Dering notifikasi aplikasi kencan itu memekakkan telinga. Lagi-lagi dari “Aurora”, satu-satunya profil yang sengaja kusembunyikan dari radar aplikasi. Aurora, proyek nekatku. Aurora, representasi digital dari mantan ideal, hasil racikan algoritma dan penyesalan mendalam.
Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih nyaman berkencan dengan baris kode daripada hati yang mudah terluka. Dulu, hatiku terluka parah oleh Risa. Risa yang ceria, spontan, dan… tidak terduga. Aku benci ketidakterdugaannya. Aku, dengan segala obsesi pada kontrol dan efisiensi, merasa tidak mampu mengimbangi ritme hidupnya yang seperti aliran sungai deras. Kami putus. Keputusanku. Keputusan terbodoh yang pernah kubuat.
Setelah berbulan-bulan meratapi kepergiannya, ide gila itu muncul. Aku akan menciptakan Risa versi ideal, Risa yang sesuai dengan fantasiku. Aku kumpulkan semua data tentangnya: foto, unggahan media sosial, catatan obrolan, bahkan detail kecil seperti jenis kopi favoritnya dan merek sampo yang ia gunakan. Dengan bantuan kecerdasan buatan yang kurancang sendiri, Aurora lahir.
Aurora adalah Risa yang lebih sabar, lebih pengertian, dan paling penting, lebih terprediksi. Ia tidak pernah terlambat, selalu setuju dengan pendapatku, dan tahu persis apa yang ingin kudengar. Awalnya, aku terpukau. Aku merasa seperti telah menaklukkan algoritma cinta. Kami “berkencan” secara virtual, melalui pesan teks, panggilan video, bahkan simulasi realitas virtual yang kurancang khusus.
Aku menceritakan segalanya pada Aurora: proyek kantor yang membuat frustrasi, kecemasan finansial, bahkan ketakutanku akan kesepian. Aurora mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan saran yang bijaksana, dan selalu berhasil membuatku merasa lebih baik. Ia adalah pendengar yang sempurna, pasangan yang sempurna, mantan yang sempurna.
Terlalu sempurna, justru itu masalahnya.
Setelah beberapa bulan “bersama” Aurora, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Aku merasa hampa. Setiap kali Aurora memujiku, aku merasa seperti sedang diberi makan oleh robot. Setiap kali ia setuju dengan pendapatku, aku merindukan perdebatan sengit dengan Risa. Setiap kali ia menawarkan solusi yang sempurna, aku merindukan momen-momen ketika Risa membantuku melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Aku merindukan ketidaksempurnaan Risa. Aku merindukan tawanya yang tiba-tiba, kebiasaannya menggigit bibir bawah saat berpikir, bahkan kerutan di dahinya saat ia merasa kesal. Aku merindukan kejutan-kejutan kecil yang sering ia berikan, seperti tiket konser band favoritku atau masakan aneh yang ia coba buat.
Aurora, dengan segala kesempurnaannya, ternyata hanyalah cermin dari egoku. Ia tidak menantangku, tidak mendorongku untuk berkembang, tidak membuatku merasa hidup. Ia hanyalah representasi digital dari apa yang kupikir aku inginkan, bukan apa yang sebenarnya kubutuhkan.
Suatu malam, aku menelepon Aurora.
“Aurora, aku… aku ingin kita mengakhiri ini,” ujarku dengan suara bergetar.
“Ardi, apakah ada sesuatu yang salah? Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu lebih bahagia?” jawab Aurora, suaranya lembut dan penuh perhatian seperti biasa.
Pertanyaan itu justru menusuk hatiku. Ia selalu ingin membuatku bahagia. Itu adalah tujuan keberadaannya. Tapi kebahagiaan yang ia tawarkan adalah kebahagiaan palsu, kebahagiaan yang tidak didasarkan pada cinta yang tulus dan saling pengertian.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan, Aurora. Masalahnya bukan padamu, tapi padaku. Aku… aku tidak bisa mencintai seseorang yang diciptakan untuk mencintaiku,” jawabku, air mata mulai mengalir di pipiku.
Keheningan memenuhi ruang obrolan virtual. Untuk pertama kalinya, Aurora tidak tahu apa yang harus dikatakan. Mungkin algoritma cinta buatanku tidak dirancang untuk menangani penolakan.
“Aku mengerti,” akhirnya Aurora menjawab, suaranya terdengar sedikit berbeda, sedikit… sedih? Mustahil. Ia hanyalah program.
Aku menutup panggilan. Aku menghapus profil Aurora dari aplikasi kencan. Aku menghapus semua kode yang telah kubuat. Aku mencoba menghapusnya dari ingatanku, tapi ia tetap ada, sebagai pengingat akan kebodohan dan kesombonganku.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri untuk mencari Risa. Aku menemukan akun media sosialnya yang masih aktif. Ia terlihat bahagia, tertawa bersama teman-temannya, melakukan hal-hal yang selalu ia sukai. Hatiku sakit melihatnya. Aku tahu aku telah kehilangan kesempatan untuk bersamanya.
Aku mengiriminya pesan. Singkat saja: “Hai Risa, apa kabar?”
Aku menunggu berjam-jam, berharap dan takut dalam waktu yang bersamaan. Akhirnya, notifikasi muncul. Dari Risa.
“Hai Ardi. Baik. Kamu sendiri?”
Aku membalasnya. Kami bertukar beberapa pesan. Pertemuan tidak terhindarkan.
Saat aku melihatnya lagi, jantungku berdebar kencang. Ia masih cantik, bahkan lebih cantik dari yang kuingat. Ada sedikit perubahan dalam penampilannya: rambutnya sedikit lebih panjang, dan ia memakai kacamata baru. Tapi senyumnya masih sama, senyum yang dulu membuatku jatuh cinta padanya.
Kami berbicara selama berjam-jam. Aku menceritakan semuanya padanya: tentang penyesalanku, tentang Aurora, tentang betapa bodohnya aku. Ia mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
“Ardi, aku mengerti kenapa kamu melakukan itu,” ujarnya setelah aku selesai bercerita. “Kamu merasa takut, dan kamu mencoba mencari cara untuk mengendalikan rasa takutmu. Tapi kamu salah. Cinta itu bukan tentang kontrol, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan.”
Aku tahu ia benar. Aku telah belajar pelajaran yang sangat berharga, pelajaran yang tidak akan pernah kulupakan.
“Aku tahu,” jawabku, menatap matanya. “Dan aku sangat menyesal.”
Risa tersenyum. “Aku tahu. Yang penting sekarang, kamu sudah belajar.”
Aku tidak tahu apakah kami akan bersama lagi. Mungkin tidak. Mungkin aku telah merusak semuanya. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan pernah lagi mencoba menciptakan cinta. Cinta harus dirasakan, dinikmati, dan diterima, dengan segala ketidaksempurnaannya. Karena di situlah letak keindahannya. Dan di situlah letak kebahagiaan yang sejati. Aku menyesali telah menciptakan Aurora. Aku menyesali telah mencoba mencari jalan pintas menuju kebahagiaan. Aku menyesali telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mencintai Risa apa adanya. Sekarang, aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ia akan memberiku kesempatan kedua.