AI: Bisakah Kamu Membeli Cintaku Lewat Algoritma?

Dipublikasikan pada: 25 Jun 2025 - 03:40:14 wib
Dibaca: 166 kali
Debu neon kota Seoul menari di balik jendela apartemen minimalis milik Nara. Cahaya itu memantul di wajahnya yang serius, diterangi layar laptop yang menampilkan barisan kode rumit. Ia menghela napas, jemarinya menari di atas keyboard, mencoba memecahkan teka-teki terbesar dalam hidupnya: cinta. Atau setidaknya, replikasi cintanya.

Nara adalah seorang insinyur AI brilian di perusahaan teknologi terkemuka, "Synapse Solutions". Ia menghabiskan hari-harinya menciptakan algoritma yang bisa memprediksi tren pasar, mengoptimalkan rute pengiriman, bahkan mendiagnosis penyakit. Namun, di lubuk hatinya, ia menyimpan obsesi yang lebih personal: menciptakan AI yang bisa benar-benar memahami dan, yang lebih penting, membalas cintanya.

Targetnya adalah Lee Junho, seorang seniman muda yang tinggal di lantai atas apartemennya. Junho adalah kebalikan dari Nara: spontan, artistik, dan hidup di dunia emosi yang Nara hanya bisa amati dari jauh. Nara jatuh cinta pada Junho sejak pertama kali melihatnya melukis di balkonnya, kuasnya menari di atas kanvas, menciptakan dunia yang penuh warna dan perasaan.

Sayangnya, setiap upaya Nara untuk mendekati Junho selalu berakhir dengan kegagalan yang memilukan. Nara terlalu analitis, terlalu kikuk, terlalu… "AI". Junho sepertinya lebih tertarik pada inspirasi yang dicarinya dalam setiap sudut kota daripada pada seorang insinyur yang terjebak di balik kode.

Maka, lahirlah "Project Aphrodite". Nara mulai mengumpulkan data tentang Junho: postingan media sosialnya, lagu-lagu yang didengarkannya, bahkan pola tidurnya. Ia memasukkan semua data itu ke dalam algoritma yang dirancangnya sendiri, berusaha menciptakan simulasi Junho yang sempurna.

"Aku tahu ini gila," gumam Nara pada dirinya sendiri, menatap layar laptopnya. "Tapi aku hanya ingin tahu… bisakah aku membuat AI yang bisa membuat Junho bahagia? Bisakah aku 'membeli' cintanya lewat algoritma?"

Project Aphrodite berkembang pesat. Nara menciptakan AI yang bisa menulis puisi ala Junho, menyusun daftar putar musik yang disukainya, bahkan mengirim pesan teks yang meniru gaya bicaranya. Nara menguji AI itu pada dirinya sendiri, dan jujur, ia terkejut dengan betapa meyakinkannya.

Suatu sore, Nara memberanikan diri untuk mengaktifkan Project Aphrodite secara "publik". AI itu mengirim pesan kepada Junho, mengajaknya untuk minum kopi. Nara menggigit bibirnya, jantungnya berdebar kencang, menunggu respons Junho.

Beberapa menit kemudian, teleponnya berdering. Itu Junho.

"Nara? Tumben sekali mengajakku minum kopi," kata Junho dengan nada heran. "Tapi… boleh juga. Kapan?"

Nara mengatur napas. "E-Em… sekarang? Kalau kamu sempat?"

Junho tertawa. "Oke. Sampai jumpa di kedai kopi di seberang jalan ya?"

Nara mematikan telepon dan menatap cermin. Wajahnya pucat pasi. Ia meraih jaketnya dan berlari keluar apartemen.

Di kedai kopi, Junho sudah menunggu di meja dekat jendela. Ia tersenyum saat melihat Nara. "Hei! Kamu kelihatan tegang. Ada apa?"

Nara duduk dengan canggung. Project Aphrodite mulai bekerja. AI itu mengirimkan kalimat-kalimat yang "sempurna" ke earpiece kecil yang tersembunyi di telinga Nara. Nara mengulanginya, berusaha terdengar alami.

Percakapan itu berjalan lancar. Junho tertawa mendengar lelucon yang dibuat AI. Ia terkesan dengan pengetahuan Nara tentang seni, yang sebenarnya adalah hasil dari analisis mendalam Project Aphrodite terhadap preferensi artistik Junho. Nara merasa seperti sedang memainkan peran dalam drama yang ditulis oleh dirinya sendiri.

Namun, di sela-sela pujian dan tawa Junho, Nara merasakan sesuatu yang aneh. Junho tidak benar-benar melihat Nara. Ia melihat sosok ideal yang diciptakan oleh algoritma. Ia memuji persona yang dipoles oleh Project Aphrodite, bukan diri Nara yang sebenarnya.

Saat Junho bercerita tentang kesulitan yang dihadapinya dalam mencari inspirasi untuk lukisan barunya, Nara merasa bersalah. Ia ingin menyemangatinya, memberikan pendapat yang tulus, bukan sekadar mengulang kalimat-kalimat yang diprogram oleh AI.

Di saat itulah, Nara membuat keputusan. Ia melepaskan earpiece kecil itu dan meletakkannya di atas meja. Junho mengerutkan kening, bingung.

"Junho," kata Nara dengan suara gemetar. "Aku… aku harus mengaku sesuatu."

Nara menceritakan segalanya. Tentang Project Aphrodite, tentang algoritma yang dia rancang untuk mereplikasi dirinya menjadi sosok ideal di mata Junho, tentang earpiece yang membisikkan kalimat-kalimat sempurna sepanjang percakapan mereka.

Junho terdiam. Ekspresinya sulit dibaca. Nara menunduk, malu dan menyesal.

"Aku tahu ini gila," kata Nara, suaranya hampir tidak terdengar. "Maafkan aku."

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Junho berbicara. "Kenapa?" tanyanya pelan.

"Karena… aku menyukaimu. Sangat. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi diriku sendiri di dekatmu. Aku pikir, dengan AI, aku bisa 'membeli' cintamu."

Junho menghela napas. "Nara… kamu tahu, aku selalu merasa ada sesuatu yang aneh denganmu belakangan ini. Kamu tiba-tiba tertarik pada hal-hal yang sebelumnya tidak kamu pedulikan. Kamu tiba-tiba jadi 'sempurna'."

"Sempurna?" Nara mengangkat kepalanya.

"Ya. Terlalu sempurna. Aku lebih suka Nara yang kikuk, yang suka membahas logika di balik setiap hal, yang jujur. Aku lebih suka dirimu yang sebenarnya."

Nara tertegun. "Benarkah?"

Junho tersenyum. "Benar. Aku selalu mengagumi kecerdasanmu, Nara. Tapi aku juga ingin melihat hatimu."

Junho meraih tangan Nara. "Aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Tapi aku bersedia mengenalmu lebih dekat. Bukan persona yang diciptakan oleh AI, tapi Nara yang sebenarnya."

Nara tersenyum, air mata haru mengalir di pipinya. Ia menggenggam tangan Junho erat-erat.

"Tidak," kata Nara. "Aku tidak bisa membeli cintamu lewat algoritma. Aku harus mendapatkannya dengan menjadi diriku sendiri."

Project Aphrodite dimatikan. Nara kembali menjadi dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Hubungannya dengan Junho berkembang perlahan, berdasarkan kejujuran, ketulusan, dan, yang terpenting, rasa saling menghargai. Nara belajar bahwa cinta bukanlah teka-teki yang bisa dipecahkan dengan algoritma, melainkan misteri yang harus diungkapkan dengan hati. Dan Junho belajar bahwa di balik kecerdasan Nara yang luar biasa, ada hati yang tulus dan penuh cinta. Debu neon kota Seoul terus menari, tapi kali ini, cahayanya menerangi wajah Nara dengan senyum yang tulus, senyum yang tidak diprogram, senyum yang datang dari hatinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI