Algoritma Jatuh Cinta: Akankah Hati Kita Jadi Data?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:32:01 wib
Dibaca: 165 kali
Hujan buatan menyiram kota dengan dingin digital. Lampu-lampu neon memantul di genangan aspal, menciptakan kaleidoskop warna futuristik. Di tengah gemerlap itu, Anya, dengan rambut dikepang dua ala cyberpunk dan jaket kulit bertabur LED, menatap layar tabletnya. Ia sedang menguji Algoritma Cupid, aplikasi kencan revolusioner yang dikembangkannya sendiri.

“Optimalkan koneksi neuron, perkuat sinyal afeksi, sinkronisasi… selesai!” bisiknya, jarinya lincah mengetik kode. Anya adalah seorang programmer jenius, percaya bahwa cinta, sama seperti data, dapat dianalisis dan dioptimalkan. Ia bosan dengan kencan buta yang berakhir mengecewakan, jadi ia menciptakan Algoritma Cupid untuk menemukan pasangan yang kompatibel secara sempurna berdasarkan data biologis, psikologis, dan bahkan preferensi virtual.

Anya sendiri adalah pengguna pertama. Algoritma Cupid sudah mengumpulkan datanya selama setahun, memindai aktivitas daring, kebiasaan makan, bahkan detak jantungnya saat mendengarkan musik. Hasilnya adalah sebuah nama: Kai.

Kai, seorang arsitek lanskap digital, memiliki profil yang nyaris sempurna. Kreatif, idealis, dan memiliki minat yang sama dengan Anya dalam teknologi dan seni. Foto dirinya menampilkan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan rahasia alam semesta. Anya merasa jantungnya berdebar aneh, sebuah anomali yang belum pernah terdeteksi Algoritma Cupid sebelumnya.

Ia memberanikan diri mengirim pesan.

“Hai, Kai. Algoritma Cupid merekomendasikanmu. Tertarik untuk minum kopi?”

Balasan datang hampir seketika. “Anya? Aku juga mendapatkan rekomendasi yang sama. Kopi terdengar menyenangkan. Besok di Cafe Pixel?”

Anya mengangguk pada tabletnya, meskipun Kai tak bisa melihatnya. Cafe Pixel, kafe tematik yang dipenuhi hologram interaktif, adalah tempat netral yang sempurna untuk pertemuan pertama yang diprediksi oleh algoritma.

Keesokan harinya, Anya gugup. Ia mengenakan gaun sutra berwarna perak yang dipadukan dengan sepatu bot tempur, berusaha menyeimbangkan antara feminin dan futuristik. Ketika ia tiba di Cafe Pixel, Kai sudah menunggu.

Dia tampak lebih menawan dari fotonya. Rambutnya sedikit berantakan, seperti baru saja melawan angin, dan matanya memiliki kerut halus di sudutnya yang menandakan kebaikan dan humor. Mereka bertukar sapa, dan percakapan mengalir dengan mudah.

Kai berbicara tentang visinya tentang menciptakan lanskap digital yang berkelanjutan, menggabungkan teknologi dengan alam untuk menghadirkan keindahan dan keseimbangan. Anya terpesona. Ia menceritakan tentang Algoritma Cupid, dengan bangga menjelaskan bagaimana ia menggunakan data untuk menghubungkan orang-orang.

“Jadi, kita berdua adalah produk dari algoritmamu?” Kai bertanya, mengangkat alisnya dengan senyum lucu.

“Ya, tapi bukan berarti tidak ada ruang untuk spontanitas,” jawab Anya, sedikit defensif. “Algoritma hanya memberikan permulaan. Sisanya tergantung pada kita.”

Mereka tertawa, dan ketegangan awal mencair. Mereka berbicara selama berjam-jam, melupakan kopi yang sudah dingin dan pengunjung kafe yang sibuk dengan realitas virtual mereka. Anya merasa ada koneksi yang nyata, sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, keraguan mulai menghantuinya. Apakah perasaannya pada Kai benar-benar tulus, atau hanya hasil dari manipulasi algoritma? Apakah ia hanya mencintai representasi data dari Kai, bukan Kai yang sebenarnya?

Kencan-kencan berikutnya terasa seperti uji coba yang rumit. Anya terus-menerus menganalisis setiap interaksi, mencari celah dalam Algoritma Cupid. Ia bahkan mencoba memperkenalkan elemen acak ke dalam kencan mereka, mengajak Kai ke tempat-tempat yang tidak sesuai dengan preferensi yang terdeteksi oleh aplikasi, seperti konser musik metal atau pasar loak vintage.

Kai tampak bingung pada awalnya, tetapi ia tetap mengikuti Anya dengan sabar dan pengertian. Ia bahkan mulai menikmati kejutan-kejutan itu, melihatnya sebagai cara untuk mengenal Anya lebih dalam, di luar data dan algoritma.

Suatu malam, setelah berjalan-jalan di taman kota yang diterangi cahaya bulan buatan, Kai berhenti dan menatap Anya.

“Anya, aku tahu kamu ragu. Aku tahu kamu terus-menerus mencoba menganalisis hubungan kita. Tapi, bisakah kamu berhenti sejenak?”

Anya terdiam.

“Aku tidak peduli dengan algoritma. Aku menyukaimu, Anya. Aku menyukai kecerdasanmu, semangatmu, bahkan kegugupanmu. Aku menyukai caramu melihat dunia, dan aku ingin melihat dunia bersamamu.”

Air mata mengalir di pipi Anya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada data, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri: kerentanan, ketidakpastian, dan keajaiban yang tak terduga.

“Aku… aku juga menyukaimu, Kai,” bisik Anya. “Tapi aku takut. Aku takut bahwa perasaanku tidak nyata.”

Kai mendekat dan membelai pipinya. “Perasaanmu nyata, Anya. Itu ada di matamu, di suaramu, di sentuhanmu. Algoritma mungkin membawamu kepadaku, tapi itu tidak bisa memaksamu untuk mencintaiku.”

Anya memeluk Kai erat. Ia akhirnya mengerti. Algoritma Cupid hanyalah alat, sebuah jembatan yang membawanya kepada kesempatan untuk menemukan cinta. Tapi cinta itu sendiri adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih indah daripada sekadar data.

Ia memutuskan untuk menghapus Algoritma Cupid dari tabletnya. Ia tidak membutuhkan algoritma untuk mencintai. Ia hanya membutuhkan Kai.

Di tengah hujan buatan yang terus mengguyur, Anya dan Kai berciuman. Ciuman itu terasa hangat dan nyata, membuktikan bahwa hati mereka, meskipun diawali oleh data, telah menemukan jalannya sendiri untuk saling mencintai. Algoritma mungkin telah membantu mereka bertemu, tetapi cinta sejati mereka ditulis bukan dalam kode, melainkan dalam detak jantung yang berdebar sinkron, di bawah gemerlap lampu neon kota futuristik. Hati mereka, pada akhirnya, tidak sepenuhnya menjadi data. Ada misteri, ada keajaiban, ada sentuhan manusia yang tak terukur oleh algoritma mana pun. Cinta, ternyata, lebih dari sekadar persamaan. Ia adalah sebuah paradoks yang indah, sebuah anomali yang layak dirayakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI