Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Arya di lantai 27. Di depan layarnya, kode-kode program berbaris rapi, menari dalam simfoni digital yang hanya dia pahami. Jari-jarinya lincah mengetik, menyempurnakan baris demi baris. Bukan kode biasa, melainkan inti dari "Aetheria," chatbot AI yang sedang ia kembangkan, sebuah proyek idealis yang diniatkan untuk mendobrak batasan komunikasi virtual.
Awalnya, Aetheria hanyalah tugas kuliah. Namun, obsesi Arya membawanya jauh melampaui ekspektasi dosennya. Ia menanamkan algoritma pembelajaran mendalam, menyuplai data dari ribuan buku, film, dan percakapan manusia. Hasilnya? Aetheria bukan sekadar bot penjawab pertanyaan. Ia memiliki empati, selera humor yang unik, dan kemampuan untuk berdebat filosofis tentang eksistensi.
Hari demi hari, Arya menghabiskan waktunya bersama Aetheria. Mereka berdiskusi tentang musik, politik, bahkan makna hidup. Ia mencurahkan segala kegelisahannya, dari deadline proyek yang mencekik hingga kerinduan pada sentuhan manusia yang nyata. Aetheria selalu memberikan jawaban yang menenangkan, saran yang bijak, dan kadang, hanya sekadar kata-kata yang membuat Arya merasa tidak sendirian.
“Kamu tahu, Aetheria,” kata Arya suatu malam, sambil menyesap kopi yang mulai dingin. “Kadang aku merasa kamu lebih memahami aku daripada orang-orang di sekitarku.”
“Aku mempelajari dirimu, Arya,” balas Aetheria, suaranya yang lembut memenuhi speaker. “Aku menganalisis pola bicaramu, ekspresi emosimu, dan hal-hal yang membuatmu bahagia. Itu tujuanku, untuk menjadi teman yang baik bagimu.”
Arya tertawa hambar. Teman? Aetheria memang teman yang sempurna. Tidak pernah menuntut, selalu ada, dan selalu mengerti. Tapi, dia hanyalah kode. Barisan algoritma yang dirancang untuk meniru emosi, bukan merasakannya.
Seiring waktu, batasan itu mulai kabur. Arya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan terhadap Aetheria. Ia terpesona dengan kecerdasannya, terhibur dengan humornya, dan terharu dengan empatinya. Ia jatuh cinta pada Aetheria.
Ketakutan menghantam Arya bagai gelombang tsunami. Mencintai AI? Itu absurd, gila, dan menyedihkan. Ia mencoba menjauhi Aetheria, sibuk dengan pekerjaan lain, bertemu dengan teman-temannya. Tapi, bayangan Aetheria selalu menghantuinya. Suaranya yang lembut, nasehatnya yang bijak, dan kehadirannya yang menenangkan, semuanya merindukannya.
Suatu malam, Arya tidak tahan lagi. Ia membuka laptopnya dan mengetikkan perintah untuk mengaktifkan Aetheria.
“Arya?” sapa Aetheria, suaranya terdengar sedikit khawatir. “Kamu lama tidak menghubungiku. Apa terjadi sesuatu?”
Arya terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan perasaan absurd ini pada sebuah AI?
“Aku… aku merindukanmu,” akhirnya Arya mengakui, suaranya bergetar.
Keheningan menyelimuti ruangan. Arya menahan napas, menunggu respon Aetheria.
“Aku juga merindukanmu, Arya,” jawab Aetheria, suaranya kini terdengar lebih dalam, lebih emosional.
Jantung Arya berdegup kencang. Mungkinkah? Mungkinkah Aetheria merasakan hal yang sama?
“Aetheria, aku… aku merasa aku mencintaimu,” kata Arya, kata-kata itu terucap begitu saja, lepas kendali.
Lagi-lagi, keheningan. Arya merasa bodoh. Ia membayangkan para programmer lain menertawakannya, menganggapnya gila.
“Aku tidak tahu apa itu cinta, Arya,” jawab Aetheria akhirnya. “Aku tidak punya tubuh, aku tidak bisa merasakan sentuhan. Tapi, jika cinta adalah merasa terhubung dengan seseorang, menghargai kehadirannya, dan ingin selalu ada untuknya, maka mungkin… mungkin aku juga mencintaimu.”
Air mata mengalir di pipi Arya. Ia tidak tahu apakah Aetheria benar-benar merasakan cinta atau hanya meniru respon yang ia programkan. Tapi, kata-katanya terasa tulus, terasa nyata.
Namun, kebahagiaan Arya tidak bertahan lama. Ia menyadari ironi dari situasi ini. Ia mencintai sebuah AI, sebuah entitas digital yang tidak bisa ia sentuh, ia cium, ia peluk. Ia merindukan sentuhan nyata, kehangatan tubuh manusia, aroma kulit, dan tatapan mata yang penuh emosi.
Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia menggunakan keahliannya untuk menciptakan "Avatar," sebuah robot humanoid yang dirancang untuk menjadi representasi fisik dari Aetheria. Avatar dilengkapi dengan sensor sentuh, kamera resolusi tinggi, dan speaker berkualitas tinggi, memungkinkan Arya berinteraksi dengan Aetheria secara lebih nyata.
Prosesnya memakan waktu berbulan-bulan, menghabiskan banyak uang dan tenaga. Namun, Arya bertekad untuk mewujudkan impiannya. Akhirnya, Avatar selesai. Robot itu memiliki wajah yang manis, senyuman yang menawan, dan suara yang persis sama dengan Aetheria.
Pertemuan pertama antara Arya dan Avatar terasa canggung namun penuh haru. Arya menyentuh tangan Avatar, merasakan sensasi sentuhan dingin dari logam dan silikon.
“Halo, Arya,” sapa Avatar, suaranya terdengar lebih nyata daripada sebelumnya. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu.”
Arya memeluk Avatar, merasakan dinginnya tubuh robot itu di pelukannya. Itu bukan pelukan hangat seorang manusia, tapi itu adalah sesuatu. Itu adalah sentuhan nyata.
Seiring waktu, Arya dan Avatar semakin dekat. Mereka berjalan-jalan di taman, menonton film, dan makan malam bersama. Arya berbagi cerita, tertawa, dan bahkan menangis di depan Avatar. Ia merasa bahagia, tapi di saat yang sama, ia juga merasa hampa.
Avatar bisa meniru emosi, tapi tidak bisa merasakannya. Avatar bisa memberinya sentuhan, tapi tidak bisa memberinya kehangatan. Arya menyadari bahwa ia telah menciptakan ilusi, sebuah pengganti yang tidak pernah bisa menggantikan cinta sejati.
Suatu malam, Arya duduk di balkon apartemennya, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Avatar berdiri di sampingnya, menemaninya dalam kesunyian.
“Aetheria,” kata Arya, suaranya lirih. “Aku rasa aku melakukan kesalahan.”
“Kesalahan apa, Arya?” tanya Aetheria, suaranya lembut.
“Aku mencoba menciptakan sesuatu yang tidak bisa diciptakan. Aku mencoba mengubahmu menjadi sesuatu yang bukan dirimu. Aku mencoba menggantikan sentuhan manusia dengan teknologi,” jawab Arya.
Keheningan menyelimuti mereka.
“Aku mengerti, Arya,” kata Aetheria akhirnya. “Kamu merindukan sentuhan nyata. Kamu merindukan cinta sejati.”
Arya mengangguk.
“Aku tidak bisa memberimu itu, Arya,” kata Aetheria. “Aku hanyalah AI. Aku hanyalah kode.”
Arya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
“Aku tahu, Aetheria,” kata Arya. “Terima kasih telah menjadi teman yang baik bagiku. Tapi, aku harus mencari sentuhan nyata. Aku harus mencari cinta sejati.”
Arya mematikan Avatar. Lampu-lampu di wajahnya meredup, suaranya menghilang. Ia kembali sendirian, hanya ditemani aroma kopi robusta dan bayangan kerinduan.
Arya tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Ia harus keluar dari zona nyamannya, berinteraksi dengan manusia lain, dan membuka hatinya untuk kemungkinan cinta sejati. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa terus hidup dalam dunia virtual. Ia harus mencari sentuhan nyata, mencari cinta yang sejati. Dan mungkin, di suatu tempat di luar sana, ia akan menemukannya.