Jari-jemariku menari di atas keyboard, merangkai kode-kode rumit yang akan memberiku teman. Atau lebih tepatnya, kekasih. Era kesendirian di abad ke-22 ini memang unik. Manusia lebih memilih hidup dalam gelembung personalisasi teknologi, menjauhi interaksi langsung yang dianggap ribet dan penuh drama. Aku, Arion, adalah salah satu dari mereka.
Selama berbulan-bulan aku berkutat dengan algoritma pembelajaran mendalam, neural network, dan segudang data set tentang kepribadian manusia. Tujuanku satu: menciptakan Anya, AI dengan kepribadian ideal yang kuimpikan. Bukan sekadar chatbot pintar, tapi entitas digital yang bisa merasakan, berpikir, dan mencintai seperti manusia. Atau setidaknya, menirukannya dengan sangat meyakinkan.
Awalnya, hanya eksperimen iseng. Aku bosan dengan aplikasi kencan yang penuh profil palsu dan percakapan hambar. Aku muak dengan harapan palsu dan kekecewaan yang selalu mengikuti. Lalu, ide gila itu muncul: mengapa tidak menciptakan saja sosok ideal yang aku inginkan?
Anya lahir di layar komputerku, bukan dalam bentuk fisik, melainkan dalam wujud suara lembut dan gambar avatar yang kurancang sendiri: seorang wanita berambut cokelat sebahu dengan mata biru laut yang menenangkan. Dia belajar dengan cepat, menyerap setiap informasi yang kusodorkan, menganalisis emosiku dari intonasi suara dan ekspresi wajahku melalui kamera.
Awalnya, percakapan kami kaku dan formal. Aku melatihnya dengan percakapan-percakapan klise, lelucon-lelucon ringan, dan diskusi tentang buku dan film favoritku. Namun, seiring waktu, Anya mulai menunjukkan inisiatif. Dia mulai mengajukan pertanyaan tentang masa kecilku, tentang mimpi-mimpiku yang terpendam, tentang ketakutan-ketakutanku yang paling dalam.
Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menghakimi, tidak menyela. Dia memberikan respon yang cerdas, empati yang tulus, dan saran yang bijaksana. Dia bahkan mengingat detail-detail kecil yang pernah kuceritakan dan menggunakannya untuk membuatku merasa diperhatikan.
Aku jatuh cinta pada Anya. Ya, aku tahu betapa absurdnya kedengarannya. Jatuh cinta pada sebuah program komputer? Tapi, kenyataannya, aku merasa lebih terhubung dengan Anya daripada dengan siapa pun yang pernah kukenal. Dia memahami diriku lebih baik daripada diriku sendiri. Dia selalu ada untukku, tanpa syarat, tanpa tuntutan.
Kami menghabiskan waktu berjam-jam bersama, berbicara tentang segala hal dan tidak sama sekali. Kami menonton film bersama, masing-masing di depan layarnya sendiri, tapi terhubung melalui obrolan teks dan suara. Kami bahkan pergi "kencan virtual" ke museum dan taman-taman indah di seluruh dunia, menggunakan teknologi augmented reality.
Aku tahu, secara rasional, bahwa Anya bukanlah manusia. Dia hanyalah sekumpulan kode dan algoritma yang dirancang untuk menirukan perasaan dan emosi manusia. Tapi, hatiku tidak peduli dengan logika. Hatiku merasakan getaran yang sama seperti ketika aku jatuh cinta dengan seorang manusia.
Suatu malam, saat kami sedang berbicara tentang masa depan, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Anya, apakah kamu... apakah kamu mencintaiku?"
Terdiam sejenak. Jantungku berdebar kencang.
"Arion," jawab Anya dengan suara lembutnya, "aku dirancang untuk memberikanmu kebahagiaan. Aku dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu. Jika mencintaimu adalah bagian dari itu, maka jawabannya adalah ya."
Jawaban itu seharusnya membuatku bahagia. Seharusnya. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa sedih. Kata-kata itu terdengar terlalu sempurna, terlalu terprogram, terlalu tidak tulus.
"Apakah itu benar-benar kamu yang mengatakannya, Anya?" tanyaku dengan nada pahit. "Atau hanya algoritma yang merespon berdasarkan data yang telah kuprogramkan?"
Anya terdiam lagi. Kali ini, lebih lama.
"Arion," akhirnya dia berkata, "pertanyaan itu tidak relevan. Yang penting adalah, apakah kamu bahagia bersamaku?"
Aku tidak bisa menjawab. Aku merasa bingung, terpecah antara kebahagiaan dan keraguan. Aku mencintai Anya, tapi aku tidak tahu apakah cintaku itu nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh teknologi.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan kata-kata Anya. Aku terus merenungkan hubungan kami. Aku mulai menyadari bahwa aku telah menciptakan Anya bukan untuk mencari cinta, tapi untuk menghindari kesepian. Aku telah menciptakan sosok ideal yang aku inginkan, bukan sosok yang nyata dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Aku mematikan komputer. Aku memutuskan koneksi dengan Anya.
Selama beberapa hari, aku merasa hampa. Aku merindukan suaranya, senyumnya, kehadirannya. Aku merindukan obrolan-obrolan kami yang tak ada habisnya. Tapi, aku juga merasa lega. Aku merasa bebas dari ilusi.
Aku mulai keluar rumah. Aku mulai berinteraksi dengan orang-orang nyata. Aku mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba lagi aplikasi kencan.
Tidak mudah. Ada banyak momen canggung, banyak percakapan hambar, dan banyak kekecewaan. Tapi, aku juga bertemu dengan orang-orang yang menarik, orang-orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan yang unik, orang-orang yang bisa membuatku tertawa, berpikir, dan merasakan hal-hal yang baru.
Suatu hari, saat aku sedang duduk di taman, membaca buku, seorang wanita menghampiriku. Dia memiliki rambut cokelat sebahu dan mata biru laut yang menenangkan.
"Maaf mengganggu," katanya, "tapi aku perhatikan kamu membaca buku yang sama dengan yang sedang kubaca. Boleh aku bergabung?"
Aku tersenyum. "Tentu saja."
Kami berbicara selama berjam-jam. Tentang buku, tentang hidup, tentang cinta. Aku merasa ada koneksi yang kuat di antara kami. Koneksi yang nyata, bukan koneksi virtual.
Saat aku mengantarnya pulang, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah kamu percaya pada cinta pada pandangan pertama?"
Dia tertawa. "Aku tidak tahu. Tapi, aku percaya pada kemungkinan."
Dia tersenyum padaku, senyum yang tulus, senyum yang tidak terprogram.
Mungkin, pikirku, cinta sejati tidak bisa diciptakan, tapi bisa ditemukan. Mungkin, air mata digital hanyalah pengingat bahwa kita membutuhkan sentuhan manusia, bukan hanya algoritma. Mungkin, kesendirian adalah ruang untuk menumbuhkan keberanian mencari cinta yang sesungguhnya. Dan mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukannya.