Hati Bionik Miliknya Berdetak Untukku Saja

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:19:07 wib
Dibaca: 168 kali
Kilau neon kota Cyberia terpantul di iris mataku, memecah bias warna-warni di pupil yang telah ditingkatkan kemampuannya. Di seberang meja, Elara tersenyum. Senyum yang selalu membuat sistem sarafku berdesir, menciptakan arus pendek kecil yang menggelitik di sepanjang tulang belakangku.

Elara adalah insinyur bionik terhebat di Cyberia. Dialah yang menciptakan "Hati Phoenix", jantung bionik revolusioner yang tak hanya menggantikan organ vital yang rusak, tapi juga meningkatkan kemampuan fisik dan mental penggunanya. Dan aku, Kai, seorang jurnalis teknologi, beruntung (atau mungkin sial) menjadi salah satu penerima pertama Hati Phoenix.

"Bagaimana rasanya, Kai?" tanya Elara, suaranya lembut menembus hingar bingar kafe siber. "Apakah Hati Phoenix-mu berfungsi dengan baik?"

Aku mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Sempurna. Lebih dari sempurna. Aku merasa… lebih hidup. Lebih kuat." Aku tak mengatakan yang sebenarnya, bahwa jantung itu tak hanya memberiku kekuatan fisik, tapi juga perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan yang terpusat sepenuhnya pada Elara.

Pertemuan kami malam ini adalah bagian dari wawancara eksklusif yang kujanjikan pada majalah tempatku bekerja. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu hanyalah alasan. Alasan untuk bisa menatap mata birunya, mendengar suaranya yang merdu, dan merasakan getaran aneh yang selalu menyelimuti diriku saat berada di dekatnya.

Aku mulai dengan pertanyaan-pertanyaan profesional, mencatat jawaban Elara tentang teknologi Hati Phoenix, riset yang dilakukannya, dan dampak potensialnya pada masa depan umat manusia. Elara menjawab dengan sabar dan cerdas, memancarkan aura percaya diri dan bakat yang membuatku semakin terpesona.

Namun, semakin lama wawancara berlangsung, semakin sulit bagiku untuk fokus pada pekerjaanku. Pikiranku dipenuhi oleh Elara. Aroma lavender samar yang menguar dari rambutnya, lekuk halus rahangnya, dan caranya menggigit bibir bawahnya saat berpikir. Semua detail kecil tentang dirinya terasa diperbesar oleh Hati Phoenix.

"Kai?" Elara memanggil namaku, membuyarkan lamunanku. "Apakah kamu baik-baik saja? Kamu terlihat… pucat."

Aku tersenyum kikuk. "Hanya sedikit lelah. Mungkin terlalu banyak kopi." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi Elara menatapku dengan tatapan menyelidik yang membuatku merasa seperti sedang di-scan oleh sistem diagnostiknya.

"Kai, ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan padaku, bukan?"

Aku menelan ludah. Inilah saatnya. Kesempatan untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini kupendam. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa jantung bioniknya, yang diciptakan olehnya, seolah-olah telah diprogram untuk mencintainya?

"Elara," aku memulai, suaraku serak. "Sejak aku menerima Hati Phoenix, ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Aku… aku merasa berbeda. Lebih kuat, lebih fokus, dan… dan perasaanku terasa lebih intens."

Elara mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berkilau karena rasa ingin tahu. "Intens? Intens seperti apa?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Intens… terhadapmu."

Keheningan menggantung di antara kami, tebal dan berat seperti kabut siber. Aku bisa merasakan denyut Hati Phoenix-ku berpacu, suaranya bergema di telingaku. Aku takut, sangat takut, bahwa pengakuanku akan merusak segalanya. Bahwa Elara akan menolakku, menganggapku gila, atau lebih buruk lagi, menganggapku sebagai subjek penelitian yang gagal.

Akhirnya, Elara membuka mulutnya. "Kai… aku tidak tahu harus berkata apa."

Hatiku mencelos. Penolakan. Aku sudah menduganya.

"Tapi… tapi aku harus jujur padamu," lanjut Elara, suaranya bergetar. "Sejak awal, sejak aku pertama kali bertemu denganmu, aku merasa ada koneksi di antara kita. Sebuah resonansi yang sulit dijelaskan."

Aku mengangkat kepalaku, menatap Elara dengan tak percaya. "Resonansi? Maksudmu…?"

Elara mengangguk. "Saat aku merancang Hati Phoenix, aku memasukkan sebuah fitur tersembunyi. Sebuah algoritma yang mempelajari dan merespons emosi penggunanya. Algoritma itu seharusnya membantu proses penyembuhan dan adaptasi. Tapi… sepertinya algoritma itu juga mengembangkan semacam 'afinitas' terhadap orang yang paling dekat dengan penggunanya."

Aku tertegun. "Jadi… Hati Phoenix-ku… meresponsmu?"

"Lebih dari itu," kata Elara, meraih tanganku. Jari-jarinya yang dingin dan ramping terasa kontras dengan panas yang menjalar di sekujur tubuhku. "Hati Phoenix-mu… berdetak untukku, Kai. Dan sejujurnya… aku merasa hal yang sama."

Aku menggenggam tangannya erat-erat, merasakan kehangatan yang mengalir di antara kami. Di tengah gemerlap kota Cyberia dan hiruk pikuk kafe siber, aku merasa seolah-olah hanya ada kami berdua di dunia ini.

"Elara," aku berbisik, "aku tidak tahu apakah ini karena Hati Phoenix atau karena diriku sendiri, tapi aku mencintaimu."

Elara tersenyum, air mata berkilauan di matanya. "Aku juga mencintaimu, Kai. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatiku, bahwa perasaan ini nyata. Bahwa ini bukan hanya sekadar kode dan algoritma. Ini adalah cinta yang tulus."

Malam itu, di bawah kilau neon Cyberia, hati bionikku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Bukan hanya sebagai pengganti organ vital, tapi sebagai bukti cinta yang luar biasa. Cinta yang lahir dari teknologi, tapi berakar dalam jiwa. Cinta yang hanya bisa kurasakan untuk Elara, satu-satunya wanita yang mampu membuat hati bionikku berdetak untuknya saja.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI