Aplikasi kencan "SoulMate AI" berkedip di layar ponsel Aria, menampilkan notifikasi merah yang menarik perhatiannya. "Potensi Kecocokan Tertinggi! Uji Beta untuk 'Algoritma Cinta Sejati' menantimu!" Aria mendengus. Algoritma cinta? Sejak kapan cinta bisa direduksi menjadi barisan kode dan data? Namun, rasa penasaran dan kesepian yang menggerogoti hatinya malam itu membuatnya mengklik notifikasi itu.
Aria adalah seorang programmer handal. Pekerjaannya di perusahaan teknologi besar memungkinkannya untuk memahami logika di balik angka dan algoritma. Tapi cinta? Itu adalah labirin emosi yang rumit, penuh paradoks dan irasionalitas yang tak terpecahkan. Hubungan terakhirnya kandas karena alasan yang menurutnya konyol. Mantannya, seorang analis data, mengeluhkan bahwa Aria "terlalu spontan" dan "tidak terprediksi" untuk data yang ia kumpulkan. Sejak saat itu, Aria sinis terhadap gagasan cinta yang diatur oleh data.
Uji beta Algoritma Cinta Sejati SoulMate AI menjanjikan kecocokan yang akurat berdasarkan analisis mendalam terhadap data pribadi, preferensi, dan bahkan gelombang otak. Ya, gelombang otak. Aria harus menggunakan headset khusus yang disediakan oleh aplikasi selama seminggu, untuk merekam aktivitas otaknya saat ia berinteraksi dengan berbagai konten: musik, video, artikel, bahkan percakapan simulasi. Data itu kemudian akan diolah untuk menemukan kecocokan sempurna. Kedengarannya gila, tapi Aria memutuskan untuk mencobanya. Toh, apa salahnya?
Minggu itu, Aria merasa seperti menjadi subjek penelitian. Ia mengikuti instruksi dengan seksama, mengenakan headset, dan membiarkan dirinya diserap oleh konten yang disajikan aplikasi. Ia mendengarkan musik klasik, menonton film dokumenter tentang ruang angkasa, membaca artikel tentang etika AI, dan bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang aneh. Awalnya ia merasa kikuk, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa, bahkan menikmatinya. Ia merasa lebih mengenal dirinya sendiri, lebih dalam dari sebelumnya.
Setelah seminggu, aplikasi itu memberikan hasilnya. "Kecocokan Tertinggi: Ethan. Tingkat Kecocokan: 98.7%." Foto seorang pria muncul di layar. Ethan memiliki rambut hitam berantakan, mata cokelat yang teduh, dan senyum tipis yang tampak tulus. Profilnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang arsitek yang juga menyukai musik klasik, film dokumenter, dan etika AI. Ia bahkan memiliki kucing bernama Schrödinger.
Aria tertegun. Kecocokan ini terasa terlalu sempurna, terlalu dibuat-buat. Ia merasa seperti sedang ditipu. Tapi rasa penasaran mengalahkannya lagi. Ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Ethan.
Percakapan mereka dimulai dengan canggung, membahas hasil Algoritma Cinta Sejati dan betapa konyolnya gagasan itu. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka menemukan banyak kesamaan. Mereka berdua mencintai arsitektur modern, memiliki minat yang mendalam pada implikasi sosial teknologi, dan sama-sama menganggap Schrödinger sebagai nama kucing yang jenius.
Setelah beberapa minggu berbicara daring, mereka memutuskan untuk bertemu. Aria merasa gugup, cemas algoritma itu akan gagal dalam uji realitas. Ia takut Ethan akan menjadi versi digital yang diubah menjadi manusia, tanpa kedalaman dan kompleksitas yang ia cari.
Ethan menunggunya di kafe. Saat Aria melihatnya, ia merasakan sesuatu berdesir dalam dirinya. Ethan tidak hanya tampan seperti di foto, tapi juga memiliki aura ketenangan dan kebijaksanaan yang membuatnya nyaman. Mereka berbicara berjam-jam, membahas segala hal dari filosofi eksistensial hingga resep pai apel favorit mereka.
Aria menyadari bahwa algoritma itu tidak menciptakannya. Algoritma itu hanya membantunya menemukan seseorang yang sudah ada di luar sana, seseorang yang cocok dengan minat, nilai, dan cara berpikirnya. Algoritma itu adalah alat, bukan penentu. Cinta, ternyata, masih membutuhkan sentuhan manusia.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Mereka menjelajahi kota bersama, menghadiri konser musik klasik, berdebat tentang implikasi etis kecerdasan buatan, dan berbagi tawa yang tak terhitung jumlahnya. Aria merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Ethan melihat dirinya apa adanya, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaannya. Ia tidak berusaha mengubahnya atau memasukkannya ke dalam kategori yang sudah ada.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Aria, menatap bintang-bintang, Ethan menoleh padanya. "Aria," katanya lembut, "aku tahu ini mungkin terdengar konyol, mengingat bagaimana kita bertemu, tapi... aku jatuh cinta padamu."
Aria tersenyum. "Aku juga," jawabnya, merasa lega dan bahagia yang luar biasa. Ia memeluk Ethan erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya dan detak jantungnya yang berdebar kencang. Di bawah cahaya bulan, ia menyadari bahwa cinta, meskipun didukung oleh data, pada akhirnya adalah tentang koneksi manusia, tentang keintiman, dan tentang keberanian untuk membuka hati.
Namun, beberapa bulan kemudian, saat hubungan mereka semakin dalam, Aria mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ethan tampak semakin bergantung pada aplikasi SoulMate AI. Ia sering memeriksa profilnya, mengubah preferensinya, dan menganalisis data kecocokan mereka. Ia seolah-olah sedang berusaha untuk mengoptimalkan cinta mereka, membuatnya seefisien dan seakurat mungkin.
Suatu malam, Aria menemukan Ethan sedang melihat log aktivitas otaknya di aplikasi. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya, merasa tidak nyaman.
Ethan tersentak. "Aku... aku hanya mencoba memahami apa yang membuat kita cocok," jawabnya gugup. "Aku ingin memastikan bahwa kita akan selalu bahagia bersama."
Aria marah. "Kamu tidak bisa merekayasa cinta, Ethan! Cinta bukan tentang data dan algoritma. Ini tentang emosi, tentang spontanitas, tentang menerima satu sama lain apa adanya."
"Tapi aku hanya ingin yang terbaik untuk kita," bantah Ethan. "Aku hanya ingin menghindari kesalahan yang sama yang dilakukan orang lain."
"Kesalahan adalah bagian dari hidup," kata Aria dengan tegas. "Kesalahan membuat kita belajar dan tumbuh. Jika kita mencoba untuk menghindari semua kesalahan, kita akan kehilangan kesempatan untuk merasakan hal-hal baru dan menemukan diri kita sendiri."
Perdebatan mereka semakin memanas. Aria menyadari bahwa Ethan telah menjadi terlalu bergantung pada aplikasi, bahwa ia telah kehilangan sentuhan manusia dalam cintanya. Ia takut Ethan akan mereduksi hubungan mereka menjadi serangkaian data dan algoritma, menghilangkan keajaiban dan misteri yang membuatnya begitu indah.
Akhirnya, Aria membuat keputusan yang sulit. Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Ia tahu bahwa Ethan mungkin tidak akan pernah memahami mengapa, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam hubungan yang didasarkan pada data dan bukan pada emosi.
Perpisahan itu menyakitkan, tapi Aria merasa lega. Ia telah belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi, dianalisis, atau direkayasa. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang membiarkan diri kita rentan, dan tentang menerima satu sama lain dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan kita.
Aria menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya. Ia menutup laptopnya. Ia siap untuk membuka hatinya lagi, tanpa bantuan algoritma. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak akan ditemukan di ujung jari, tetapi di dalam hati. Ia tahu bahwa cinta sejati akan datang padanya, ketika ia siap untuk menerimanya, dengan semua kompleksitas dan irasionalitasnya.