Hujan deras mengetuk jendela kafe, iramanya seolah selaras dengan denting jemariku di atas keyboard. Aku, Anya, seorang programmer lepas, sedang berjuang melawan bug yang entah mengapa selalu muncul di saat-saat genting. Proyek ini, aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan, adalah harapan terbesarku untuk lepas dari jeratan pekerjaan serabutan. Ironisnya, aku, si pembuat algoritma cinta, justru kesulitan menemukan cinta untuk diriku sendiri.
Di layar laptop, baris-baris kode menari, berusaha menyatukan preferensi, minat, dan bahkan sedikit aspek kepribadian menjadi sebuah formula yang akurat. Aplikasi ini akan menjanjikan kecocokan sempurna, menghindari kencan-kencan canggung yang kerap kali berujung kekecewaan. Aku menelan ludah, mengingat deretan kencan online yang gagal, membuktikan bahwa cinta sejati tidak bisa direduksi menjadi serangkaian data.
“Masih berkutat dengan algoritma cinta?” sapa sebuah suara familiar.
Aku mendongak, mendapati Rio, teman sekelasku di jurusan Teknik Informatika dulu, berdiri di hadapanku sambil tersenyum. Rio, dengan rambut sedikit berantakan dan kacamata yang selalu melorot, adalah definisi seorang kutu buku. Tapi, di balik penampilannya yang sederhana, tersimpan kecerdasan dan humor yang selalu berhasil membuatku tertawa.
“Entahlah, Rio. Rasanya aku sedang berusaha memecahkan kode yang tidak bisa dipecahkan,” jawabku sambil menghela napas.
Rio menarik kursi dan duduk di hadapanku. “Kau tahu, Anya, cinta itu bukan tentang algoritma. Itu tentang koneksi, tentang merasa nyaman menjadi diri sendiri di dekat seseorang.”
Aku mengangkat alis. “Mudah sekali kau mengatakannya. Kau sendiri bagaimana?”
Rio tersenyum tipis. “Aku? Aku lebih suka menikmati prosesnya. Biarkan semesta yang bekerja. Lagipula, mencari cinta dengan aplikasi buatan sendiri terasa… sedikit curang, bukan?”
Kami tertawa. Percakapan dengan Rio selalu terasa ringan, seolah beban pekerjaanku sedikit terangkat. Kami membahas banyak hal, mulai dari perkembangan teknologi terbaru hingga kenangan-kenangan masa kuliah yang lucu. Tanpa sadar, hujan mulai mereda, dan matahari sore mulai mengintip di antara awan.
“Aku harus kembali bekerja,” ujarku akhirnya, merasa sedikit menyesal harus mengakhiri percakapan ini.
“Oke. Semangat ya, Anya. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri,” balas Rio sambil mengedipkan mata.
Sepanjang malam, kata-kata Rio terus terngiang di benakku. Algoritma, koneksi, menjadi diri sendiri… Aku mulai berpikir ulang tentang aplikasi buatanku. Apa gunanya menciptakan sebuah sistem yang menjanjikan kesempurnaan, jika justru mengabaikan esensi dari cinta itu sendiri?
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengubah pendekatan. Aku menambahkan fitur baru pada aplikasi itu, fitur yang memungkinkan pengguna untuk berbagi cerita, pengalaman, dan bahkan kelemahan mereka. Aku ingin menciptakan ruang di mana orang bisa menjadi diri mereka sendiri, tanpa harus merasa tertekan untuk memenuhi standar kesempurnaan yang dibuat oleh algoritma.
Prosesnya memakan waktu dan energi, tetapi aku merasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Aku merasa sedang membangun sesuatu yang benar-benar bermakna, sesuatu yang bisa membantu orang menemukan cinta dengan cara yang lebih autentik.
Suatu malam, saat sedang menguji coba fitur baru, aku menemukan sebuah profil menarik. Profil itu milik seorang pria bernama… Rio.
Aku terkejut. Aku tahu Rio tidak tertarik dengan aplikasi kencan, apalagi aplikasi buatanku. Aku mengklik profilnya dan membaca setiap baris dengan saksama. Rio menulis tentang kecintaannya pada buku, kegemarannya pada film sci-fi klasik, dan mimpinya untuk menciptakan teknologi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Di bagian “Kisahku,” Rio menulis tentang perasaannya terhadap seorang teman lama, seorang programmer yang selalu berusaha keras mewujudkan mimpinya. Ia mengagumi kecerdasan, keteguhan, dan kebaikan hatinya. Ia juga mengakui bahwa ia takut untuk mengungkapkan perasaannya, khawatir akan merusak persahabatan yang telah lama terjalin.
Jantungku berdegup kencang. Aku tahu, ini tentang aku.
Tanpa pikir panjang, aku mengirimkan pesan kepada Rio melalui aplikasi itu. Pesan singkat, tetapi penuh makna.
“Aku juga menyukaimu, Rio.”
Beberapa menit kemudian, teleponku berdering. Itu Rio.
“Anya…” suaranya terdengar gugup.
“Rio…” balasku, tersenyum lebar.
Kami berbicara selama berjam-jam, mengungkapkan perasaan yang selama ini kami pendam. Kami tertawa, menangis, dan berbagi mimpi. Malam itu, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan di antara baris kode. Cinta sejati ada di dalam hati, menunggu untuk diungkapkan, menunggu untuk terhubung.
Aku masih terus mengembangkan aplikasi kencan buatanku, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Aku tidak lagi berusaha menciptakan algoritma yang menjanjikan kesempurnaan. Aku ingin menciptakan platform yang memfasilitasi koneksi, yang mendorong orang untuk menjadi diri mereka sendiri, dan yang memberi mereka keberanian untuk mencari cinta di tempat yang tidak terduga.
Dan aku tahu, aku telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga, di antara percakapan sederhana, di balik kacamata yang selalu melorot, di dalam hati seorang teman lama. Algoritma jiwa, ternyata, tidak serumit yang kubayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk membuka diri dan membiarkan cinta menemukan jalannya.