Algoritma Cinta: Saat Hati Memilih, AI Menyesal?

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 02:48:11 wib
Dibaca: 166 kali
Kilau layar ponsel membayang di wajah Anya, memantulkan binar ragu di matanya. Jemarinya menari di atas keyboard virtual, menulis, menghapus, menulis lagi. Di hadapannya, secangkir kopi robusta mendingin, aromanya yang tadinya membangkitkan semangat kini terasa hambar.

Di layar, terpampang profil dua lelaki. Di kiri, wajah Ardi, seorang arsitek dengan senyum teduh dan mata yang seolah menyimpan seluruh keindahan senja. Di kanan, profil Kai, seorang programmer brilian dengan tatapan tajam dan aura misterius yang memikat. Keduanya sama-sama menarik, sama-sama memiliki kelebihan yang membuatnya terpikat.

Anya menghela napas. Ia benci harus berada dalam situasi ini. Situasi di mana ia bergantung pada Algoritma Cinta, sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dirancang untuk menemukan pasangan ideal berdasarkan data kepribadian, minat, dan preferensi. Ironisnya, Algoritma Cinta justru membuatnya semakin bingung.

Awalnya, Anya begitu antusias. Ia percaya bahwa AI yang rasional dan objektif dapat membantunya menemukan cinta sejati. Ia mengisi kuesioner dengan jujur, membeberkan semua tentang dirinya, dari makanan favorit hingga trauma masa kecil. Algoritma Cinta bekerja keras, menganalisis jutaan data, dan akhirnya, mempertemukannya dengan Ardi dan Kai.

Masalahnya, Algoritma Cinta tidak memperhitungkan kompleksitas emosi manusia. Ia hanya melihat kesamaan dan kompatibilitas berdasarkan data. Ia tidak bisa merasakan debaran jantung saat Ardi menceritakan mimpinya membangun rumah ramah lingkungan, atau sengatan listrik yang menjalar saat Kai menatapnya dalam-dalam sambil menjelaskan kode program yang rumit.

Anya sudah berkencan dengan keduanya. Ardi membawanya ke pameran seni, mendiskusikan lukisan dengan penuh semangat, dan menghujaninya dengan pujian tulus. Kai mengajaknya coding bersama, mengajarinya baris demi baris kode, dan membuatnya merasa cerdas dan tertantang. Bersama Ardi, ia merasa nyaman dan dihargai. Bersama Kai, ia merasa hidup dan bersemangat.

Anya kembali menatap layar. Algoritma Cinta terus-menerus mengirimkan notifikasi, menyuruhnya segera membuat keputusan. “Analisis menunjukkan Ardi memiliki tingkat kompatibilitas 92% dengan kepribadian Anda.” “Data menunjukkan Kai memiliki potensi jangka panjang yang lebih tinggi dalam karir profesional.” Anya mematikan notifikasi itu dengan kasar.

Ia bangkit dari kursi dan berjalan ke balkon apartemennya. Langit malam bertaburan bintang, mengingatkannya pada luasnya kemungkinan yang ada di hadapannya. Ia teringat nasihat ibunya, “Nak, cinta itu bukan rumus matematika. Ikuti kata hatimu.”

Kata hati… sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma.

Anya menutup mata. Ia mencoba mendengarkan suara hatinya, mengabaikan semua data dan analisis. Ia membayangkan wajah Ardi, senyumnya yang menenangkan, dan obrolan hangat mereka tentang masa depan. Ia juga membayangkan wajah Kai, tatapannya yang intens, dan tantangan intelektual yang selalu ia berikan.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk. Dari Kai.

“Anya, maaf mengganggu malammu. Aku tahu kamu sedang bingung memilih. Aku hanya ingin mengatakan, algoritma mungkin benar tentang potensi karirku, tapi algoritma tidak tahu bahwa kamu adalah inspirasiku. Kamu membuatku ingin menjadi programmer yang lebih baik, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untukmu.”

Anya terkejut. Kata-kata Kai terasa begitu tulus dan menyentuh. Ia membuka chat dengan Ardi. Pesan terakhir mereka adalah tentang jadwal pertemuan selanjutnya. Tidak ada yang salah dengan Ardi, ia adalah pria yang baik dan perhatian. Tapi… ada sesuatu yang kurang.

Anya kembali duduk di depan komputernya. Ia membuka Algoritma Cinta. Tangannya gemetar saat ia mencari tombol “Hapus Akun”. Sebuah jendela pop-up muncul, “Anda yakin ingin menghapus akun Anda? Tindakan ini tidak dapat dibatalkan.”

Anya menarik napas dalam-dalam. Ia menatap pantulan dirinya di layar. Ia melihat seorang wanita yang lelah bergantung pada algoritma untuk mencari cinta. Ia melihat seorang wanita yang siap mengambil kendali atas hidupnya sendiri.

Dengan mantap, ia menekan tombol “YA”.

Layar berubah menjadi putih. Aplikasi Algoritma Cinta lenyap dari ponselnya. Anya merasa lega. Ia tidak lagi terikat pada data dan analisis. Ia bebas memilih, bebas mencintai dengan caranya sendiri.

Keesokan harinya, Anya mengirimkan pesan kepada Ardi. Ia menjelaskan perasaannya dengan jujur dan tulus. Ardi menerimanya dengan dewasa dan pengertian. Mereka sepakat untuk tetap berteman baik.

Kemudian, Anya mengirimkan pesan kepada Kai.

“Kai, kopi besok pagi? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang program rumitmu.”

Balasan Kai datang dengan cepat. “Tentu. Tapi kali ini, aku janji akan lebih banyak berbicara tentangmu daripada tentang kode.”

Anya tersenyum. Mungkin Algoritma Cinta telah menyesal karena kehilangan seorang pengguna seperti dirinya. Tapi, ia tidak menyesal sama sekali. Ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada algoritma: keberanian untuk mengikuti kata hatinya. Dan mungkin, di tengah barisan kode dan logika AI, Kai juga menemukan sesuatu yang lebih berharga: cinta sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI