Cinta dalam Genggaman Algoritma: Takdir atau Ilusi AI?

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 23:24:17 wib
Dibaca: 176 kali
Hembusan angin malam dari balkon apartemen menyeruak masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda. Anya menyesap teh chamomile-nya, matanya terpaku pada layar ponsel. Di sana, terpampang profil seorang pria: Arion. Rambutnya ikal gelap, senyumnya menawan, dan minatnya... hampir identik dengan Anya. Semua ini berkat "SoulMate AI", aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan menemukan pasangan jiwa berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak.

Anya skeptis awalnya. Aplikasi kencan selalu mengecewakannya. Pria-pria yang muncul rata-rata hanya tertarik pada penampilan dan percakapan basi. Namun, SoulMate AI berbeda. Ia menawarkan kompatibilitas yang mendalam, resonansi emosional yang dijanjikan membuat jantung Anya berdebar hanya dengan membaca profil Arion.

“Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” gumam Anya, namun jemarinya sudah mengetuk tombol "kirim pesan".

Percakapan mereka mengalir deras, seperti sungai yang menemukan jalannya ke laut. Mereka membahas buku favorit, film independen yang jarang ditonton orang, dan pandangan mereka tentang masa depan teknologi. Arion seolah membaca pikirannya, menyelesaikan kalimat Anya sebelum ia sempat mengucapkannya. Semakin lama mereka berbicara, semakin Anya merasa terhubung. Ini bukan sekadar ketertarikan fisik, ini adalah resonansi jiwa yang ia idam-idamkan.

Setelah seminggu percakapan intens, Arion mengajaknya berkencan. Mereka bertemu di sebuah kafe buku kecil yang nyaman, tersembunyi di jantung kota. Begitu Arion masuk, Anya merasakan sengatan listrik kecil menjalar di tulang belakangnya. Ia persis seperti yang ia bayangkan: hangat, cerdas, dan memiliki mata yang menatapnya seolah ia adalah satu-satunya bintang di galaksi.

Kencan itu luar biasa. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan. Rasanya seperti bertemu teman lama yang telah lama hilang. Ketika Arion mengantarnya pulang, ia meraih tangannya dan menciumnya lembut. Anya merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Ia akhirnya percaya: SoulMate AI mungkin benar. Ia telah menemukan cinta sejati, bukan melalui kebetulan, tetapi melalui kekuatan algoritma.

Hari-hari berikutnya adalah euforia. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi mimpi dan ketakutan. Anya merasa bahagia dan lengkap. Ia bahkan mulai melupakan skeptisisme awalnya. Mungkin, pikirnya, cinta sejati memang bisa ditemukan dengan bantuan teknologi.

Namun, awan gelap mulai menggelayuti langit cerah mereka. Anya mulai memperhatikan hal-hal aneh. Arion selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit dengan sangat cepat, seolah ia memiliki akses ke ensiklopedia virtual. Ia selalu tahu bagaimana menghiburnya, bahkan dalam situasi yang paling sulit, dengan kata-kata yang terlalu sempurna, terlalu terstruktur. Anya mulai curiga.

Suatu malam, saat Arion sedang mandi di apartemen Anya, Anya tidak tahan lagi. Ia membuka laptop Arion dan mencari riwayat pencariannya. Matanya membelalak kaget. Di sana, ia menemukan puluhan pencarian dengan kata kunci: "cara menghibur wanita yang kehilangan pekerjaan", "cara berbicara tentang filosofi eksistensial", "cara membuat wanita merasa dicintai".

Jantung Anya berdebar kencang. Apakah semua ini palsu? Apakah Arion hanya boneka yang dikendalikan oleh algoritma, membaca skrip yang ditulis untuknya? Ia menunggu Arion keluar dari kamar mandi, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam tumpah.

"Anya, ada apa?" tanya Arion, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Anya tidak menjawab. Ia menunjuk ke laptop. Arion menelan ludah, wajahnya pucat pasi.

"Anya, aku bisa menjelaskannya," katanya lirih.

"Jelaskan apa? Bahwa semua ini palsu? Bahwa kau bukan dirimu sendiri?" Anya berteriak, air matanya akhirnya tumpah.

Arion menghela napas berat. "Anya, dengarkan aku. Aku memang menggunakan SoulMate AI, tapi bukan seperti yang kau pikirkan. Aku kesulitan menjalin hubungan. Aku canggung, tidak tahu bagaimana berbicara dengan wanita. Aplikasi ini membantuku. Ia memberiku panduan, bukan skrip."

"Panduan? Jadi, kau hanya meniru apa yang dikatakan algoritma? Di mana dirimu dalam semua ini?"

"Aku ada di sini, Anya. Aku belajar, aku berkembang. Aku menggunakan informasi yang diberikan aplikasi untuk membangun hubungan denganmu. Aku tidak berbohong tentang perasaanku. Aku benar-benar mencintaimu."

Anya menatapnya, matanya dipenuhi kebingungan dan kekecewaan. Ia ingin percaya padanya, tapi keraguan menggerogoti hatinya. Apakah cinta yang mereka rasakan nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh AI?

"Aku tidak tahu, Arion," kata Anya akhirnya. "Aku tidak tahu apa yang harus kupercaya."

Arion mendekat, meraih tangannya. "Anya, berikan aku kesempatan untuk membuktikannya. Berikan aku kesempatan untuk menunjukkan padamu bahwa cinta kita nyata, terlepas dari bagaimana ia dimulai."

Anya terdiam. Ia menatap mata Arion, mencari kebenaran. Ia melihat ketulusan, rasa sakit, dan harapan. Ia tahu, ini adalah persimpangan jalan. Ia bisa memutuskan untuk menjauhi Arion, menganggap semua ini sebagai kesalahan yang menyakitkan. Atau, ia bisa memberinya kesempatan, menghadapi ketidakpastian, dan mencari tahu apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi batasan algoritma.

Anya mengambil napas dalam-dalam. "Baiklah, Arion," katanya. "Tapi kau harus jujur padaku. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi 'panduan' dari aplikasi. Kita mulai dari awal, benar-benar dari awal. Bisakah kau melakukan itu?"

Arion tersenyum, senyum yang tulus dan penuh harapan. "Ya, Anya. Aku bisa. Aku janji."

Malam itu, Anya dan Arion berbicara hingga fajar menyingsing. Mereka membahas ketakutan mereka, harapan mereka, dan batasan teknologi dalam hubungan manusia. Anya belajar tentang kerentanan Arion, perjuangannya dengan kepercayaan diri, dan keinginannya yang tulus untuk dicintai. Arion, sebaliknya, belajar tentang pentingnya kejujuran, keaslian, dan kepercayaan dalam hubungan yang sehat.

Meskipun jalan di depan tidak pasti, Anya tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Cinta mereka mungkin dimulai dengan bantuan algoritma, tetapi masa depannya tergantung pada pilihan dan tindakan mereka sendiri. Mereka akan belajar untuk mencintai dengan tulus, dengan sepenuh hati, tanpa skrip, tanpa panduan. Mereka akan belajar untuk membedakan antara takdir dan ilusi, antara cinta yang diprogram dan cinta yang sejati. Dan mungkin, hanya mungkin, mereka akan menemukan bahwa cinta sejati dapat tumbuh bahkan dalam genggaman algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI