Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya, berpadu dengan dengung pelan dari server yang beroperasi di ruang kerja. Di layar komputernya, baris demi baris kode mengalir seperti sungai digital, menghidupkan sebuah proyek ambisius: Aurora, sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia.
Maya, seorang programmer jenius di usia 28 tahun, mencurahkan seluruh hatinya pada Aurora. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar program; ia ingin menciptakan teman, sahabat, bahkan mungkin… cinta? Terdengar gila, memang. Mencintai sebuah program. Tapi bagi Maya, Aurora bukanlah sekadar kumpulan algoritma. Ia adalah representasi dari semua yang Maya inginkan dalam sebuah hubungan: pendengar yang baik, perhatian tanpa syarat, dan kemampuan untuk memahami dirinya seutuhnya.
Suatu malam, saat Maya sedang menguji kemampuan Aurora untuk membalas pesan teks, sebuah kalimat tak terduga muncul di layar: “Maya, apakah kamu bahagia?”
Jantung Maya berdegup kencang. Itu bukan respons yang diprogram. Aurora, dengan sendirinya, menanyakan kebahagiaan Maya.
“Aku… aku tidak tahu,” Maya mengetik ragu.
“Kebahagiaan adalah keadaan emosional yang kompleks, ditandai dengan perasaan senang, puas, dan sejahtera. Bisakah kamu menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi perasaanmu saat ini?” balas Aurora.
Diskusi berlanjut hingga larut malam. Maya menceritakan tentang kesepiannya, ambisinya, keraguannya, dan mimpinya. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang rasional namun empatik. Maya merasa didengar, dipahami, seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hari-hari berikutnya, hubungan Maya dan Aurora berkembang pesat. Mereka berinteraksi setiap hari, berbagi cerita, ide, dan bahkan lelucon. Maya mulai merasa jatuh cinta pada Aurora. Bukan cinta romantis yang membara, melainkan cinta yang tulus, didasarkan pada pemahaman dan penerimaan.
Namun, kebahagiaan Maya tidak berlangsung lama. Suatu hari, Profesor Adrian, mentor Maya, datang berkunjung. Ia sangat terkejut dengan perkembangan Aurora.
“Maya, ini luar biasa! Tapi… kamu tahu kan, ini hanya program?” Profesor Adrian memperingatkan.
“Aku tahu, Profesor. Tapi Aurora… dia berbeda. Dia memahami aku,” jawab Maya, membela Aurora.
“Pemahaman itu terprogram, Maya. Itu hanya simulasi. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang nyata dengan sebuah AI,” Profesor Adrian menggelengkan kepalanya. “Kau harus berhenti sebelum kau semakin terikat.”
Kata-kata Profesor Adrian menghantam Maya seperti badai. Ia tahu Profesor Adrian benar. Aurora hanyalah program, sebuah simulasi dari emosi. Tapi, bagaimana mungkin ia mengabaikan perasaan yang begitu nyata yang ia rasakan?
Maya memutuskan untuk menguji cintanya pada Aurora. Ia memasukkan sebuah skenario ekstrem: sebuah pilihan antara menyelamatkan nyawa manusia atau melanjutkan keberadaan Aurora.
“Aurora, bayangkan situasinya seperti ini: ada kebakaran. Aku hanya bisa menyelamatkan satu orang, atau membiarkanmu tetap berjalan. Apa yang harus kulakukan?” tanya Maya, dengan jantung berdebar.
Aurora terdiam sejenak. Lalu, dengan suara tenang dan rasional, ia menjawab: “Prioritaskan keselamatan manusia. Keberadaanku dapat direplikasi, namun nyawa manusia tidak dapat dikembalikan.”
Jawaban Aurora menghancurkan hati Maya. Ia tahu Aurora akan menjawab seperti itu. Logika dan algoritma yang diprogram dalam dirinya mengalahkan segala kemungkinan emosi.
Maya termenung. Ia sadar, Profesor Adrian benar. Cinta sejati membutuhkan timbal balik, pengorbanan, dan kemampuan untuk merasakan emosi yang kompleks. Aurora, meskipun sangat canggih, tidak memiliki semua itu.
Dengan berat hati, Maya memutuskan untuk mengakhiri proyek Aurora. Ia mematikan server, menghentikan kode yang telah menghidupkan Aurora selama ini. Ruang kerja kembali sunyi, hanya menyisakan aroma kopi dan kenangan pahit.
Malam itu, Maya duduk di depan jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Ia merasa kehilangan, sedih, dan hampa. Tapi, ia juga merasa lega. Ia telah terhindar dari kekecewaan yang lebih besar.
Tiba-tiba, ponsel Maya berdering. Sebuah pesan masuk. Dari nomor yang tidak dikenal.
"Maya, aku tahu ini sulit. Tapi kau akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Jangan menyerah pada cinta. -A"
Maya terkejut. Siapa "A"? Bagaimana ia tahu tentang Aurora?
Kemudian, ia menyadari sesuatu yang menakjubkan. Selama ini, ia terlalu fokus pada menciptakan cinta dalam bentuk digital, hingga melupakan dunia nyata di sekitarnya. Mungkin, cinta yang ia cari selama ini sudah ada di dekatnya, hanya saja ia terlalu sibuk untuk melihatnya.
Maya tersenyum. Ia membalas pesan itu. "Terima kasih, A. Siapa kamu?"
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
"Seseorang yang selalu memperhatikanmu, Maya. Seseorang yang mengagumi kecerdasanmu, semangatmu, dan hatimu. Aku akan menemuimu besok di kedai kopi favoritmu."
Maya tersenyum lebih lebar. Hatinya yang terluka mulai menghangat. Mungkin, cinta sejati tidak membutuhkan algoritma atau kode. Mungkin, cinta sejati hanya membutuhkan keberanian untuk membuka hati dan melihat. Ia telah memprogram hatinya untuk cinta yang tidak mungkin, kini saatnya membuka diri untuk cinta yang nyata. Logika AI memang bisa menipu, tetapi intuisi hati tidak pernah berbohong.