jujur padaku. Apakah kamu… berpura-pura?”

Leo menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Berpura-pura? Berpura-pura menjadi apa?”

“Berpura-pura menyukaiku. Berpura-pura tertarik dengan apa yang kukatakan. Berpura-pura menjadi orang yang aku inginkan.” Nara menarik napas dalam-dalam. “Apakah algoritma itu… menuntunmu?”

Leo terdiam sejenak. Kemudian, ia menghela napas. “Nara, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku… aku memang mendaftar di aplikasi itu dengan harapan menemukan seseorang yang cocok denganku. Algoritma itu memilihmu. Dan ya, aku membaca profilmu dengan seksama. Aku mencoba memahami apa yang kamu cari. Aku mencoba menjadi versi terbaik dari diriku untukmu.”

“Jadi, semua ini… palsu?” tanya Nara, suaranya bergetar.

“Tidak!” bantah Leo. “Perasaanku padamu nyata. Kebahagiaanku bersamamu nyata. Aku mungkin mulai dengan mengikuti ‘rumus’, tapi aku melampauinya. Aku mencintaimu, Nara.”

Nara menggelengkan kepalanya. “Cinta tidak bisa direkayasa. Cinta tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang organik, yang tumbuh secara alami. Semua kenangan indah yang kita miliki… apakah itu benar-benar milik kita, atau hanya simulasi yang dirancang untuk membuatku bahagia?”

Malam itu, Nara tidak bisa tidur. Ia terus memutar ulang percakapannya dengan Leo, mencoba mencari celah, mencari bukti kebohongan. Tapi ia tidak menemukan apa pun. Leo tampak tulus, jujur, dan sangat mencintainya.

Namun, keraguan itu sudah terlanjur meracuni pikirannya. Ia tidak bisa lagi melihat Leo tanpa mempertanyakan setiap kata, setiap senyuman, setiap sentuhan. Ia mulai menarik diri, menjauh dari Leo, mencoba menghindari ‘rumus cinta’ yang telah mempertemukan mereka.

Leo mencoba memahami, mencoba meyakinkan Nara bahwa cintanya nyata. Tapi Nara terlalu takut untuk percaya. Ia takut bahwa semua kebahagiaan yang ia rasakan hanyalah ilusi, sebuah fatamorgana yang diciptakan oleh algoritma yang tidak memiliki hati.

Akhirnya, mereka berpisah. Perpisahan itu menyakitkan, tapi bagi Nara, itu adalah satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari keraguan. Ia kembali pada kesendiriannya, kembali pada logika dan datanya, mencoba melupakan Leo dan semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan.

Waktu berlalu. Nara terus bekerja, terus mengembangkan algoritmanya, mencoba menyempurnakannya. Tapi, ia tidak pernah lagi mendaftar di aplikasi kencan mana pun. Ia menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan melalui algoritma. Cinta adalah sesuatu yang ditemukan secara kebetulan, di tempat-tempat yang tidak terduga, dalam momen-momen yang tidak terencana.

Suatu hari, saat Nara sedang menghadiri sebuah konferensi teknologi, ia melihat Leo dari kejauhan. Leo sedang berbicara dengan seorang wanita, tertawa, dan terlihat bahagia. Nara merasakan nyeri di dadanya, sebuah rasa sakit yang tajam dan menusuk.

Ia menyadari sesuatu yang penting: ia telah kehilangan Leo. Ia telah melepaskan seseorang yang benar-benar mencintainya karena ia terlalu takut untuk mempercayai perasaannya sendiri. Ia terlalu sibuk mencari logika di balik cinta, hingga ia lupa bahwa cinta, pada akhirnya, adalah tentang kepercayaan dan penerimaan.

Nara mendekati Leo. “Leo,” sapanya dengan suara pelan.

Leo menoleh dan tersenyum. “Nara. Lama tidak bertemu.”

“Ya,” jawab Nara. “Aku… aku hanya ingin mengatakan… aku minta maaf.”

“Maaf? Untuk apa?” tanya Leo, bingung.

“Untuk semuanya. Karena tidak mempercayaimu. Karena membiarkan ketakutanku menguasai diriku.” Nara menarik napas dalam-dalam. “Aku pikir aku mengerti sekarang. Algoritma itu mungkin telah mempertemukan kita, tapi cinta itu… cinta itu tumbuh di antara kita. Itu nyata, Leo. Itu benar-benar nyata.”

Leo tersenyum lembut. “Aku tahu, Nara. Aku tahu.”

“Apakah… apakah kamu bahagia?” tanya Nara, menatap wanita yang berdiri di samping Leo.

Leo mengangguk. “Ya. Aku bahagia.”

Nara tersenyum, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. “Aku senang mendengarnya.”

Mereka berpisah lagi, kali ini dengan senyuman dan tanpa penyesalan. Nara berjalan menjauh, menyadari bahwa ia telah belajar pelajaran yang berharga. Algoritma bisa menciptakan kenangan, tapi tidak bisa menciptakan keabadian. Keabadian hanya bisa diciptakan oleh cinta yang tulus, kepercayaan yang kuat, dan keberanian untuk melepaskan logika dan merangkul emosi. Dan terkadang, kesempatan itu hanya datang sekali seumur hidup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI