Deretan kode itu menari di layar monitornya, membentuk pola-pola rumit yang hanya bisa dipahami oleh otaknya. Di balik kacamata berbingkai tebal, mata Aria menyipit, fokus memecahkan bug yang bandel. Aplikasi kencan buatannya, "Soulmate Algorithm," seharusnya sudah sempurna. Janjinya sederhana: menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma kepribadian yang canggih. Ironisnya, ia sendiri, sang pencipta, masih saja kesepian.
Aria menghela napas. Sudah hampir tiga tahun ia berkutat dengan proyek ini. Tujuannya awalnya murni ilmiah: membuktikan bahwa cinta, yang selama ini dianggap misteri, bisa dipetakan dan dianalisis. Namun, semakin dalam ia menyelami algoritma, semakin terasa hampa hatinya. Ia melihat orang-orang di sekitarnya menemukan kebahagiaan melalui aplikasi buatannya, sementara ia hanya menjadi penonton.
"Masih lembur, Aria?" Suara berat itu mengejutkannya. Arya mendongak, mendapati sosok Galih berdiri di ambang pintu ruangannya. Galih, rekan kerjanya sekaligus sahabatnya sejak masa kuliah. Ia adalah otak di balik desain visual Soulmate Algorithm.
"Ada bug kecil, Galih. Sepertinya sistem terlalu perfeksionis. Menolak mencocokkan profil yang tidak sempurna," jawab Aria, menyunggingkan senyum tipis.
Galih terkekeh. "Mirip dengan penciptanya," godanya. "Mungkin algoritma ini perlu sedikit sentuhan 'ketidaksempurnaan'. Manusia kan memang tidak ada yang sempurna."
Ucapan Galih menohok hatinya. Ia memang terlalu perfeksionis. Dalam pekerjaan, dalam hidup, dan terutama, dalam urusan cinta. Ia selalu memiliki daftar kriteria yang panjang dan detail tentang pria ideal. Akibatnya, banyak pria potensial yang gugur sebelum sempat mendekat.
"Bagaimana denganmu? Apa algoritma sudah menemukan jodoh untukmu?" tanya Aria, berusaha mengalihkan topik.
Galih menggaruk-garuk kepalanya. "Belum. Aplikasi ini terlalu pintar untukku. Sepertinya aku tidak memenuhi kriterianya sendiri."
Mereka berdua tertawa. Keakraban yang terjalin selama bertahun-tahun membuat suasana di antara mereka selalu nyaman dan hangat. Aria menyadari, selama ini, ia selalu merasa tenang saat bersama Galih. Namun, ia tidak pernah mempertimbangkan Galih sebagai lebih dari sekadar sahabat.
Keesokan harinya, Aria memutuskan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya. Ia mengunjungi sebuah kedai kopi kecil di dekat kantornya. Biasanya, ia selalu membuat kopi sendiri di kantor, demi efisiensi dan hemat biaya. Namun, hari ini, ia ingin mencoba hal baru.
Di kedai kopi itu, ia bertemu dengan seorang pria bernama Rian. Rian adalah seorang musisi jalanan yang sedang mencoba peruntungannya di Jakarta. Mereka terlibat percakapan yang menarik tentang musik, seni, dan mimpi. Rian memiliki aura yang berbeda dari pria-pria yang pernah ditemuinya. Ia tidak sempurna, bahkan cenderung berantakan. Tapi, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian Aria.
Selama beberapa minggu berikutnya, Aria sering bertemu dengan Rian di kedai kopi. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan saling mendukung. Aria mulai menyadari bahwa ia tidak perlu mencari pria yang sempurna secara algoritma. Ia hanya perlu mencari seseorang yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia.
Namun, perasaannya terhadap Rian membuatnya bimbang. Ia merasa bersalah karena telah menciptakan aplikasi kencan yang didasarkan pada algoritma kepribadian. Apakah ia munafik jika ia jatuh cinta pada seseorang yang tidak sesuai dengan kriteria idealnya sendiri?
Suatu malam, Aria dan Galih sedang bekerja lembur di kantor. Aria menceritakan tentang Rian kepada Galih. Ia mengungkapkan kebingungannya dan keraguannya.
Galih mendengarkan dengan sabar. Setelah Aria selesai bercerita, Galih berkata, "Aria, algoritma yang kamu buat memang canggih. Tapi, algoritma tidak bisa merasakan cinta. Cinta itu kompleks, tidak bisa diprediksi, dan seringkali irasional. Kamu tidak bisa memaksakan cinta sesuai dengan formula tertentu."
Aria terdiam. Kata-kata Galih membuatnya tersadar. Ia selama ini terlalu fokus pada logika dan analisis, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Aria, lirih.
Galih tersenyum. "Ikuti kata hatimu, Aria. Abaikan algoritma. Biarkan cinta membawamu ke mana pun ia ingin membawamu."
Aria menatap Galih. Ia melihat ketulusan dan dukungan di mata Galih. Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perhatiannya. Ia selama ini terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah, sehingga melupakan seseorang yang selalu ada di dekatnya.
"Galih..." Aria menggantungkan kalimatnya. Ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya.
Galih meraih tangannya. "Aku tahu, Aria. Aku sudah lama menyukaimu."
Aria terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Galih memiliki perasaan yang sama. "Aku juga menyukaimu, Galih. Maafkan aku karena selama ini aku tidak menyadarinya."
Mereka berdua saling berpandangan. Di mata masing-masing, mereka melihat cinta dan kebahagiaan. Aria menyadari bahwa ia telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga, di antara pixel-pixel yang hilang dan baris-baris kode yang rumit. Ia telah menemukan cinta dalam diri sahabatnya sendiri.
Aria akhirnya memutuskan untuk memberikan kesempatan pada Rian. Ia jujur tentang perasaannya dan kebingungannya. Rian memahami dan menghargai kejujurannya. Mereka berpisah secara baik-baik.
Aria dan Galih memulai hubungan mereka dengan perlahan. Mereka saling belajar, saling mendukung, dan saling mencintai. Aria menyadari bahwa cinta tidak selalu tentang kesempurnaan. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang tumbuh bersama, dan tentang saling melengkapi.
Soulmate Algorithm tetap menjadi aplikasi kencan yang sukses. Namun, bagi Aria, algoritma itu hanyalah sebuah alat. Ia telah menemukan bahwa cinta sejati tidak bisa diprediksi atau dianalisis. Cinta sejati adalah tentang perasaan, tentang koneksi, dan tentang keberanian untuk mengikuti kata hati. Dan, ia akhirnya, menemukan algoritmanya sendiri. Algoritma hati yang membawanya pada cinta yang sejati.