Aplikasi kencan itu berdering lembut di pergelangan tanganku, sebuah notifikasi yang mengusik lamunanku tentang kode-kode rumit yang tengah kupelajari. “Kandidat Potensial: Elias Vance.” Di layar holografis kecil itu, terpampang wajah seorang pria yang, entah kenapa, langsung menarik perhatianku. Elias, dengan mata cokelat hangat dan senyum simetris sempurna, tampak seperti karakter utama dari novel romantis yang selalu kubaca diam-diam.
Aku, Anya Sharma, seorang pengembang AI yang lebih nyaman berkutat dengan algoritma daripada berinteraksi dengan manusia, merasa gugup. Aplikasi ini, “SoulMate AI,” bukanlah aplikasi kencan biasa. Ia menggunakan jaringan saraf mendalam untuk menganalisis data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling cocok. SoulMate AI mengklaim bisa menulis “skrip cinta abadi” bagi penggunanya. Kedengarannya konyol, tapi aku, yang sudah lelah dengan kencan yang membosankan, memutuskan untuk mencobanya.
Profil Elias memuat daftar panjang kesamaan kami: kecintaan pada fiksi ilmiah klasik, musik jazz tahun 1950-an, dan bahkan kebiasaan minum teh hijau di sore hari. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah deskripsi singkat tentang dirinya: “Seorang penulis yang mencari inspirasi.” Aku, seorang pengembang yang mencari koneksi sejati. Ironis, bukan?
Dengan jantung berdebar, aku menekan tombol “Terima”.
Obrolan virtual kami dimulai dengan canggung, seperti dua robot yang mencoba meniru emosi manusia. Tapi perlahan, kata-kata kami mengalir lebih lancar, dipandu oleh algoritma SoulMate AI yang cerdas. Elias ternyata lucu, cerdas, dan memiliki pandangan yang unik tentang dunia. Ia bertanya tentang pekerjaanku, tentang algoritma cinta yang kurancang, dan aku, yang biasanya tertutup, mendapati diriku terbuka padanya.
“Kau tahu, Anya,” tulisnya suatu malam, “Aku merasa seperti karakter yang sedang ditulis dalam sebuah cerita yang indah. Dan kau, sang penulis AI, adalah dewi takdirku.”
Aku tersenyum sendiri. “Kau terlalu melebih-lebihkan, Elias. Aku hanya membantu prosesnya.”
“Tidak, aku serius. SoulMate AI mungkin menemukan kita, tapi kau yang menghidupkan kisah ini.”
Setelah seminggu obrolan virtual yang intens, kami memutuskan untuk bertemu langsung. Aku memilih sebuah kafe kecil yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kota Neo-Tokyo. Saat Elias tiba, senyumnya bahkan lebih mempesona daripada di layar holografis. Kami duduk berhadapan, saling menatap, dan tiba-tiba, semua kecanggungan menghilang.
Kami berbicara selama berjam-jam, tentang mimpi, ketakutan, dan harapan kami. Elias bercerita tentang kesulitan yang ia hadapi sebagai seorang penulis, tentang bagaimana ia sering merasa kehilangan inspirasi. Aku menceritakan tentang obsesiku dengan AI, tentang bagaimana aku berharap bisa menciptakan teknologi yang bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Hari itu, aku merasa seolah-olah aku telah mengenal Elias seumur hidupku.
Hubungan kami berkembang dengan cepat, dipandu oleh algoritma SoulMate AI yang tampaknya tahu persis apa yang kami butuhkan. Aplikasi itu menyarankan tempat-tempat kencan yang romantis, hadiah-hadiah kecil yang bermakna, dan bahkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan pada saat yang tepat. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu terencana, hingga aku mulai merasa sedikit tidak nyaman.
Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya simulasi yang kompleks? Apakah Elias mencintaiku, atau mencintai versi diriku yang telah dikurasi oleh AI? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku di malam hari.
Suatu sore, saat kami sedang berjalan-jalan di taman, aku memutuskan untuk menanyakan keraguanku pada Elias.
“Elias,” kataku dengan gugup, “Apakah kau pernah merasa… seperti kita sedang mengikuti skrip?”
Elias berhenti dan menatapku dengan bingung. “Skrip? Maksudmu?”
“SoulMate AI. Aplikasi itu… itu seolah-olah mengatur semua yang kita lakukan.”
Elias tertawa kecil. “Anya, aku tahu apa yang kau maksud. Tapi percayalah, apa yang kurasakan padamu itu nyata. Aplikasi ini hanya membantu kita menemukan satu sama lain, tapi cinta kita adalah ciptaan kita sendiri.”
Aku ingin mempercayainya, tapi keraguan itu masih menggerogoti hatiku.
Beberapa minggu kemudian, Elias memberiku sebuah kejutan. Ia membawaku ke studio rekaman kecil dan memintaku untuk menutup mata. Ketika aku membukanya, di depanku berdiri sebuah orkestra kecil. Elias tersenyum dan berkata, “Aku menulis sebuah lagu untukmu, Anya. Sebuah lagu tentang bagaimana kau telah menginspirasiku.”
Musik mulai mengalun, melodi yang indah dan menyentuh hati. Liriknya menceritakan tentang pertemuan kami, tentang bagaimana aku telah mengubah hidupnya, dan tentang cinta abadi yang kami bagikan. Air mata mengalir di pipiku saat aku mendengarkan lagu itu.
Pada saat itu, semua keraguanku menghilang. Aku tahu bahwa Elias mencintaiku, bukan karena aplikasi, tetapi karena diriku apa adanya. Ia telah menggunakan bakatnya untuk menciptakan sesuatu yang indah, sesuatu yang datang langsung dari hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Elias melamarku di tempat pertama kali kami bertemu, di kafe kecil yang tenang itu. Aku menjawab “Ya” dengan air mata bahagia.
SoulMate AI memang membantu kami menemukan satu sama lain, tapi kisah cinta kami adalah kisah kami sendiri. Sebuah skrip yang ditulis dengan hati, bukan hanya dengan algoritma. Sebuah skrip cinta abadi yang akan kami terus tulis bersama, selamanya.
Beberapa tahun berlalu. Kami menikah, memiliki dua anak yang lucu, dan hidup bahagia. Elias terus menulis, dan aku terus mengembangkan AI. Kami sering tertawa mengingat bagaimana kami pertama kali bertemu, berkat aplikasi kencan yang aneh itu.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di balkon, menikmati pemandangan kota Neo-Tokyo yang berkilauan, Elias memegang tanganku.
“Kau tahu, Anya,” katanya, “Aku masih merasa seperti karakter dalam sebuah cerita.”
“Dan aku masih merasa seperti penulisnya,” jawabku sambil tersenyum.
Kami berdua tertawa, tahu bahwa meskipun teknologi telah memainkan peran dalam membawa kami bersama, cinta kami adalah sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma dan skrip. Cinta kami adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang abadi. Dan bersama-sama, kami akan terus menulis kisah kami, satu bab demi bab, hingga akhir hayat.