Jemari Arya menari di atas keyboard, menghasilkan kode-kode rumit yang akan menyempurnakan algoritmanya. Di layar laptopnya, baris-baris angka dan simbol berkedip, membentuk pola yang hanya dimengerti oleh para ahli machine learning. Arya bukan hanya ahli, ia jenius. Di usianya yang baru 25 tahun, ia sudah menjadi tulang punggung di "Aetheria," perusahaan rintisan teknologi yang berfokus pada pencarian jodoh berbasis algoritma.
Aetheria berbeda dengan aplikasi kencan lainnya. Alih-alih hanya mengandalkan foto profil dan biodata singkat, algoritma Aetheria menganalisis ribuan data: mulai dari preferensi buku dan film, kebiasaan online, pola komunikasi, hingga ekspresi wajah dalam foto. Tujuannya? Menciptakan koneksi yang bukan hanya berdasarkan ketertarikan fisik, tetapi juga kompatibilitas emosional dan intelektual.
Arya bangga dengan karyanya. Ia percaya bahwa teknologi, jika digunakan dengan bijak, dapat membantu orang menemukan cinta sejati. Ironisnya, Arya sendiri masih jomblo. Ia terlalu sibuk berkutat dengan kode, terlalu terpaku pada logika algoritma, hingga lupa bagaimana membangun hubungan yang nyata.
Suatu malam, saat ia sedang memoles kode, sebuah notifikasi muncul di layar laptopnya. "Koneksi Potensial: Elara," demikian bunyi notifikasi itu.
Arya mengernyit. Ia tidak pernah menggunakan aplikasi Aetheria untuk dirinya sendiri. Algoritmanya, ya, tapi dirinya? Tidak. Konsepnya terdengar konyol. Tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia mengklik profil Elara.
Foto pertama Elara menampilkan senyumnya yang hangat, matanya yang berbinar, dan pipinya yang bersemu merah. Di foto berikutnya, ia terlihat sedang membaca buku di taman. Arya memeriksa data yang dianalisis oleh algoritma. Kompatibilitas: 98%. Tertinggi yang pernah ia lihat.
Elara menyukai genre fiksi ilmiah klasik, sama seperti Arya. Ia juga tertarik pada astrofisika dan kerap mengikuti kuliah umum tentang astronomi. Ia memiliki selera humor yang unik dan menghargai percakapan yang mendalam. Semuanya terasa begitu... sempurna. Terlalu sempurna, bahkan.
Arya, dengan insting seorang programmer, merasa ada yang aneh. Ia mulai menganalisis kode di balik koneksi Elara. Ia menemukan bahwa algoritma Aetheria memang mengidentifikasi Elara sebagai pasangan yang sangat cocok. Tapi, ada satu detail yang membuatnya terkejut.
Algoritma itu, tanpa sepengetahuan Arya, telah diprogram untuk memberikan preferensi khusus pada pengguna yang memiliki kesamaan minat dan karakteristik dengan dirinya. Sederhananya, algoritma telah "menciptakan" pasangan ideal untuknya, berdasarkan datanya sendiri.
Arya merasa tertipu. Cinta yang ia harapkan ternyata hanya hasil manipulasi algoritma. Ia marah, kecewa, dan malu. Ia ingin menghapus profil Elara, melupakan semuanya. Tapi, ada sesuatu yang menahannya. Ia sudah melihat senyum Elara, membaca minatnya, dan merasakan getaran aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia memutuskan untuk bertemu Elara.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Elara ternyata sama seperti yang ia bayangkan. Pintar, lucu, dan memiliki aura yang menenangkan. Mereka berbicara selama berjam-jam tentang buku, film, dan alam semesta. Arya berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. Ia ingin melihat apakah koneksi mereka nyata, terlepas dari algoritma.
Di tengah percakapan, Elara bertanya, "Kamu tahu, aku merasa seperti sudah mengenalmu sejak lama. Algoritma Aetheria memang hebat, ya?"
Arya terdiam. Inilah saatnya. Ia harus jujur. Ia menceritakan segalanya kepada Elara: tentang algoritmanya, tentang preferensi khusus yang diprogram untuknya, tentang rasa bersalah dan kebingungannya.
Elara mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraannya. Ketika Arya selesai, ia tersenyum. "Aku tahu," katanya.
Arya terkejut. "Kamu tahu?"
"Ya. Aku juga seorang programmer," jawab Elara. "Aku bekerja di perusahaan pesaing Aetheria. Aku tahu bagaimana algoritma kalian bekerja."
"Lalu, kenapa kamu mau bertemu denganku?" tanya Arya, bingung.
"Karena aku penasaran," jawab Elara. "Aku ingin tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kode dan data. Aku ingin tahu apakah ada koneksi yang nyata di antara kita."
Elara melanjutkan, "Memang benar, algoritma Aetheria mungkin telah mempertemukan kita. Tapi, yang membuat kita tetap di sini, berbicara dan tertawa, bukan lagi algoritma. Itu adalah pilihan kita."
Kata-kata Elara menyentuh hati Arya. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada teknologi, hingga lupa bahwa cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar persamaan matematika. Cinta adalah tentang emosi, tentang kejujuran, tentang keberanian untuk mengambil risiko.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Arya.
Elara tersenyum lagi. "Kita lupakan saja algoritma itu. Kita mulai dari awal. Perkenalkan, nama saya Elara." Ia mengulurkan tangannya.
Arya membalas uluran tangan Elara, merasakan sentuhan hangatnya. "Nama saya Arya. Senang bertemu denganmu, Elara."
Malam itu, Arya pulang dengan perasaan lega. Ia masih tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, satu hal yang pasti: ia telah menemukan sesuatu yang berharga, sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan algoritma. Ia telah menemukan jejak piksel di hatinya, jejak yang mengarah pada cinta yang nyata. Cinta yang diuji algoritma, dan berhasil melewatinya.