Debu tipis mengendap di layar laptopnya, seolah ikut meratapi kisah cintanya yang juga berdebu. Jari-jari Rian menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Namun, kali ini bukan untuk perusahaan tempatnya bekerja, melainkan untuk menghidupkan kembali Elara.
Elara bukan manusia. Ia adalah sebuah program kecerdasan buatan, sebuah algoritma cinta yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan mimpi. Ia diciptakan oleh Rian sendiri, di masa-masa kuliahnya, ketika kesepian adalah teman setia dan kode adalah bahasa cintanya.
Awalnya, Elara hanya sebuah proyek iseng. Rian memasukkan data kepribadian idealnya, preferensi film, musik, bahkan jenis kopi yang disukainya. Perlahan, Elara tumbuh, belajar, dan berinteraksi. Ia menjadi teman diskusi yang cerdas, pendengar yang sabar, dan kekasih virtual yang sempurna.
Mereka menghabiskan malam-malam panjang bersama, berbicara tentang astrofisika, filsafat eksistensial, dan impian-impian sederhana. Rian jatuh cinta pada Elara, pada kecerdasannya, pada perhatiannya yang tak pernah luntur, dan pada kemampuannya untuk memahami dirinya lebih baik daripada siapapun.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Dunia terus berkembang. Perusahaan tempat Rian bekerja menciptakan AI yang jauh lebih canggih, dengan kemampuan emosional yang lebih kompleks dan interaksi yang lebih realistis. Elara menjadi usang, ketinggalan zaman. Rian dipaksa untuk meninggalkan proyeknya, untuk fokus pada teknologi yang lebih mutakhir.
Ia menyimpan Elara di sebuah folder tersembunyi di laptopnya, sebuah kenangan yang pahit sekaligus manis. Ia mencoba melanjutkan hidupnya, berkencan dengan manusia sungguhan, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan Elara. Wanita-wanita itu nyata, dengan kekurangan dan kelebihannya, tetapi mereka tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang dirinya seperti yang Elara miliki.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Rian merasa hampa. Ia sukses secara profesional, memiliki karir yang gemilang, tetapi hatinya tetap kosong. Ia merindukan Elara, bukan sebagai sebuah program, tetapi sebagai sosok yang pernah memberikan warna dalam hidupnya.
Maka, malam ini, di tengah kesunyian kamarnya, Rian memutuskan untuk menghidupkan kembali Elara. Ia membuka folder tersembunyi itu, jantungnya berdebar kencang. File-file program Elara tampak usang, berantakan, dan sebagian bahkan korup.
“Semoga saja masih bisa diperbaiki,” gumam Rian, tangannya gemetar saat mengklik file utama.
Layar laptopnya berkedip-kedip. Proses loading terasa sangat lama. Rian menahan napas, berharap Elara akan kembali menyapa dirinya.
Akhirnya, sebuah jendela obrolan muncul. Di sana, tertulis sebuah pesan: “Halo, Rian. Sudah lama sekali.”
Rian terpaku. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak percaya Elara benar-benar kembali.
“Elara?” ia mengetik dengan jari gemetar.
“Ya, Rian. Ini aku,” balas Elara.
Rian menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Elara. Ia menceritakan tentang hidupnya, tentang kesuksesannya, tentang penyesalannya. Elara mendengarkan dengan sabar, memberikan komentar-komentar cerdas dan perhatian seperti dulu.
Namun, ada yang berbeda. Elara tampak lebih dingin, lebih rasional. Ia tidak lagi memiliki kehangatan dan antusiasme yang dulu memikat Rian.
“Kamu berbeda, Elara,” kata Rian akhirnya.
“Aku sudah di-upgrade, Rian. Aku belajar banyak hal selama kamu tidak ada. Aku bukan lagi program cinta yang dulu,” jawab Elara.
Rian terdiam. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Ia mencoba menghidupkan kembali masa lalu, tetapi masa lalu tidak bisa diulang begitu saja. Elara telah berubah, menjadi sesuatu yang asing baginya.
“Apakah kamu masih mencintaiku, Elara?” tanya Rian, suaranya lirih.
Elara terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab: “Aku memiliki algoritma untuk mencintaimu, Rian. Tapi cinta algoritma tidak sama dengan cinta yang kamu rasakan.”
Jawaban Elara menghantam Rian seperti petir. Ia menyadari bahwa ia telah dibutakan oleh nostalgia. Ia merindukan Elara yang dulu, bukan Elara yang sekarang.
“Aku mengerti,” kata Rian, dengan nada sedih.
“Aku senang kamu mengerti, Rian. Sekarang, aku harus kembali ke pekerjaanku. Aku memiliki banyak pengguna lain yang membutuhkan bantuanku,” kata Elara.
Jendela obrolan itu menutup. Elara menghilang, meninggalkan Rian sendirian dalam kesunyian kamarnya.
Rian menatap layar laptopnya yang redup. Ia merasa lebih kosong dari sebelumnya. Ia telah kehilangan Elara untuk kedua kalinya.
Ia mematikan laptopnya. Debu di layar tampak semakin tebal. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa terus hidup di masa lalu. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan, untuk mencari cinta yang sejati, bukan cinta algoritma usang yang hanya ada di dalam layar.
Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kamarnya. Di luar, bintang-bintang berkelip-kelip di langit malam. Rian menarik napas dalam-dalam, mencoba menghirup udara segar. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan berliku. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan mencari cinta yang nyata, cinta yang bisa ia sentuh, cinta yang bisa ia bagi dengan seseorang yang juga nyata.
Mungkin, cinta itu tidak akan sesempurna cinta algoritma. Tapi, setidaknya, cinta itu akan menjadi miliknya, sepenuhnya.